MAKALAH
Tafsir Feminis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Tafsir Kontekstual”
Dosen Pembimbing :
Hibbi Farihin, M.S.I
Disusun Oleh :
Baru Muhamad
Yusuf
NIM: 283112305
Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan
: Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester
: VI (Enam)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
APRIL 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga
penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para
pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya
sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong
orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil
qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”TAFSIR FEMINIS” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Bpk Hibbi Farihin. Sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan
dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT
teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Dinamika penafsiran Al Qur’an tidak pernah
mengalami kemandekan atau staknanisasi sejak awal mula Al Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhamad SAW. Berbagai corak penafsiran telah ditawarkan oleh para
Mufasir baik Mufasir klasik maupun para Mufasir modern guna menguak sisi
rahasia yang tersimpan dalam Al Qur’an, yang kita yakini salah satu Mu’jizat
terbesar Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhamad guna memberi petunjuk kepada
semua umat setelah Al Qur’an diturunkan.[1] Bahkan penafsiran akan
terus berkembang, akan terus menjadi pembicaraan hangat ketika akal manusia
masih ada. Artinya pemahaman Al Qur’an akan terus berkembang, tidak lagi
memakai pemahaman masa klasik yang dianggap sudah tidak relevan terhadap
masalah modern yang begitu rumit, dan permasalahan atau keadaan yang begitu
berbanding terbalik dibandingkan masa dahulu. Ketidak puasan terhadap prinsip,
pendekatan dan hasil penafsiran merupakan bukti atas hal tersebut.
Salah satu pemikir Islam Indonesia yang
memiliki kesadaran memberikan kenuansaan berbeda yang menganghat martabat
perempuan, karena merasa perempuan masih berada dibawah staf laki-laki adalah Dr H. Abdul Mustaqim, M.A. beliau menafsirkan
ayat-ayat Al Qur’an yang bernuansakan perempuan dengan optik perempuan juga,
den metode ini menurutnya sangat objektif tatkala kita memahami ayat-ayat yang
bernuansakan perempuan. Apakah penahsiran beliau dapat kita jadikan salah satu
kajian yang menarik dalam era sekarang?, Untuk lebih jelasnya, marilah kita
lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas
dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi
meliputi:
1.
Bagaimana biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A?
2.
Bagaimana Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan dalam buku
Tafsir Feminis?
3.
Bagaimana gambaran buku tentang Tafsir Feminis?
C.
Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu
untuk mengetahui dan memahami:
1.
Biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A
2.
Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan dalam buku Tafsir
Feminis
3.
Gambaran buku tentang Tafsir Feminis
BAB II
PEMBAHASAN
A. Biografi Dr. H Abdul Mustaqim, M.A
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa panggungrejo,
Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari pasangan H. Moh Bardan dan
Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang petani dan guru ngaji di Desa. Sejak
kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius. Setelah menyelasaikan pendidikan
MTs Al Islam Jono Bayan Purworejo (1989-1991), ia kemudian melanjutkan
kemadrasah aliyah Ali Maksum PP Al Munawir Krapyak Yogjakarta. Disana ia
mengambil jurusan Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan beberaa kyai
di Krapyak, seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson Munawir
(Ahli Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli Tafsir),
KH. Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian setelah
menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan Kalijogo
dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah berhasil
menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia ia
melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di pascasarjana IAIN
Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1998, ia menikah dengan seorang gadis pujaanya, yang disaat itu
si cewek sebagai Mahasiswanya atau santrinya sendiri yakni Jujuk Najibah
Ardianingsih S.Psi dari daerah Probolinggo Jawa Timur. Dan sampai saat ini
mereka dikaruniai empat orang anak (Muhamad Zakir Hikam, Muhamad Baston Abqori,
Atiya Hilwa, dan Nabil Mammada). Dan setahun sebelum mereka menikah, sejak
tahun 1997 Abdul Mustakim diangkat menjadi dosen tetap di fakultas Ushuludin
IAIN Sunan Kalijogo untuk mata kuliah Al Qur’an dan Tafsir. Pada tahun 2007, ia
mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Tafsir, setelah pulang dari Short
Course di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan dari Mesir (Arab
Academy) ia diberi amanah untuk menjadi sekretaris Progam Studi Agama dan
Filsafat di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.[2]
Selain sibuk dengan mengajar sebagai dosen di Fakultas Ushuludin di IAIN
Sunan Kalijaga, menulis di Jurnal berbagai Ilmiah dan dakwah di Masyarakat, ia
juga mengajar Ma’had Ali PP Krapyak, STIQ PP An Nur Ngrukem Bantul, PP. Al
Muhsin Krapyak Wetan Yogjakarta. Serta mendirikan lembaga bernama LSQ
(Lingkaran Studi Al Qur’an) di rumah untuk kajian Al Qur’an dan studi Islam.
Disisi kesibukannya itu, ia masih sempat menulis banyak karya ilmiah yang
telah banyak diterbitkan antara lain:
1.
Ibadah-ibadah yang paling mudah, (Yogjakarta: Mitra Pustaka, 2000).
2.
Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadits Nabi
pendekatan sosio-Historis, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
3.
Tantangan Generasi dan Tugas Muda Islam, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2002).
4.
Menejemen Qalbu: resep sufi menghentikan
kemaksiatan, (Yogjakarta: Mitra Pustaka, 2002).
5.
Studi Al Qur’an Kontemporer: Wacana Baru
Berbagai Metode Tafsir, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2002).
6.
Aliran-Aliran Tafsir:peta penafsiran Al Qur’an
dari klasik hingga modern,(Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2006).
7.
Ahlaq Taawuf: jalan menuju revolusi spiritual,
(Yogjakarta:
Kreasi Wacana, 2006), dll
B. Pemikiran Dr. Abdul
Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir Feminis
Sebelum kita membahas tentang pemikiran beliau
yang tercurahkan dalam karyanya, mari terlebih dahulu kita memahami latar
belakang dari beliau mengapa ia menulis buku ini.
Karena melihat sejarah yang pernah ada dalam
kehidupan manusia, dimana tercatat bahwa perempuan pernah dinomor duakan oleh
kaum laki-laki, dan setelah itu Islam datang untuk menghapus semua perilaku
jahiliyah yang dianggap tidak berkelakuan selayaknya memberikan penghormatan
terhadap kaum perempuan, dengan dasar dari “ انّ اكرمكم عند الله اتقاكم" selain itu,
dalam surat Al Ahzab ayat 33:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ
وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ
وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ
وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ
وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا
وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Dan sebetulnya masih banyak ayat Al Qur’an yang menyetarakan
kesaman antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah SWT” QS Al Hujurat: 3,
QS Al Baqoroh 187, QS An Nisa 124, Qs Ali Imran 195, dll”. Namun pada
realitanya setelah Islam muncul sebagai agama yang memberi solusi terhadap adat
jahiliyah masih dinalia belum mempunyai tren kesadaran yang dimiliki oleh para
pemeluk Agama Islam khususnya oleh para Mufasir dalam menyikapi bagaimana kita
bisa menyetarakan antara derajat laki-laki dan perempuan. Bahkan Mufasir klasik
masih cenderung memahami atau menafsirkan ayat Al Qur’an secara tekstual.
Karena milihat negara Indonesia adalah negara
yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam, sudah menjadi barang tentu
bahwa seharusnya penindasan terhadap wanita harus dihapuskan. Namun ironisnya,
masih banyak banyak perempuan yang dianiaya, di lecehkan dan sampai saat ini
perempuan masih dianggap berada dibawah derajat oleh laki-laki. Padahal,
jikalau orang Muslim memahami ayat Al Qur’an dengan benar, pasti hal ini
tidak akan pernah terjadi.
Dan kemungkinan hal-hal yang menjadikan
penyebab dari adanya diskriminasi terhadap perempuan ada empat faktor: budaya
patriarki, politik, ekonomi dan faktor interpretasi teks Agama yang bias
gender. Dan sampai detik ini, kita memungkiri atau tidak, bahwa mayoritas atau
bahkan keseluruhan dari Mufasir, mulai dari klasik sampai modern adalah
dimonopoli oleh laki-laki, dan ini sangat berpengaruh besar terhadap apa yang
dihasilkandalam sebuah interpretasi. Oleh sebab itu, perlu ada dekontruksi
penafsiran dari kacamata perempuan, agar dapat menambah wawasan keilmuan dalam
Agama Islam.
Maka dari itu, muncul beberapa corak tafsir
feminis yang diusung seperti pemikiran Riffat Hasan, Amina Wadud, Fatima
Mernisi, Ashghar Ali Enginer. Mereka muncul karena ingin mengangkat derajat
Agama Islam dihadapan Agama lain.
Sehingga penulis mencurahkan pemikirannya untuk umat Islam yang ada di
Indonesia khususnya, agar memahami konsep kesetaraan gender yang ada dalam Al
Qur’an. Walaupun nanti konsekuensinya banyak dari kalangan kiyai ataupun ulama’
yang kurang setuju dengan pendapat yang tertera dalam buku ini. Namun, penulis
merasa bahwa karya seperti ini adalah karya kritis dan perlu dikaji secara
mendalam agar lebih menghasilkan pemahaman yang utuh.
Pemikiran Dr. Abdul
Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir Feminis
Dalam buku ini, beliau membagi
beberapa bab agar lebih mudah memetakan pembahasan, diantaranya:
1.
Prolog: Paradigma Tafsir Feminis”membaca Al Qur’an dengan optik perempuan”
Dalam bab ini, penulis mengawali dengan pendahuluan, mengapa karya ditulis,
seperti apa yang saya utarakan dalam latar belakang penulisan buku ini.
2.
Pergeseran paradigma tafsir: sebuah keniscayaan
Dengan melihat karya-karya ulama’ terdahulu yang bisa dikatakan lebih
dimonopoli oleh kaum laki-laki, maka hal itu akan dianggap sebuah pola
penafsiran yang mendiskriminasi kaum perempuan. Karena melihat pesan moral dari
Al Qur’an adalah ‘Adalah, (keadilan), al Musawa (kesetaraan), al
ma’ruf (kepantasan) dll. Sehingga
sebuah kewajaran jika sebuah pergeseran paradigma (Taghayur Manhaj Al Fikr) dari
corak penafsiran klasik menuju penafsiran yang lebih bisa menjawab permasalahan
kontemporer. Dan salah satu dari permasalahan tersebut adalah Gender. Walaupun
secara normatif kebenaran Al Qur’an bersifat mutlak, namun jika sudah jatuh
ditangan Mufasir hal ini tidak bisa menjadi sebuah pertanggung jawaban atas
kebenaran tersebut. Karena banyak kita lihat bahwa hasil penafsiran klasik yang
dipengaruhi oleh faktor ekstern.
Al Qur’an diyakini mengandung banyak kemungkinan penafsiran, sehingga
tafsir itu sebetulnya tidak tunggal, melainkan plural. Tidaklah berlebihan jika
Muhamad Arkound sering mengatakan:لا يفقه الرجل كل الفقه حتى يرى وجوها كثيرة فى القراءن"”, walaupun ini bukan pernyataan dari Nabi, melainkan dari pernyataan Ibnu
Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Darda’,[3] namun
paling tidak hal itu akan menyadarkan kita bahwa interpretasi Al Qur’an itu
sangat luas.
Pernyataan itu semakin kuat meyakinkan bahwa Al Qur’an memang "يحتمل
وجوه المعني" (mengandung banyak kemungkinan makna), sehingga
membatasi penafsiran ayat dengan satu pengertian, atau satu model paradigma
saja merupakan bentuk reduksi dan distorsi terhadap keluasan kandungan interpretasi
Al Qur’an itu sendiri.[4]
Maka dari itu, penafsiran terhadap ayat-ayat relasi gender yang sangat
tekstual harus dirubah menjadi lebih kontekstual yang sejalan dengan
nilai-nilai ideal moral Al Qur’an. Contoh populer ayat relasi gender adalah
ayat tentang kepemimpinan perempuan, waris, persaksian, dll. Penafsiran ayat
tersebut bisa dikontekstualisasikan sesuai dengan nilai etik Al Qur’an. Bagi
Abdul Mustaqim sendiri, kategori ayat Qot’i ataupun Dzanni semua bersifat
Dzanni dan relatif, karena selama itu semua adalah hasil dari pemikiran ulama’
adalah dzanni.
Misalkan saja dalam masalah waris, laki-laki mendapat dua bagian perempuan,
padahal situasi dan kondisinya jelas sangat berbeda dengan awal mula Al Qur’an
diturunkan. Jika pada masa kahiliyah dulu wanita tidak mendapat warisan sama
sekali bahkan malah menjadi “harta” yang diwariskan. Maka Islam datang untuk
menghapus itu, Dengan memberi bagian separoh dari laki-laki. Namun jika kita
sepakat bahwa Islam adalah Agama pengayom dari seluruh umat, maka bisa jadi ada
perubahan bahwa wanita sama bagiannya dengan laki-laki. Hal ini bisa
dibenarkan, mengingat dahulu wanita hanya duduk di rumah, dan ekonomi mereka
ditanggung oleh laki-laki, namun hal itu tidak berlaku di era sekarang, Kita
banyak menjumpai wanita yang lebih lihai dalam urusan mencari ekonomi untuk
menghidupi kebutuhan keluarga. Jadi jika kita memahami mengapa laki-laki
mendapatkan dua bagian perempuan karena dari sisi sosiologis dan historis mereka
sebagai tulang punggung keluarga, maka pembagian warisan itu dapat berubah.
3.
Penyebab bias-bias patriarkhi dalam tafsir
Menurut Abdul Mustaqim, adabeberapa faktor penyebab terjadinya bias
patriarkhi: Pertama, faktor internal Al Qur’an, karena Tuhan munurunkan
Al Qur’an dilam bahasa Arab, dan syarat dengan budaya bahasa arab yang terjadi
saat itu, maka maniscayakan sebuah gender didalamnya. Contoh, sudah menjadi
adat Arab bahwa dhamir antum, maka perempuan sudah masuk didalamnya,
lain halnya dengan Antunna, yang mana laki-laki belum masuk didalamnya.
Maka jika kita memahami secara tekstual, ayat-ayat tersebut akan menguntungkan
laki-laki, namun perlu diingan bahwa ayat itu disamping mempunyai makna, ia
juga mempunyai signifikansi. Kedua faktor metodologi penafsiran, hal ini
sangat menentukan produk penafsiran. Jadi dalam hal ini, kita harus melakukan
pendekatan terhadap kontekstual sebuah ayat. Karena ide atau gagasan itu
debungkus dengan bahasa, sedangkan bahasa memiliki keterbatasan. Atau dengan
kata lain, ide atau gagasan Tuhan lebih luas dibandung bahasa yang membungkus
ide tersebut.
4.
Rekontruksi Metodologi Tafsir Menuju Keadilan Gender
Dengan maraknya isu Gender yang dikumandangkan oleh aktivis pembela kaum
perempuan, maka soal rekontruksi penafsiran menjadi keniscayaan. Berawal dari
gagasan Amina Wadud yang menawarkan tafsir holistik, yakni penafsiran dengan
mempertimbangkan dari berbagai persoalan sosial, moral, politik bahkan termasuk
isu-isu perempuan yang muncul di era modernis. Dengan metode holistik ini, maka
ayat-ayat yang secara tekstual bias Gender, seperti ayat waris, persaksian, dll
dapat dinilai lebih bisa bersifat kontekstual.
Misalnya dalam urusan waris, pada dasarnya pesan dari teks adalah
sisi keadilan, bukan satu atau duanya. Karena pada saat itu pembagian satu
banding dua dililai sudah adil, karena sebelum Islam datang perempuan tidak
mendapat bagian apa-apa. Misalkan lagi dalam
urusan persaksian, mengapa dalam teks persaksian dua perempuan
sama dengan persaksian satu laki-laki?, kalau diruntut asbabun Nuzul dari ayat
ini, bahwa ayat ini turut tatkala dalam urusan perniagaan, yang mana saat itu
masih sedikit perempuan yang berkecimpung dalam urusan perniagaan, dan lebih
banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga dapat diasumsikan, bahwa
persaksian perempuan kurang valid, oleh karenanya diperluakan teman lain untuk
menyaksikannya. Dan jika sekarang sudah banyak kaum perempuan yang berkecimpung
dalam urusan perniagaan, maka seharusnya perempuan disejajarkan dengan
laki-laki, dalam urusan persaksian.
Kerena sifat Al Qur’an yang dipakai oleh Abdul Mustaqim adalah Shalihun
likulli zaman wa makan, maka, mau tidak mau ia harus di pahami seiring
berkembangnya zaman itu sendiri, sebagaimana pendapat Arkoun bahwa “sebetulnya
Masyarakat lebih suka mengonsumsi teks Al Qur’an dibandingkan dengan pesan
moral dari Al Qur’an itu sendiri”.[5]
5.
Perlu Hermeneutik dalam mengkaji Al Qur’an
Kontekstualisasi metode ini, lebih rumit dari
pada metode klasik yang dipakai oleh ulama’ klasik seperti, nahwu sharaf,
balagoh, ushul fiqh dll, dalam model hermeneutik selain ilmu-ilmu itu,
diperlukan ilmu-ilmu lain seperti: sosiologis, antropologi, filsafat, gender ,
HAM, dll. Karena kritik yang dilontarkan oleh kaum feminis bahwa, tafsir dahulu
dinilai kurang objektik. Kerena
susengguhnya penafsiran itu tidak hanya mereproduksi makna teks, tetapi juga
harus memproduksi makna teks. Hal ini diusung oleh Abdul Mustaqim dari teori
Gadamer, karena ia mengatakan bahwa “kita tidak mungkin membaca teks tanpa
ada prasangka, dan kita tidak mungkin memahami teks tanpa ada penambahan atau
pengurangan pemanahan makna didalamnya”. Oleh sebab itu, wajar jika satu
teks tatkala dibaca oleh banyak pembaca akan menghasilkan banyak penafsiran
atau pemahaman pula.
6.
Klasifikasi Produk Tafsir
Dalam buku ini, ia mengklasifikasikan tafsir
menjadi tiga model:
Ø Tafsir tradisional, yakni model penafsiran yang menggunakan pokok bahasan
tertentu sesuai minat dan kemampuan penafsirnya. Tafsir seperti ini terkesan
ekslusif, dan mayoritas oleh ditulis laki-laki maka tidak heran jika hanya
dimonopoli pendapat sosiologis mufasir laki-laki.
Ø Tafsir reaktif, yakni tafsir yang dihasilkan dari reaksi pemahaman klasik
yang dinilai kurang bisa menjawab permasalahan saat itu, seperti masalah
perempuan. Walaupun terkesan pembahasan, namun tidak terlalu mengikat dengan
sumber ideologi dan teologi.
Ø Tafsir holistik, tafsir yang menggunakan seluruh model penafsiran, dari
masalah klasik atau pedoman mufasir klasik sampai metode modern. Jadi jangan
sampai penafsiran trjebak dalam teks, namun harus mengedepankan pesan moral
didalamnya. Karena teks selamanya akan tetap atau abadi, dan konteks akan
selalu berubah-ubah.
7.
Aplikasi penafsiran dalam ayat-ayat relasi
Gender
Ø Relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan
Menurut Abdul Mustaqim, kesetaraan laki-laki dan
perempuan berakar pada ayat:
يَا
أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ
وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء)النساء:1)
وَمِنْ
آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا
وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ )الروم
:21)
Dalam paradigma tafsir feminis, ayat tersebut
menceritakan kisah awal penciptan manusia (laki-laki dan perempuan), menurut
mayoritas Mufasir bahwa nafsin wahidin, yakni Nabi Adam, demikian pula
dengan kata Zauj, sesungguhnya bersifat netral karena secara konseptual
kebahasaan tidak menunjukan muanats, namaun mengapa para mufasir klasik
menafsirkannya dengan kata “istrinya”? hal ini, karena para ulama’ klasik
memakai Hadits sebagai penopang bahwa yang dimasud nafs adalah Adam, berarti
secara akal Istrinya lah yang dimagsud dalam kata Zauj. Selain dari pada
itu, kabar yang terlanjur menggelinding dalam benak masyarakat bahwa proses
awal penurunan Adam dan Hawa adalah karena kesalahan Hawa karena godaan syetan,
padahal kalau kita jeli membaca Ayat disana tegas bahwa yang membuat kesalahan
adalah mereka berdua, namun para mufasir klasik cenderung menafsirkan bahwa
Hawa lah yang melakukan kesalahan.[6]
Selain itu, dalam surat An Nisa’: 1 jelas,
Allah memberi keistimewaan terhadap para perempuan, karena dengan jelas kita
disuruh untuk menghormati mereka, bukan dinomorduakan setelah laki-laki.
Ø Konsep
Nusyus: Gangguan keharmonisan rumah tangga
Biasanya, tatkala membicarakan nusyus, para
Mufasir akan merujuk pada QS An Nisa’: 34
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ
وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ
لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ
فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ
أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا
كَبِيرًا
secara umum, ayat tersebut adalah legitimasi
kepemimpinan laki-laki atas perempuan, bahkan jika perempuan membangkang, seakan-akan
disuruh untuk memukul perempuan. Inilah dampak dari penafsiran yang kurang
objektif, padahal, jika kita mau membaca ayat lain, QS An Nisa’ ayat: 19[7],
dan 128[8], maka kejadian pemukulan akan tidak pernah
terjadi. Bahkan dalam surat An Nisa’ 128, memberi solusi paling jitu, bahwa
tatkala ada masalah dengan pasangan, kita hendak untuk berdamai, dan konsep ini
juga senada dengan konsep musyawarah yang ada dalam ayat lain.
Kemudian, berkaitan dengan kata “Wadribuhunna”,
disini Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa kata “dharaba” adalah salah
satu kata yang mempunyai arti banyak (Dzu wujuh), ia memberi solusi
bahwa kata ini lebis cocok dimaknai “’aradha anhu wa sharafa”
(berpalinglah dang meninggalkan untuk pergi), atau “mana’a ‘anhu watasaruf
bi malihi” (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya).[9]
Jadi, jika kita memahami ayat tersebut dengan model seperti ini insyaAllah
kekerasan dalam keluarga tidak akan terjadi.
Ø Pembagain
Warisan dan Saksi
Seperti pemahaman lama, bahwa laki-laki
mempunyai bagian dua adr perempuan, bahkan dalam urusan persaksian masih juga
laki-laki mempunyai andil lebih banyak dibanding perempuan. “QS An Nisa’[10]
11, QS Al Baqoroh 282”[11],
nampaknya konsep ini sudah tidak sejalan lagi dengan permasalahan sekarang. Terinspirasi
dari pendapatnya Amina Wadud, Abdul Mustaqim memberi solusi bahwa konsep dasar
dari pembagian harta waris adalah keadilan, baik kelamin laki-laki maupun
perempuan tidak mengikat dalam hal ini. Karena melihat awal mula turun ayat
ini.
Lalu, bagaimana dengan masalah persaksian,
yang dalam teks ayat menyatakan bahwa persaksian laki-laki satu, sama dengan
persaksian dua perempuan?, nampaknya tatkala ini dihadapkan dengan permasalahan
sekarang, kita harus melihat ulang proses awal turun dari ayat ini, jadi
tatkala itu, masih banyak laki-laki yang berkecimpung dalam urusan perniagaan,
selain itu saat itu perempuan sangat mudah dipaksa. Jadi jika kondisi
sosiologis seperti itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan sudah banyak
perempuan yang bergelut dalam bisnis maka bisa saja persaksian perempuan sama
dengan laki-laki. Karena menitik beratkan pada kredibilitas dan kapabilitas
pada saat diserahi menjadi saksi.
8. Prinsip
pengembangan
Tafsir Feminis
Menurut Abdul Mustaqim, dengan beberapa
gagasan yang ditawarkan diatas, ia memberi rambu-rambu bahwa agar terhindar
dari penafsiran yang “liar”, maka pengembangan tafsir Feminis harus menjaga
prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.
Menjaga hal-hal yang substantif dan konstan “ihtiram
al Tsabit”, yang menjadi kesepakatan yang secara rasional antara academic
comunity of interpreters, sehingga akan menghasilkan tafsir yang otoritatif
dan tetep mencerminkan pandangan pluralistik, bukan pandangan monolitik.
b.
Untuk menghindari pemaksaan gagasan ekstra Qur’ani,
maka Al Qur’an jangan diposisika sebagai justifikasi gender, melainkan cukup
mendalami pesan moral sebagai teori pengembangan sosial, karena Al Qur’an bukan
menjustifikasi masalah satu gender saja, malainkan kitab hidayah.
c.
Perlu pengembangan nalar kritis, terhadap
karya-karya tafsir klasik.
d.
Tidak boleh menyalahkan kajian tafsir klasik,
karena memang yang namanya kajian akan terus berkembang, bisa saja tafsir
klasik sudah sangat luar biasa tatkala waktu itu, dan belum tentu tafsir
feminis juga bisa menjawab permasalahan duaratus tahun akan datang. Hal ini
menunjukkan bahwa kajian Al Qur’an sangat luas, tergantung siapa yang memahami
didalamnya.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa
panggungrejo, Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari pasangan H.
Moh Bardan dan Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang petani dan guru ngaji
di Desa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius. Setelah
menyelasaikan pendidikan MTs Al Islam Jono Bayan Purworejo (1989-1991), ia
kemudian melanjutkan kemadrasah aliyah Ali Maksum PP Al Munawir Krapyak
Yogjakarta. Disana ia mengambil jurusan Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan
beberaa kyai di Krapyak, seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson
Munawir (Ahli Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli
Tafsir), KH. Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian
setelah menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan
Kalijogo dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah berhasil
menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia ia
melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di pascasarjana IAIN
Sunan Kalijaga.
Konsep yang ditawarkan Abdul Mustaqim sebetulnya bukan
masalah baru dalam hajian Islam, sudah banyak tokoh sebelumnya yang membahas
hal ini. Namun, pembahasan itu masih terwacana dalam negara-negara maju saja.
Dan Indonesia yang notabennya negara Islam terbesar di dunia kurang bisa
menjalankan pesan moral yang digagas oleh Al Qur’an, karena masih menganggap
wanita di bawah laki-laki. Dengan memunculkan karya seperti ini, Abdul Mustaqim
berharap bahwa kajian Islam tentang kekinian bisa menjadi tren pemikiran
positif bagi kaum Islam khususnya yang berada di Indonesia.
[1] baca: M
Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al
hafitzah, 1961)
[2]
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir
Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt)
[3] Pernyataan atau Hadits ini diambil oleh Abdul
Mustaqim dari Muhamad Husain Ad Dzahabi, Al Tafsir wa Al Mufasirun, jilid
2, hlm. 354
[4]
Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir
Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt), hlm. 19
[5]
Pernyataan ini, oleh Abdul Mustaqim
diambil dari, Muhamad Arkoun, Rethinking Islam, terj Yudian Wasmin, (Yogjakarta:
Pustaka Pelajar, 1996), hlm 65
[6]
Baca: QS Al A’raf ayat: 19
[7] يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا
وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ
يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ
كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ
خَيْرًا كَثِيرًا
[8] وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
[9]
Pemahaman seperti ini oleh Abdu
Mustaqim diambil dari: Louis Ma’luf, Al Munjit fi Lughah Al Arabiyah, (Beirut:tt),
hlm. 436
[10] يُوصِيكُمُ
اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ
نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ
وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ
مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ
أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ
السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ
وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
[11] يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى
فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ
أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ
الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ
الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ
يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ
مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ
مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ
إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا
تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ
أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا
إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ
عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ
كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا
اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar