A. Empirisme
Paham ini dipelopori oleh Francois Bacon
yang hidup antara tahun 1561 – 1626. Tokoh lain yang mendukung empirisme adalah
Thomas Hobbes (1588 – 1679), Jhon Locke (1632 – 1704) dan David (1711 – 1776).
Tokoh-tokoh empiris menitik beratkan kepada pengalaman atau empiri.[1]
Kaum empiris mengatakan bahwa manusia itu putih bersih(tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan idea innate.[2]
Metode Empiris ini oleh Balcon dipandang sebagai menunjukkan bagaimana
menyusun data-data yang telah diamati, yang memang diperlukan oleh ilmu
pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dialaskan pada penyusunan data-data. Kita
tidak boleh bersikap seperti labah-labah, yang menyulam segala sesuatu dari
benang yang dikeluarkan sendiri. Kita juga tidak boleh bersikap seperti semut yang
hanya mengumpulkan saja. Kita harus bersikap seperti tawon yang selain
mengumpulkan juga menyusun atau mengatur.[3]
Dalam kaitan ini filsafat dipandang sebagai ilmu pengurai
akibat-akibat. Adapun yang diamati adalah fakta-fakta yang diamati dengan
maksud untuk mencari sebab-sebabnya. Di dalam pengamatan dijelaskan atau
disajikan fakta-fakta yang diungkapkan dalam istilah-istilah yang menggambarkan
fakta-fakta tersebut. Prinsi-prinsip
dan metode empiris pertama kali diterapkan oleh John Locke, penerapan tersebut
terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah
Locke berusaha menggabungkan teori empiris dengan ajaran rasionalisme
Descartes. Penggabungan ini menguntungkan empirisme. Ia menentang teori
rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asa-asa pertama yang dipandang sebagai
bawaan manusia. Tidak lebih dari itu. Akal atau rasio adalah pasif pada waktu
pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri.
Semula akal serupa dengan kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala
sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan
inderawi dan pengetahuan akali. Satu-satunya sasaran atau obyek pengetahuan
adalah gagasan atau idea yang timbul karena pengalaman lahiriyah dan karena
batiniyah. Pengalaman lahiriyah mengajarkan kepada kita tentang hal yang diluar
kita sedangkan pengalaman batiniyah mengajarkan tentang hal psikis kita
sendiri.[4]
Tokoh
lain yang berpendapat bahwa keseluruhan pengetahuan merupakan jumblah dari
pengalaman-pengalaman adalah David Hume (1711-1766). Dengan amat tegas Hume
hanya menerima persatuan indra dengan hal luas, hanya itu saja, segala
kesimpulan budi tak lagi dapat dipercaya, dari Empirisme sebutulnya ia
sebetulnya sampai kepada Skeptis.
Sebagai
tokoh Empiris, Hume mennemukakan tentang konsep ketuhanannya. Kemudian
bagaimana dengan penalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita
tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya dengan Tuhan.
Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sejak dini. Menurut Hume, sebagian
besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan
hadir dalam bentuk konsep yang dihadirkan oleh guru Agama,”Tuhan Cuma
akal-akalannya”, dengan kemampuan Analogi, Asosiasi dan Imajinasinya. Akal
menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dan berbagai gagasan yang kita peroleh
sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai “Maha
Kasih, Maha Agung, Maha Satu, Maha Mulia dan lain-lain” dan itu hanyalah
pengetahuan teoritis saja. Hume menambahkan bahwa gagasan Tuhan sebagai
”Ada”,muncul atas renungan dari kegiatan jiwa manusia sendiri dan gradasi tak
terhingga. Jadi kaitan yang menciptakan Tuhan dengan menyambung-nyambungkan
kesan Empiris.[5]
Sebagai tokoh
Empiris, Hume tidak mengakui hukum sebab akibat (Kausalitas). Dalam
hukum Kausalitas pada umumnya ada anggapan bahwa penyimpulan dari
masalah-masalah yang nyata hanya disebabkan pada hubungan sebab akibat.[6]
B.
Positivisme
Paham ini
dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857), menurutnya ada tiga tahap manusia
untuk mengembangkan akal budi manusia.[7]
1.
Tahap Teologis
Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam rangka
mengembangkan akal budi manusia. Pada tahap ini, manusia berusaha menerangkan
segenap fakta-fakta atau kejadian dalam kaitannya teka teki alam yang
dianggapnya berupa misteri. Dalam tahapan ini, nanti akan muncul berbagai pola
macam pemikiran, sepertihalnya muncul konsep Animisme, Politeisme,
Monoteisme. Cara berfikir seperti ini memberi pengaruh yang cukup besar
dalam kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan. Pada tahap awal ini barulah
muncul dogma dari berbagai Agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup
masyarakat, disamping sebagai landasan institusional juga berperan sebagai alat
jastifikasi.
2.
Tahap Metafisis
Pada tahap Metafisik, pada kenyataannya hanya merupakan
modifikasi sederhana yang bersifat umum saja dari tahap yang pertama, agen-agen
supranatural digantikan oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Perbedaan keduanya cara
berfikir tersebut terletak pada cara menerangkan kenyataan: alam yang semula
diasalkan oleh Dewa atau Tuhan, kini telah diterangkan kedalam konsep-konsep
abstrak seperti, kodrat, kehendak Tuhan, Roh Absolute, tuntutan hati nurani, keharusan
mutlak, kewajiban moral, dan lain sebagainya. Konsep seperti itu, kendati
berasal dari kebebasan akal budi manusia, bukan diambil dari sikap empiris. Dan
hanya konsep dasar yang tidak dipertanggung jawabkan. Konsep itu Cuma
pengandai-andaian Apriori tanpa penelitian yang sungguh-sungguh dan
ilmiah.
3. Tahap Positif
Pada
tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskam secara Apriori,
melainkan berdasarkan observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan
teliti.[8] Dengan demikian pada prinsipnya
zaman positifme adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada guna lagi untuk
berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baikpengenalan
teologis ataupun pengenalan metafisis. Ia tidak mau lagi melacak asal dan
tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakikat yang sejati dari
segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum kesamaan dan urutan
yang terdapat pada fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya yaitu
dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian
menerangkan berati fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang
umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai, bilamana segala gejala
telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja, umpamanya
gaya berat.[9]
Mengingat besarnya fungsi serta sisi baik dari ilmu
pengetahuan positif, maka tidak ada faedahnya mempertahankan atau memelihara
jenis-jenis pengetahuan yang tidak benar dan tidak berguna. Teologi dan
metafisika, sedikit demi sedikit atau sekaligus harus mundur teratur. Begitu
ilmu pengetahuan muncul, tempat-tempat ibadat, sekolah-sekolah teologi, serta
fakultas-fakultas filsafat (Metafisika) harus dialih fungsikan menjadi
universitas, pasar (plaza atau supermarket), bank dan pabrik-pabrik industri,
yang semuanya merupakan produk-produk unggulan dari akal budi manusia yang
berdasarkan akal budi manusia, yang berdasarkan pada pemikiran yang mendalam
dan berdasarkan ilmiah.[10]
1. Semakin tebalnya optimisme masyarakat Barat yang telah timbul sejak zaman
ini mengenai hari depan manusia yang semakin baik atau maju
2. Semangat eksporatif dan ilmiyah para ilmuan sedemikian rupa sehingga
mendorng ilmu pengetahuan yang posesif, yang lepas dari muatan-muatan
spekulatif
3. Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan dan modernisasi, menjadikan
masyarakat yang gila akan tekhnologi, industri,dan lain sebagainya
C. Materialisme
Paham yang menyatakan bahwa yang
nyata hanyalah materi, disebut dengan materialisme. Paha ini didukung oleh
Ludvwing Feuerbach (1804 – 1872), dan Karl Marx (1818 – 1883). Menurut
Feuerbach, hanya alamlah yang
berada. Oleh karena itu manusia adalah makhluk yang alamiah. Segala usahanya
didorong oleh nafsu alamiahnya. Yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting
pada manusia bukan akalnya, tetapi usahanya sebab pengetahuan hanyalah alat
untuk menjadikan segala manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di
dalam dunia ini. Oleh karena itu agama dan metafisikan harus ditolak.[12]
Materialisme
tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial
tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural.
Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi.
Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak
Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah,
akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam
suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.[13]
Menurut Marx, maunusia itu tertentukan alam dalam kodratnya, tetapi kodrat
ini dipandang dari sudut kemasyarakatannya, sebetulnya yang berarti itu adalah
masyarakat bukanlah individu. Adapun masyarakat ini harus berkembang,
perkembangan ini dinamakan sejarah. Tujuan Marx ialah memberi arah manusia ke
mana jalannya sejarah, sebab gerak sejarah ini sebetulnya milik manusia itu
sendiri.[14] Dalam
aliran materialisme ada dua bentuk, yaitu materialisme mekanaik dan
materialisme dialektik. Pertama, materialisme
mekanik mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang
mengatur meteri dan gerak. Semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang lazim
dari atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi atau lebih kompleks, bentuk yang
lebih tinggi tidak mengandung materi atau energi baru. Sehingga semua proses
alam baik inorganik atau organik telah dapat dipastikan dan dapt diramalkan
jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui. Kedua, meterilisme dialektik dengan
tokoh utamanya Karl Marx (1818 -1883), menialai bahwa dunia misterius ini
konstan baik dalam gerak perkembangan maupun regenerasinya, materi adalah yang
primer sedangkan ide atau kesadaran adalah sekunder.[15]
Secara formal, Marx tentu saja berkikap anti
Agama dan filsafatnya tentang sejarah didasarkan pada metafisika yang
antispiritualistis dan materealistis.[16] Di sini yang pertama-tama kita
permasalahkan yalah benda-benda tidak-hidup (bendamati); hukum yang sama
berlaku bagi benda-benda
hidup, tetapi ia beropperasi dalam kondisi-kondisi
yang sangat kompleks dan pada waktu
sekarang pengukuran kuantitatif acapkali
masih belum mungkin bagi kita. Jika
kita membayangkan sesuatu benda mati terpotong
menjadi potongan-potongan lebih kecil
dan lebih kecil lagi, mula-mula tidak terjadi perubahan kualitatif. Namun ini
ada batasnya: jika kita berhasil, seperti dengan penguapan
(evaporasi), dalam memperoleh molekul-molekul
terpisah itu dalam keadaan bebas, maka benarlah bahwa kita lazimnya dapat membaginya lebih lanjut, namun
hanya dengan suatu perubahan kualitas secara menyeluruh.
Molekul itu didekomposisi ke dalam
atom-atomnya yang terpisah-pisah, yang mempunyai
sifat-sifat yang sangat berbeda dengan sifat-sifat molekul itu. Dalam hal molekul-molekul itu terdiri atas
berbagai unsure kimiawi,
atom-atom atau molekul-molekul unsur-unsur
itu sendiri muncul sebagai gantinya molekul
persenyawaan itu; dalam hal molekul-molekul
unsur-unsur, tampillah atom-atom
bebas yang
menimbulkan akibat-akibat atau efek-efek kualitatif yang sangat
berbeda-beda; atom-atom bebas
dari oksigen yang
lahir secara mudah dapat menghasilkan yang tidak pernah dapat dicapai oleh atom atom dari
oksigen atmosferik, yang terikat menjadi satu di dalam molekul itu. Tetapi, molekul itu secara
kualitatif juga berbeda dari massa benda yang padanya molekul itu termasuk.[17]
D. Freudinamisme
Sigmud Freud (1856 – 1939), penemu pertama teori psikoanalisis dan
seorang tokoh sekaliber galileo, darwin atau einsten, memberikan perhatian yang
cukup besar pada sifat dasar agama. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya
yang cukup berkaitan dengan masalah agama, seperti
totem and Taboo (1913), The Future of
ana Illusion (1927), Moses and
Monotheisme (1939). Dari keseleruhan pembahasannya mengenai agama tersebut
Freud menganggap Agama sebagai ilusi, yaitu suatu upaya untuk memenuhi
keinginan-keinginan umat manusia yang paling tua dan yang paling kuat. Agama
menurut Freud, merupakan suatu pertahanan mental terhadap aspek-aspek alamiah
yang menimbulkan rasa takut saperti gempa, banjir, badai, wabah penyakit dan
kematian yang tak dapat dihindari oleh manusia. Dengan kekuatan seperti itu
alam merupakan ancaman bagi kehidupan manusia. Tetapi daya khayal manusia
kemudian mentranformasikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam bentuk makhluk
misterius.
Kekuatan misterius seperti itu tidak mungkin timbul begitu saja,
tanpa ada sumber penyebabnya. Dengan meyakini adanya sumber penyebab bagi
timbulnya kekuatan-kekuatan dasyat seperti itu menusia berusaha melakaukan
pendekatan-pendekatan khusus padanya, meskipun sumber kekuatan tersebut tetap
merupakan misteri dan asing baginya, pendekatan-pendekatan tersebut tentunya
dilakukan oleh manusia dengan tujuan agar kekuatan-kekuatan misterius itu mau
berdamai dengannya dan tidak lagi mau mengancam kehidupannya. Untuk itu manusia
harus bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan daari sumber kekuatan dasyat
tersebut.[18]
Kajian tentang intrepentasi psikoanalitis Freud mengenai agama ini
telah banyak dilakukan oleh para ahali dalam bidang ilmu-ilmu yang berkaitan.
Tidak kurang dari Mircea Eliade, seorang tokoh ahli agama yang paling berwenang
dewasa ini, pernah menanyatakan keheranannya bagaimana karya Freud, Totem and Taboo ini mencapai sukses yang
begitu besar dan mempengaruhi pola fikir banyak kalangan intelektual di Barat.[19]
[1]
Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta:
PT RINEKA CIPTA, 2008), hlm.
321
[2]
Suparlan Suharto, filsafat modern, (Jogjakarta:
AR-RUZZ, 2005), hlm. 53
[5]
Sumber:
qienz.blogspot.com/2012/06/ide-dan-kesan-dalam-pandangan-David-html?m=l,
diakses pada, 19, 11,2013
[7]
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung:
PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 130
[10]
Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hlm.135
[15]
A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta:
PT Bumi Aksara, 2011), Hal, 39
[16]
Henri D Aiken, Abad Ideologi, (Jogjakarta: AR RUZZ Media, 2009), hlm. 222
[18]
Fauzan Shaleh, keberadaan Tuhan dan
Pluralisme, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), Hal 117
[19]
Ibid, Hal, 120
Tidak ada komentar:
Posting Komentar