Minggu, 17 Mei 2015

PSIKOLOGI REMAJA



A.  Pengertian Remaja
Remaja yang dalam bahasa aslinya disebut adolescence, berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya “tumbuh atau tumbuh untuk mencapai kematangan”. Istilah adolescence sesungguhnya memiliki arti yang luas, mencakup kematangan mental, emosional, sosial, dan fisik (hurlock, 1991). Pandangan ini didukung oleh piaget (hurlock, 1991) yang mengatakan bahwa secara psikologis, Remaja adalah suatu usia dimana individu menjadi terintegrasi ke dalam masyarakat dewasa, suatu usia di mana anak tidak merasa bahwa dirinya berada di bawah tingkat orang yang lebih tua melainkan merasa sama, atau paling tidak sejajar[1].
Remaja adalah individu baik perempuan maupun laki-laki yang berada pada atau usia antara anak-anak dan dewasa. Batasan remaja dalam hal ini adalah usia 10 tahun sampai dengan 19 tahun menurut klasifikasi World Health Organisation (WHO). Sementara United Nations (UN) mentebutnya sebagai anak muda (youth) untuk usia 15-24 tahun. Ini kemudian disatukan dalam batasan kaum muda (young people) yang mencakup usia 10-24 tahun[2].
B.  Pengertian Pertumbuhan dan Perkembangan
Istilah pertumbuhan dapat didefinisikan sebagai proses perubahan fisiologis yang bersifat progresif dan kontinu serta berlangsung dalam periode tertentu. Oleh karena itu, sebagai hasil dari pertumbuhan adalah bertambahnya berat, panjang atau tinggi badan, tulang dan otot-otot menjadi lebih kuat, lingkar tubuh menjadi lebih besar, dan organ tubuh menjadi lebih sempurna. Pada akhirnya pertumbuhan ini mencapai titik akhir, yang berarti bahwa pertumbuhan telah selesai.
Para ahli psikologi pada umumnya menunjuk pada pengertian perkembangan sebagai suatu proses perubahan yang bersifat progresif dan menyebabkan tercapainya kemampuan dan karakteristik psikis yang baru. Perubahan seperti itu tidak terlepas dari perubahan yang terjadi pada struktur biologis, meskipun tidak semua perubahan kemampuan dan sifat psikis dipengaruhi oleh perubahan struktur biologis. Perubahan kemampuan dan karakteristik psikis sebagai hasil dari perubahan dan kesiapan struktur biologis sering dikenal dengan istilah “kematangan” (Berk, 1989).
Perkembangan berkaitan erat dengan pertumbuhan. Berkat adanya pertumbuhan  maka pada saatnya anak akan mencapai kematangan. Perbedaan antara pertumbuhan dan kematangan, pertumbuhan menunjukkan perubahan biologis yang bersifat kuantitatif, seperti bertambah panjang ukuran tungkai, bertambah lebarnya lingkar kepala, bertambah lebarnya tubuh, dan semakin sempurnanya susunan tulang dan jaringan syaraf. Sedangkan kematangan menunjukkan perubahan biologis yang bersifat kuanitatif. Akan tetapi, perubahan kuantitatif itu sulit untuk diamati atau di ukur. Kita lebih mudah melihat bertambah luasnya ukuran tapak tangan seorang anak dari pada melihat bertambah kompleksnya sistem syaraf dan semakin kuatnya jaringan otot pada anak, yang memungkinkan organ itu melakukan lebih kompleks[3].
C.  Karakteristik Umum Perkembangan Remaja
Masa remaja sering kali dikenal dengan masa mencari jati diri, oleh erickson disebut dengan identitas ego (ego identity) (Bischof, 1983). ini terjadi karena masa remaja merupakan peralihan antara masa kehidupan anak-anak dan masa kehidupan orang dewasa. Ditinjau dari segi fisiknya, mereka sudah bukan berupa anak-anak lagi melainkan sudaah seperti orang dewasa, ternyata belum dapat menunjukkan sikap dewasa.
Adapun sikap yang biasanya ditujukkan oleh remaja, yaitu sebagai berikut:
1.    Kegelisahan
Sesuai dengan fase perkembangan, remaja menpunyai banyak idealisme, angan-angan, atau keinginan yang hendak diwujudkan di masa depan. Namun, sesungguhnya remaja belum memiliki banyak kemampuan yang memadai untuk mewujudkan semua itu. Sering kali angan-angan dan keinginan lebih besar di bandingkan dengan kemampuan.
Selain itu, di satu pihak mereka ingin mendapat pengalaman sebanyak-banyaknya untuk menambah pengetahuan, tetapi di pihak lain mereka merasa belum mampu melakukan berbagai hal dengan baik sehingga tidak berani mengambil tindakan mencari pengalaman langsung dari sumbernya. Tarik menarik antara angan-angan yang tinggi dengan kemampuannya yang masih belum memadai mengakibatkan mereka diliputi oleh kegelisahan.
2.    Pertentangan
Sebagai individu yang sedang mencari jati diri, remaja berada pada situasi psikologi antara ingin melepaskan diri dari orang tua dan perasaan masih belum mampu untuk mandiri. Oleh karena itu, pada umumnya remaja sering mengalami kebingungan karena sering terjadi pertentangan pendapat antara mereka dengan orang tua. Pertentangan yang sering terjadi itu menimbulkan keinginan remaja untuk melepaskan diri dari orang tua kemudian ditentangnya sendiri karena dalam diri remaja ada keinginan untuk memperoleh rasa aman. Remaja sesungguhnya belum begitu berani mengambil resiko dari tindakan meninggalkan lingkungan keluarganya yang jelas aman bagi dirinya. Tambahan pula keinginan melepaskan diri itu belum disertai dengan kesanggupan untuk berdiri sendiri tanpa bantuan orang tua dalam soal keuangan. Akibatnya , pertentangan yang sering terjadi itu  akan menimbulkan kebingungan dalam diri remaja itu sendiri maupun pada orang lain.
3.    Mengkhayal
Keinginan untuk menjelajah dan berpetualang tidak semuanya tersalurkan. Biasanya hambatannya dari segi keuangan atau biaya. Sebab, menjelajah lingkungan sekitar yang luas akan membutuhkan biaya yang banyak, padahal kebanyakan remaja hanya memperoleh uang dari pemberian orang tuanya. Akibatnya, mereka lalu mengkhayal, mencari kepuasan, bahkan menyalurkan khayalannya melalui dunia fantasi. Khayalan remaja putra biasanya berkisar pada soal prestasi dan jenjang karier, sedang remaja putri lebih mengkhayalkan romantika hidup. Khayalan ini tidak selamanya bersifat negatif. Sebab, khayalan ini kadang menghasilkan suatu yang bersifat konstruktif, misalnya timbul ide-ide baru tertentu yang dapat direalisasikan.
4.    Aktifitas Berkelompok
Berbagai macam keinginan para remaja seringkali tidak dapat terpenuhi karena bermacam-macam kendala, dan yang sering terjadi adalah tidak tersedianya biaya. Adanya bermacam-macam larangan dari orang tua seringkali melemahkan atau bahkan mematahkan semangat para remaja. Kebanyakan remaja menemukan jalan keluar dari kesulitannya setelah mereka berkumpul dengan rekan sebaya untuk melakukan kegiatan bersama. Mereka melakukan suatu kegiatan secara berkelompok sehingga berbagai kendala dapat diatasi bersama-sama (Singgih DS., 1980)
5.    Keinginan Mencoba Segala Sesuatu
Pada umumnya, remaja memiliki rasa ingin tahu yang tinggi (high curiosity). Karena didorong oleh rasa ingin tahu yang tinggi, remaja cenderung ingin bertualang, menjelajah segala suatu, dan mencoba segala sesuatu yan belum pernah dialaminya. Selain itu, didorong juga oleh keinginan seperti orang dewasa menyebabkan remaja ingin melakukan apa yang sering dilakukan oleh orang dewasa. Akibatnya tidak jarang secara sembunyi-sembunyi, remaja pria mencoba merokok karena sering melihat orang dewasa melakukannya. Seolah-olah dalam hati kecilnya berkata bahwa remaja ingin membuktikan kalau sebenarnya dirinya mampu berbuat seperti yang dilakukan orang dewasa. Remaja putri seringkali mencoba memakai kosmetik baru, meskipun sekolah melarang.[4]
D.  Perkembangan Moral dan Religi
Secara psikologis masa remaja merupakan masa persiapan terakhir dan menentukan untuk memasuki tahapan perkembangan kepribadian selanjutnya yaitu menjadi dewasa[5].
Dalam pembagian tahap perkembangan manusia, maka masa remaja menduduki tahap progresif. Dalam pembagian yang agak terurai masa remaja mencangkup masa juvenilitas (adolescantium),pubertas dan nubilitas.
Sejalan dengan perkembangan jasmani dan rahaninya, maka agama pada para remaja turut dipengaruhi perkembangan itu. Maksudnya penghayatan para remaja terhadap ajaran agama dan tindak ajaran keagamaan yang tampak pada para remaja banyak berkaitan dengan faktor perkembangan tersebut.
Perkembangan agama pada para remaja ditandai oleh beberapa faktor perkembangn rahani dan jasmaninya. Perkembangan itu antara lain menurut W. Starbuck adalah:
a)    Pertumbuhan Pikiran dan Mental
Ide dan dasar keyakinan beragama yang diterima remaja dari masa kanak-kanaknya sudah tidak begitu menarik bagi mereka. Sikap kritis terhadap ajaran agama mulai timbul. Selain masalah agama merekapun sudah tertarik pada masalah kebudayaan, sosial dan norma-norma kehidupan lainnya.
Hasil penelitian Allport, Gillesphy, dan Young menunjukkan:
1.    85% remaja Katolik Romawi tetap taat menganut ajaran agamanya.
2.    40% remaja Protestan tetap taat terhadap ajaran agamanya.[6]
Dari hasil ini dinyatakan selanjutnya, bahwa agama yang ajarannya bersifat lebih konservatif lebih banyak berpengaruh bagi para remaja untuk tetap taat pada ajaran agamanya.
Sebaliknya, agama yang ajarannya kurang konservatif-dogmatif dan agak liberal akan mudah merangsang pengembangan pikiran dan mental para remaja, sehingga mereka banyak meniggalkan ajaran agamanya. Hal ini menunjukkan bahwa perkembangan pikiran dan mental remaja mempengaruhi sikap keagamaan mereka.
b)   Perkembangan Perasaan
Berbagai perasaan berkembang pada masa remaja. Perasaan sosial, etis dan estetis mendorong remaja untuk menghayati perikehidupan yang terbiasa dalam lingkungannya. Kehidupan religius akan cenderung mendorong dirinya lebih dekat kearah hidup yang religius pula. Sebaliknya, bagi remaja yang kurang mendapat pendidikan dan siraman ajaran agama akan lebih mudah didominasi dorongan seksual. Masa remaja merupakan masa kematangan seksual. Didorong oleh perasaan ingin tahu dan perasan super, remaja lebih mudah terperosok kearah tindakan seksual yang negatif.   
c)    Pertimbangan sosial
Corak keagamaan para remaja juga ditandai oleh adanya pertimbangan sosial. Dalam kehidupan keagamaan mereka timbul konflik antara pertimbangan moral dan material. Remaja sangat bingung menentukan pilihan itu. karena kehidupan duniawi lebih dipengaruhi kepentingan akan materi, maka para remaja lebih cenderung jiwanya untuk bersikap materialis. Hasil penyelidikan Ernest Harms terhadap 1.789 remja Amerika antara usia 18-29 tahun menunjukkan, bahwa 70% pemikiran remaja ditujukan bagi kepentingan: keuangan, kesejahteraan, kebahagiaan, kehormatan diri, dan masalah kesenangan kepentingan pribadi lainnya. Sedangkan masalah akhirat dan keagamaan hanya sekitar 3,6%, masalah sosial 5,8%.[7]
d)   Perkembangan moral
Perkembangan moral para remaja bertitik tolak dari rasa berdosa dan usaha untuk mencari proteksi. Tipe moral yang juga terlihat pada para remaja juga mencakupi:
1.    Self-direktive, taat terhadap agama atau moral berdasarkan pertimbangan pribadi.
2.    Adaptive, mengikuti situasi lingkungan tanpa mengadakan kritik.
3.    Submissive, merasakan adanya keraguan terhadap ajaran moral dan agama.
4.    Unadjusted, belum meyakini akan ajaran agama dan moral.[8]
5.    Devian, menolak dasar dan hokum keagmaan serta tatanan moral masyarakat.
e)    Sikap dan Minat
Sikap dan minat remaja terhadap masalah keagamaan boleh dikatakan sangat kecil serta lingkungan agama yang mempengaruhi mereka (besar kecil minatnya).
Howard Bell dan Ross berdasrkan penelitiannya terhadap 13.000 remaja di Maryland terungkap hasil sebagai berikut:
1.    Remaja yang taat (ke gereja secara teratur) 45%
2.    Remaja yang sesekali dan tidak sama sekali 35%
3.    Minat terhadap: ekonomi, keuangan, materil, dan sukses pribadi 73%
4.    Minat terhadap masalah ideal, keagamaan, dan sosial 21%[9]
f)    Ibadah 
1.    Pandangan para remaja terhadap ajaran agama, ibadah, dan masalah doa sebagaimana yang dikumpulkan oleh Ross dan Oskar kuoky menunjukkan:
a.    148 siswi dinyatakan bahwa 20 orang diantara mereka tidak pernah mempunyai pengalaman keagamaan sedangkan sisanya (128) mempunyai pengalaman keagamaan, yang 68 di antaranya secara alami (tidak melalui ajaran resmi).
b.    31 orang di antara yang mendapat pengalaman keagamaan melalui proses alami, mengungkpkan adanya perhatian mereka terhadp keajaiban yang menakjubkan di balik keindahan alam yang mereka nikmati.
2.    Selanjutnya mengenai pandangan mereka tentang ibadah diungkapkan sebagai berikut:
a.    42% tak pernah mengerjakan ibadah sama sekali.
b.    33% mengatakan mereka sembahyang karena mereka yakin Tuhan mendengar dan akan mengabulkan doa mereka.
c.    27% beranggapan bahwa sembahyang dapat menolong mereka meredakan kesusahan yang mereka derita.
d.   18% mengatakan bahwa sembahyang menyebabkan mereka menjadi senang sesudah menunaikannya.
e.    11% mengatakan bahwa sembahyang mengingatkan tanggung jawab dan tuntutan sebagai anggota masyarakat.
f.     4% mengatakan bahwa sembahyang merupakan kebiasaan yang mengandung arti yang penting.
Jadi, hannya 17% mengatakan bahwa sembahyang bermanfaat untuk berkomunikasi dengan Tuhan, sedangkan 26% di antaranya menganggap bahwa sembahyang hanyalah merupakan media untuk bermeditasi.[10]
Masa remaja sebagai segmen dari siklus kehidupan manusia, menurut agama merupakan masa strarting point pemberlakuan hukum syar’i (wajib, sunah, haram, makruh, dan mubah) bagi seorang insan yang sudah balig (mukallaf). Oleh karena itu, remaja seharusnya melaksanakan nilai-nilai atau ajaran agama dalam kehidupannya. Pemikiran ini didasarkan kepada sabda Rasululah Saw. “Rufi’al qalam ‘an tsalaatsin, ‘anishshabiyyi hattaa yahtalima, wa’aninnaa’ami hattaa yaiqidla, wa’anil majnuuni hattaa ya’qila” (pena-pencatat ‘amal- itu diangkat untuk tiga kategori manusia, yaitu: jabang bayi sampai remaja, orang tidur sampai bangun, dan orang gila sampai sembuh kembali).
Berdasarkan hadits diatas, masa remaja sudah masuk kelompok mukallaf, yaitu orang yang sudah mempunyai kewajiban untuk melaksanakan perintah Allah dan menjauhi larangannya. Adapun orang yang diberi kebebasan dari hukum, atau diberi garansi (jaminan) bahwa amalnya tidak dipandang dosa apabila melanggar larangan Allah adalah mereka yang berusia bayi sampai menjelang remaja (usia anak SD), orang yang tidur, dan orang yang gila.
Sebagai mukallaf, remaja (laki-laki atau perempuan) dituntut untuk mewakili keyakinan dan kemampuan mengaktualisasikan (mengamalkan) nilai-nilai agama (akidah, ibadah, dan akhlak) dalam kehidupannya sehari-hari, baik dilingkungan keluarga, sekolah, dan masyarakat. Nilai-nilai agama yang seharusnya diaktualisasikan itu disimak dalam tabel dibawah ini:
Nilai-nilai Agama
Profil Sikap dan Perilaku Remaja
A.    Aqidah (keyakinan)
1.      Meyakini Allah sebagai pencipta (khaliq), yang kepada-Nya semua manusia harus beribadah.
2.      Meyakini bahwa Allah Maha Melihat terhadap semua perbuatan manusia.
3.      Meyakini bahwa Allah melaluai malaikat jibril telah menurunkan agama kepada Nabi Muhammad Saw., sebagai pedoman hidup bagi umat manusia di dunia.
4.      Meyakini bahwa Allah mengasihi orang-orang yang taat dan patuh kepada-Nya, dan membenci orang-orang yang mendurhakai-Nya.
5.      Meyakini alam akhirat sebagai tempat pembalasan atau pengadilan agung bagi setiap orang dalam mempertanggungjawabkan amalnya di dunia.
B.     Ibadah dan Akhlak
1.      Mengamalkan ibadah ritual (mahdlah), seperti: shalat, shaum, dan berdo’a.
2.      Membaca al-Qur’an dan belajar memahami isinya.
3.      Bersikap hormat kepada kedua orang tua.
4.      Menjalin silaturrahmi dengan saudara dan orang lain.
5.      Mengendalikan diri (hawa nafsu) dari perbuatan yang diharamkan Allah, seperti: berzina (free sex), meminum minuman keras atau narkoba, berjudi,mencuri, dan membunuh atau tawuran.
6.      Bersyukur pada saat mendapat nikmat atau anugerah dari Allah (minimal dengan membaca hamdalah: alhamdulillah).
7.      Bersabar pada saat mendapat musibah (dengan membaca Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun), sehingga terhindar dari suasana stress atau frustrasi (kekecewaan yang mendalam karena tidak tercapai apa yang akan di inginkannya).
8.      Berperilaku jujur dan amanah (dapat dipercaya = bertanggungjawab).
9.      Memilik ghirah (etos) belajar yang tinggi.
10.  Memelihara kebersihan dan kesehatan diri dan lingkungannya.
11.  Bersikap optimis dalam menghadapi masa depan, dengan selalu berikhtiar dan berdo’a kepada Allah.

Kemampuan remaja untuk mengaktualisasikan nilai-nilai agama diatas, sangat heterogen (beragam). Keragaman itu diklasifikasikan menjadi beberapa kelompok, yaitu: (1) remaja yang mampu mengamalkannya secara konsisten, (2) ramaja yang mengamalkannya secara insidential (kadang-kadang), (3) remaja yang tidak mengamalkan ibadah mahdlah, tetapi dapat berinteraksi sosial dengan oang lain (hablumminannaas) secara baik, (4) remaja yang melecehkan nilai-nilai agama secara keseluruhan, dalam arti mereka tidak mengamalkan perintah Allah, dan justru melakukan apa yang diharamkan-Nya, seperti: berzina, meminum minuman keras (narkoba), mencuri (kriminal), mengganggu ketertiban umum, dan bersikap tidak hormat kepada orang tua.
Keragaman profile remaja seperti di atas, mungkin di sebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya: (1) keragaman pendidikan agama yang diterima remaja dari orang tuanya, ada yang baik, kurang, dan bahkan tidak sama sekali, (2) keragaman keluarga remaja dalam mengamalkan nilai-nilai agama, ada yang taat, kurang taat, dan yang sama sekali tidak mempedulikan nilai-nilai agama, dan (3) keragaman kelompok teman bergaul, ada yang berakhlak baik, dan juga yang berakhlak buruk.
Perkembangan kesadaran beragama remaja terbagi atas beberapa periode, sebagai berikut :
1.     Masa Pra-Remaja (Puber/Negatif) (Usia 13-16 Tahun)
Perkembangan jiwa agama pada usia pra-remaja atau disebut masa puber atau kemkratu/negative kedua ini bersifat berurutan mengikuti sikap keberagamaan orang-orang yang ada disekitarnya. Secara singkat perkembangan jiwa agama pra-remaja yaitu: (1) Ibadah karena pengaruh keluarga, teman, lingkungan dan peraturan sekolah, dan (2) Kegiatan agama lebih banyak dipengaruhi emosional dan pengaruh luar.[11]
2.     Masa Remaja Awal (Usia 16-18 Tahun)
Pada masa ini terjadi perubahan jasmani yang cepat, yaitu dengan tumbuhnya ciri-ciri keremajaan yang terkait dengan matangnya organ-organ seks, yaitu: ciri primer (menstruasi pada anak wanita, dan mimpi pertama pada remaja pria), dan ciri sekunder (tumbuhnya kumis, jakun, dan bulu-bulu di sekitar kemaluan pada remaja pria, dan membesarnya buah dada/payudara, membesarnya pinggul, dan tumbuhnya bulu-bulu disekitar kemaluan pada remaja wanita).
Pertumbuhan fisik yang terkait dengan seksual mengakibatkan terjadinya kegoncangan emosi, kecemasan, dan kekhawatiran pada diri remaja. Bahkan lebih jauh kondisi ini dapat mempengaruhi kesadaran beragamanya, apalagi remaja yang kurang pengalaman atau pendidikan agama sebelumnya.
Kegoncangan dalam beragama ini muncul, karena adanya faktor internal maupun eksternal.
a.    Faktor internal, terkait dengan (1) matangnya organ-organ seks, yang mendorong remaja untuk memenuhi kebutuhan tersebut, namun disisi lain dia tahu bahwa perbuatan itu dilarang oleh agama dan dapat menjerumuskan ke dalam perilaku yang nista, (2) berkembangnya sikap independen, keinginan untuk hidup bebas, tidak terikat dengan norma-norma keluarga, sekolah dan agama.
b.   Faktor eksternal, terkait dengan aspek-aspek (1) perkembangan kehidupan sosial budaya dalam masyarakat yang jarang bertentangan dengan nilai-nilai agama, namun menarik bagi remaja untuk mencobanya, seperti: beredarnya film-film, VCD-VCD atau gambar-gambar porno, penjualan minuman keras, dan alat-alat kontrasepsi yang bebas, (2) perilaku orang dewasa, orang tua sendiri, para pejabat, dan warga masyarakat yang gaya hidupnya (life style) kurang memperdulikan agama, bersifat munafik, tidak jujur, dan lain-lain.
3.    Masa Remaja Akhir (Usia 18-21)
Untuk mengetahui gambaran kesadaran beragama di kalangan remaja akhir, pada tahun 1996/1997 penulis telah melakukan penelitian terhadap para siswa SMK di jawa barat (kota dan kabupaten bandung, cirebon, bogor, dan bekasi), hasilnya adalah sebagai berikut.
a.      Pengembangan pemahaman agama
b.      Keyakinan terhadap agama sebagai pedoman hidup
c.       Keyakinan bahwa setiap perbuatan manusia tidak lepas dari pengawasan Tuhan
d.      Keyakinan terhadap hari akhir
e.       Keyakinan bahwa Allah Maha Penyayang dan Maha Pengampun
f.        Pengamalan ibadah shalat
g.      Mempelajari al-Qur’an
h.      Berdo’a kepada Allah
i.        Mengendalikan diri dari perbuatan yang dilarang agama
j.        Bersikap hormat kepada orang tua dan orang lain
k.      Bersabar dan bersyukur
Hasil penelitian di atas menunjukkan bahwa usia siswa tersebut telah berada pada masa remaja akhir, ternyata belum semuanya menunjukkan kesadaran beragama yang sesuai dengan yang di harapkan. Faktor yang menyebabkan kondisi ini terjadi, di dugakarena mereka berasal dari lingkungan keluarga dan masyarakat yang iklim beragamanya relatif berbeda[12].



[1] Moh. Ali dan Moh. Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2005,cet. II h. 9
[2] Seri Informasi KRR Untuk Pondok Pesantren, Remaja Hari Ini Adalah Pemimpin Masa Depan, Jakarta, bkkbn, 2004, h. 15
[3] Moh. Ali dan Moh. Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2005, h. 11
[4] Moh. Ali dan Moh. Asrori, Psikologi Remaja Perkembangan Peserta Didik, Jakarta, PT. Bumi Aksara, 2005,cet. II, h. 16-18  
[5] Seri Informasi KRR Untuk Pondok Pesantren, Remaja Hari Ini Adalah Pemimpin Masa Depan, Jakarta, bkkbn, 2004, h. 15
[6] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,…), h.74
[7] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,…), h. 75
[8] Ibid., h. 76.
[9] Ibid., h. 76
[10] Jalaludin, Psikologi Agama, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,…), h.77
[11] Baharuddin dan Mulyono, psiologi Agama dalam Perspektif Islam, (Malang: UIN Malang Press, 2008), h. 138.
[12] Syamsu Yusuf, Psikologi Belajar Agama, Pustaka Bani Quraisy, 2005, Bandung, h. 53-60

Tidak ada komentar:

Posting Komentar