Minggu, 17 Mei 2015

BENTUK KERAGUAN AGAMA


A.    Empirisme
Paham ini dipelopori oleh Francois Bacon yang hidup antara tahun 1561 – 1626. Tokoh lain yang mendukung empirisme adalah Thomas Hobbes (1588 – 1679), Jhon Locke (1632 – 1704) dan David (1711 – 1776). Tokoh-tokoh empiris menitik beratkan kepada pengalaman atau empiri.[1] Kaum empiris mengatakan bahwa manusia itu putih bersih(tabularasa), tidak ada bekal dari siapapun yang merupakan idea innate.[2]
Metode Empiris ini oleh Balcon dipandang sebagai menunjukkan bagaimana menyusun data-data yang telah diamati, yang memang diperlukan oleh ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan harus dialaskan pada penyusunan data-data. Kita tidak boleh bersikap seperti labah-labah, yang menyulam segala sesuatu dari benang yang dikeluarkan sendiri. Kita juga tidak boleh bersikap seperti semut yang hanya mengumpulkan saja. Kita harus bersikap seperti tawon yang selain mengumpulkan juga menyusun atau mengatur.[3]
Dalam kaitan ini filsafat dipandang sebagai ilmu pengurai akibat-akibat. Adapun yang diamati adalah fakta-fakta yang diamati dengan maksud untuk mencari sebab-sebabnya. Di dalam pengamatan dijelaskan atau disajikan fakta-fakta yang diungkapkan dalam istilah-istilah yang menggambarkan fakta-fakta tersebut. Prinsi-prinsip dan metode empiris pertama kali diterapkan oleh John Locke, penerapan tersebut terhadap masalah-masalah pengetahuan dan pengenalan, langkah yang utama adalah Locke berusaha menggabungkan teori empiris dengan ajaran rasionalisme Descartes. Penggabungan ini menguntungkan empirisme. Ia menentang teori rasionalisme yang mengenai idea-idea dan asa-asa pertama yang dipandang sebagai bawaan manusia. Tidak lebih dari itu. Akal atau rasio adalah pasif pada waktu pengetahuan didapatkan. Akal tidak melahirkan pengetahuan dari dirinya sendiri. Semula akal serupa dengan kertas yang tanpa tulisan, yang menerima segala sesuatu yang datang dari pengalaman. Locke tidak membedakan antara pengetahuan inderawi dan pengetahuan akali. Satu-satunya sasaran atau obyek pengetahuan adalah gagasan atau idea yang timbul karena pengalaman lahiriyah dan karena batiniyah. Pengalaman lahiriyah mengajarkan kepada kita tentang hal yang diluar kita sedangkan pengalaman batiniyah mengajarkan tentang hal psikis kita sendiri.[4]
Tokoh lain yang berpendapat bahwa keseluruhan pengetahuan merupakan jumblah dari pengalaman-pengalaman adalah David Hume (1711-1766). Dengan amat tegas Hume hanya menerima persatuan indra dengan hal luas, hanya itu saja, segala kesimpulan budi tak lagi dapat dipercaya, dari Empirisme sebutulnya ia sebetulnya sampai kepada Skeptis.
Sebagai tokoh Empiris, Hume mennemukakan tentang konsep ketuhanannya. Kemudian bagaimana dengan penalaman kita akan Tuhan? Kita mengetahui Tuhan karena kita tinggal dan mengalami hidup dalam masyarakat yang percaya dengan Tuhan. Pengetahuan tentang Tuhan sudah ditanamkan sejak dini. Menurut Hume, sebagian besar pengetahuan kita tentang Tuhan adalah pengetahuan tak langsung. Tuhan hadir dalam bentuk konsep yang dihadirkan oleh guru Agama,”Tuhan Cuma akal-akalannya”, dengan kemampuan Analogi, Asosiasi dan Imajinasinya. Akal menjalin-jalinkan berbagai pengetahuan dan berbagai gagasan yang kita peroleh sepanjang hidup. Atribut Tuhan yang selama ini kita pelajari sebagai “Maha Kasih, Maha Agung, Maha Satu, Maha Mulia dan lain-lain” dan itu hanyalah pengetahuan teoritis saja. Hume menambahkan bahwa gagasan Tuhan sebagai ”Ada”,muncul atas renungan dari kegiatan jiwa manusia sendiri dan gradasi tak terhingga. Jadi kaitan yang menciptakan Tuhan dengan menyambung-nyambungkan kesan Empiris.[5]
Sebagai tokoh Empiris, Hume tidak mengakui hukum sebab akibat (Kausalitas). Dalam hukum Kausalitas pada umumnya ada anggapan bahwa penyimpulan dari masalah-masalah yang nyata hanya disebabkan pada hubungan sebab akibat.[6]

B.     Positivisme
Paham ini dipelopori oleh Auguste Comte (1798-1857), menurutnya ada tiga tahap manusia untuk mengembangkan akal budi manusia.[7]
1.      Tahap Teologis
Tahap ini merupakan tahap paling awal dalam rangka mengembangkan akal budi manusia. Pada tahap ini, manusia berusaha menerangkan segenap fakta-fakta atau kejadian dalam kaitannya teka teki alam yang dianggapnya berupa misteri. Dalam tahapan ini, nanti akan muncul berbagai pola macam pemikiran, sepertihalnya muncul konsep Animisme, Politeisme, Monoteisme. Cara berfikir seperti ini memberi pengaruh yang cukup besar dalam kehidupan sosial, budaya dan pemerintahan. Pada tahap awal ini barulah muncul dogma dari berbagai Agama yang kemudian dijadikan pedoman hidup masyarakat, disamping sebagai landasan institusional juga berperan sebagai alat jastifikasi.
2.      Tahap Metafisis
Pada tahap Metafisik, pada kenyataannya hanya merupakan modifikasi sederhana yang bersifat umum saja dari tahap yang pertama, agen-agen supranatural digantikan oleh kekuatan-kekuatan abstrak. Perbedaan keduanya cara berfikir tersebut terletak pada cara menerangkan kenyataan: alam yang semula diasalkan oleh Dewa atau Tuhan, kini telah diterangkan kedalam konsep-konsep abstrak seperti, kodrat, kehendak Tuhan, Roh Absolute, tuntutan hati nurani, keharusan mutlak, kewajiban moral, dan lain sebagainya. Konsep seperti itu, kendati berasal dari kebebasan akal budi manusia, bukan diambil dari sikap empiris. Dan hanya konsep dasar yang tidak dipertanggung jawabkan. Konsep itu Cuma pengandai-andaian Apriori tanpa penelitian yang sungguh-sungguh dan ilmiah.
3.      Tahap Positif
Pada tahap positif, gejala dan kejadian alam tidak lagi dijelaskam secara Apriori, melainkan berdasarkan observasi, eksperimen dan komparasi yang ketat dan teliti.[8] Dengan demikian pada prinsipnya zaman positifme adalah zaman ketika orang tahu, bahwa tiada guna lagi untuk berusaha mencapai pengenalan atau pengetahuan yang mutlak, baikpengenalan teologis ataupun pengenalan metafisis. Ia tidak mau lagi melacak asal dan tujuan terakhir seluruh alam semesta ini, atau melacak hakikat yang sejati dari segala sesuatu. Sekarang orang berusaha menemukan hukum kesamaan dan urutan yang terdapat pada fakta yang telah dikenal atau yang disajikan kepadanya yaitu dengan pengamatan dan dengan memakai akalnya. Pada zaman ini pengertian menerangkan berati fakta-fakta yang khusus dihubungkan dengan suatu fakta yang umum. Tujuan tertinggi dari zaman ini akan tercapai, bilamana segala gejala telah dapat disusun dan diatur di bawah satu fakta yang umum saja, umpamanya gaya berat.[9]
Mengingat besarnya fungsi serta sisi baik dari ilmu pengetahuan positif, maka tidak ada faedahnya mempertahankan atau memelihara jenis-jenis pengetahuan yang tidak benar dan tidak berguna. Teologi dan metafisika, sedikit demi sedikit atau sekaligus harus mundur teratur. Begitu ilmu pengetahuan muncul, tempat-tempat ibadat, sekolah-sekolah teologi, serta fakultas-fakultas filsafat (Metafisika) harus dialih fungsikan menjadi universitas, pasar (plaza atau supermarket), bank dan pabrik-pabrik industri, yang semuanya merupakan produk-produk unggulan dari akal budi manusia yang berdasarkan akal budi manusia, yang berdasarkan pada pemikiran yang mendalam dan berdasarkan ilmiah.[10]
Dengan adanya pandangan positivisme, memberi pengaruh banyak dalam dunia Barat, diantaranya:[11]
1.      Semakin tebalnya optimisme masyarakat Barat yang telah timbul sejak zaman ini mengenai hari depan manusia yang semakin baik atau maju
2.      Semangat eksporatif dan ilmiyah para ilmuan sedemikian rupa sehingga mendorng ilmu pengetahuan yang posesif, yang lepas dari muatan-muatan spekulatif
3.      Konsepsi yang semakin meluas tentang kemajuan dan modernisasi, menjadikan masyarakat yang gila akan tekhnologi, industri,dan lain sebagainya
C.    Materialisme
Paham yang menyatakan bahwa yang nyata hanyalah materi, disebut dengan materialisme. Paha ini didukung oleh Ludvwing Feuerbach (1804 – 1872), dan Karl Marx (1818 – 1883). Menurut Feuerbach, hanya alamlah yang berada. Oleh karena itu manusia adalah makhluk yang alamiah. Segala usahanya didorong oleh nafsu alamiahnya. Yaitu dorongan untuk hidup. Yang terpenting pada manusia bukan akalnya, tetapi usahanya sebab pengetahuan hanyalah alat untuk menjadikan segala manusia berhasil. Kebahagiaan manusia dapat dicapai di dalam dunia ini. Oleh karena itu agama dan metafisikan harus ditolak.[12]
Materialisme tidak mengakui entitas-entitas nonmaterial seperti : roh, hantu, setan dan malaikat. Pelaku-pelaku immaterial tidak ada. Tidak ada Allah atau dunia adikodrati/supranatural. Realitas satu-satunya adalah materi dan segala sesuatu merupakan manifestasi dari aktivitas materi. Materi dan aktivitasnya bersifat abadi. Tidak ada Penggerak Pertama atau Sebab Pertama. Tidak ada kehidupan, tidak ada pikiran yang kekal. Semua gejala berubah, akhirnya melampaui eksistensi, yang kembali lagi ke dasar material primordial, abadi, dalam suatu peralihan wujud yang abadi dari materi.[13]
Menurut Marx, maunusia itu tertentukan alam dalam kodratnya, tetapi kodrat ini dipandang dari sudut kemasyarakatannya, sebetulnya yang berarti itu adalah masyarakat bukanlah individu. Adapun masyarakat ini harus berkembang, perkembangan ini dinamakan sejarah. Tujuan Marx ialah memberi arah manusia ke mana jalannya sejarah, sebab gerak sejarah ini sebetulnya milik manusia itu sendiri.[14] Dalam aliran materialisme ada dua bentuk, yaitu materialisme mekanaik dan materialisme dialektik. Pertama, materialisme mekanik mengatakan bahwa semua bentuk dapat diterangkan menurut hukum yang mengatur meteri dan gerak. Semua kejadian dan kondisi adalah akibat yang lazim dari atau bentuk-bentuk yang lebih tinggi atau lebih kompleks, bentuk yang lebih tinggi tidak mengandung materi atau energi baru. Sehingga semua proses alam baik inorganik atau organik telah dapat dipastikan dan dapt diramalkan jika segala fakta tentang kondisi sebelumnya dapat diketahui. Kedua, meterilisme dialektik dengan tokoh utamanya Karl Marx (1818 -1883), menialai bahwa dunia misterius ini konstan baik dalam gerak perkembangan maupun regenerasinya, materi adalah yang primer sedangkan ide atau kesadaran adalah sekunder.[15]
Secara formal, Marx tentu saja berkikap anti Agama dan filsafatnya tentang sejarah didasarkan pada metafisika yang antispiritualistis dan materealistis.[16] Di sini yang pertama-tama kita permasalahkan yalah benda-benda tidak-hidup (bendamati); hukum yang sama berlaku bagi benda-benda hidup, tetapi ia beropperasi dalam kondisi-kondisi yang sangat kompleks dan pada waktu sekarang pengukuran kuantitatif acapkali masih belum mungkin bagi kita. Jika kita membayangkan sesuatu benda mati terpotong menjadi potongan-potongan lebih kecil dan lebih kecil lagi, mula-mula tidak terjadi perubahan kualitatif. Namun ini ada batasnya: jika kita berhasil, seperti dengan penguapan (evaporasi), dalam memperoleh molekul-molekul terpisah itu dalam keadaan bebas, maka benarlah bahwa kita lazimnya dapat membaginya lebih lanjut, namun hanya dengan suatu perubahan kualitas secara menyeluruh. Molekul itu didekomposisi ke dalam atom-atomnya yang terpisah-pisah, yang mempunyai sifat-sifat yang sangat berbeda dengan sifat-sifat molekul itu. Dalam hal molekul-molekul itu terdiri atas berbagai unsure kimiawi, atom-atom atau molekul-molekul unsur-unsur itu sendiri muncul sebagai gantinya molekul persenyawaan itu; dalam hal molekul-molekul unsur-unsur, tampillah atom-atom bebas  yang menimbulkan akibat-akibat atau efek-efek kualitatif yang sangat berbeda-beda; atom-atom bebas dari oksigen yang lahir secara mudah dapat menghasilkan yang tidak pernah dapat dicapai oleh atom atom dari oksigen atmosferik, yang terikat menjadi satu di dalam molekul itu. Tetapi, molekul itu secara kualitatif juga berbeda dari massa benda yang padanya molekul itu termasuk.[17]

D.    Freudinamisme
Sigmud Freud (1856 – 1939), penemu pertama teori psikoanalisis dan seorang tokoh sekaliber galileo, darwin atau einsten, memberikan perhatian yang cukup besar pada sifat dasar agama. Hal ini dapat dilihat dari karya-karyanya yang cukup berkaitan dengan masalah agama, seperti totem and Taboo (1913), The Future of ana Illusion (1927), Moses and Monotheisme (1939). Dari keseleruhan pembahasannya mengenai agama tersebut Freud menganggap Agama sebagai ilusi, yaitu suatu upaya untuk memenuhi keinginan-keinginan umat manusia yang paling tua dan yang paling kuat. Agama menurut Freud, merupakan suatu pertahanan mental terhadap aspek-aspek alamiah yang menimbulkan rasa takut saperti gempa, banjir, badai, wabah penyakit dan kematian yang tak dapat dihindari oleh manusia. Dengan kekuatan seperti itu alam merupakan ancaman bagi kehidupan manusia. Tetapi daya khayal manusia kemudian mentranformasikan kekuatan-kekuatan tersebut dalam bentuk makhluk misterius.
Kekuatan misterius seperti itu tidak mungkin timbul begitu saja, tanpa ada sumber penyebabnya. Dengan meyakini adanya sumber penyebab bagi timbulnya kekuatan-kekuatan dasyat seperti itu menusia berusaha melakaukan pendekatan-pendekatan khusus padanya, meskipun sumber kekuatan tersebut tetap merupakan misteri dan asing baginya, pendekatan-pendekatan tersebut tentunya dilakukan oleh manusia dengan tujuan agar kekuatan-kekuatan misterius itu mau berdamai dengannya dan tidak lagi mau mengancam kehidupannya. Untuk itu manusia harus bersedia memenuhi tuntutan-tuntutan daari sumber kekuatan dasyat tersebut.[18]
Kajian tentang intrepentasi psikoanalitis Freud mengenai agama ini telah banyak dilakukan oleh para ahali dalam bidang ilmu-ilmu yang berkaitan. Tidak kurang dari Mircea Eliade, seorang tokoh ahli agama yang paling berwenang dewasa ini, pernah menanyatakan keheranannya bagaimana karya Freud, Totem and Taboo ini mencapai sukses yang begitu besar dan mempengaruhi pola fikir banyak kalangan intelektual di Barat.[19]







[1] Sudarsono, Ilmu Filsafat, (Jakarta: PT RINEKA CIPTA, 2008), hlm. 321
[2] Suparlan Suharto, filsafat modern, (Jogjakarta: AR-RUZZ, 2005), hlm. 53
[3] Sudarsono, Ilmu ..., hlm. 318
[4] Ibid, hlm. 318-319
[5] Sumber: qienz.blogspot.com/2012/06/ide-dan-kesan-dalam-pandangan-David-html?m=l, diakses pada, 19, 11,2013
[6] Sudarsono, Ilmu ..., hlm. 322

[7] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2011), hlm. 130
[8] Ibid, hlm. 134
[9] Suparlan Suharto, filsafat modern, hlm. 333
[10] Zainal Abidin, Filsafat Manusia, hlm.135
[11] Ibid. Hlm. 138
[12] Sudarsono, Ilmu ..., hlm. 334
[13] Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme, diakses pada, 19,11, 2013
[14] Sudarsono, Ilmu ..., hlm. 335
[15] A. Susanto, Filsafat Ilmu, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011), Hal, 39
[16] Henri D Aiken, Abad Ideologi, (Jogjakarta:  AR RUZZ Media, 2009), hlm. 222
[17] Sumber: http://id.wikipedia.org/wiki/Materialisme_dialektika - diakses, 19,11,2013
[18] Fauzan Shaleh, keberadaan Tuhan dan Pluralisme, (Kediri: STAIN Kediri Press, 2011), Hal 117
[19] Ibid, Hal, 120

Tidak ada komentar:

Posting Komentar