Sabtu, 09 Mei 2015

TAFSIR FEMINIS


MAKALAH
Tafsir Feminis
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Tafsir Kontekstual

Dosen Pembimbing :
Hibbi Farihin, M.S.I
 






    
Disusun Oleh :


Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305


Fakultas               : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan                : Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester               : VI (Enam)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
APRIL  2015
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”TAFSIR FEMINIS” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.      Bpk  Hibbi Farihin. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.      Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.





Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dinamika penafsiran Al Qur’an tidak pernah mengalami kemandekan atau staknanisasi sejak awal mula Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW. Berbagai corak penafsiran telah ditawarkan oleh para Mufasir baik Mufasir klasik maupun para Mufasir modern guna menguak sisi rahasia yang tersimpan dalam Al Qur’an, yang kita yakini salah satu Mu’jizat terbesar Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhamad guna memberi petunjuk kepada semua umat setelah Al Qur’an diturunkan.[1] Bahkan penafsiran akan terus berkembang, akan terus menjadi pembicaraan hangat ketika akal manusia masih ada. Artinya pemahaman Al Qur’an akan terus berkembang, tidak lagi memakai pemahaman masa klasik yang dianggap sudah tidak relevan terhadap masalah modern yang begitu rumit, dan permasalahan atau keadaan yang begitu berbanding terbalik dibandingkan masa dahulu. Ketidak puasan terhadap prinsip, pendekatan dan hasil penafsiran merupakan bukti atas hal tersebut.
Salah satu pemikir Islam  Indonesia yang memiliki kesadaran memberikan kenuansaan berbeda yang menganghat martabat perempuan, karena merasa perempuan masih berada dibawah staf  laki-laki  adalah Dr H. Abdul Mustaqim, M.A. beliau menafsirkan ayat-ayat Al Qur’an yang bernuansakan perempuan dengan optik perempuan juga, den metode ini menurutnya sangat objektif tatkala kita memahami ayat-ayat yang bernuansakan perempuan. Apakah penahsiran beliau dapat kita jadikan salah satu kajian yang menarik dalam era sekarang?, Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.




B.  Rumusan Masalah

Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1.    Bagaimana biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A?
2.    Bagaimana Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan dalam buku Tafsir Feminis?
3.    Bagaimana gambaran buku tentang Tafsir Feminis?


C.  Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1.     Biografi Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A
2.      Pemikiran Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A yang tercurahkan dalam buku Tafsir Feminis
3.      Gambaran buku tentang Tafsir Feminis
















BAB II
PEMBAHASAN

A.   Biografi Dr. H Abdul Mustaqim, M.A
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa panggungrejo, Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari pasangan H. Moh Bardan dan Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang petani dan guru ngaji di Desa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius. Setelah menyelasaikan pendidikan MTs Al Islam Jono Bayan Purworejo (1989-1991), ia kemudian melanjutkan kemadrasah aliyah Ali Maksum PP Al Munawir Krapyak Yogjakarta. Disana ia mengambil jurusan Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan beberaa kyai di Krapyak, seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson Munawir (Ahli Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli Tafsir), KH. Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian setelah menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan Kalijogo dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah berhasil menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia ia melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Pada tahun 1998, ia menikah dengan seorang gadis pujaanya, yang disaat itu si cewek sebagai Mahasiswanya atau santrinya sendiri yakni Jujuk Najibah Ardianingsih S.Psi dari daerah Probolinggo Jawa Timur. Dan sampai saat ini mereka dikaruniai empat orang anak (Muhamad Zakir Hikam, Muhamad Baston Abqori, Atiya Hilwa, dan Nabil Mammada). Dan setahun sebelum mereka menikah, sejak tahun 1997 Abdul Mustakim diangkat menjadi dosen tetap di fakultas Ushuludin IAIN Sunan Kalijogo untuk mata kuliah Al Qur’an dan Tafsir. Pada tahun 2007, ia mendapatkan gelar Doktor dalam bidang Tafsir, setelah pulang dari Short Course di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM), dan dari Mesir (Arab Academy) ia diberi amanah untuk menjadi sekretaris Progam Studi Agama dan Filsafat di Pasca Sarjana UIN Sunan Kalijaga.[2]
Selain sibuk dengan mengajar sebagai dosen di Fakultas Ushuludin di IAIN Sunan Kalijaga, menulis di Jurnal berbagai Ilmiah dan dakwah di Masyarakat, ia juga mengajar Ma’had Ali PP Krapyak, STIQ PP An Nur Ngrukem Bantul, PP. Al Muhsin Krapyak Wetan Yogjakarta. Serta mendirikan lembaga bernama LSQ (Lingkaran Studi Al Qur’an) di rumah untuk kajian Al Qur’an dan studi Islam.
Disisi kesibukannya itu, ia masih sempat menulis banyak karya ilmiah yang telah banyak diterbitkan antara lain:
1.      Ibadah-ibadah yang paling mudah, (Yogjakarta: Mitra Pustaka, 2000).
2.      Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadits Nabi pendekatan sosio-Historis, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2001).
3.      Tantangan Generasi dan Tugas Muda Islam, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2002).
4.      Menejemen Qalbu: resep sufi menghentikan kemaksiatan, (Yogjakarta: Mitra Pustaka, 2002).
5.      Studi Al Qur’an Kontemporer: Wacana Baru Berbagai Metode Tafsir, (Yogjakarta: Tiara Wacana, 2002).
6.      Aliran-Aliran Tafsir:peta penafsiran Al Qur’an dari klasik hingga modern,(Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2006).
7.      Ahlaq Taawuf: jalan menuju revolusi spiritual, (Yogjakarta: Kreasi Wacana, 2006), dll  

B.  Pemikiran Dr. Abdul Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir Feminis
Sebelum kita membahas tentang pemikiran beliau yang tercurahkan dalam karyanya, mari terlebih dahulu kita memahami latar belakang dari beliau mengapa ia menulis buku ini.
Karena melihat sejarah yang pernah ada dalam kehidupan manusia, dimana tercatat bahwa perempuan pernah dinomor duakan oleh kaum laki-laki, dan setelah itu Islam datang untuk menghapus semua perilaku jahiliyah yang dianggap tidak berkelakuan selayaknya memberikan penghormatan terhadap kaum perempuan, dengan dasar dari “ انّ اكرمكم عند الله اتقاكم"  selain itu, dalam surat Al Ahzab ayat 33:
إِنَّ الْمُسْلِمِينَ وَالْمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ وَالْقَانِتِينَ وَالْقَانِتَاتِ وَالصَّادِقِينَ وَالصَّادِقَاتِ وَالصَّابِرِينَ وَالصَّابِرَاتِ وَالْخَاشِعِينَ وَالْخَاشِعَاتِ وَالْمُتَصَدِّقِينَ وَالْمُتَصَدِّقَاتِ وَالصَّائِمِينَ وَالصَّائِمَاتِ وَالْحَافِظِينَ فُرُوجَهُمْ وَالْحَافِظَاتِ وَالذَّاكِرِينَ اللَّهَ كَثِيرًا وَالذَّاكِرَاتِ أَعَدَّ اللَّهُ لَهُمْ مَغْفِرَةً وَأَجْرًا عَظِيمًا
Dan sebetulnya masih banyak ayat Al Qur’an yang menyetarakan kesaman antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah SWT” QS Al Hujurat: 3, QS Al Baqoroh 187, QS An Nisa 124, Qs Ali Imran 195, dll”. Namun pada realitanya setelah Islam muncul sebagai agama yang memberi solusi terhadap adat jahiliyah masih dinalia belum mempunyai tren kesadaran yang dimiliki oleh para pemeluk Agama Islam khususnya oleh para Mufasir dalam menyikapi bagaimana kita bisa menyetarakan antara derajat laki-laki dan perempuan. Bahkan Mufasir klasik masih cenderung memahami atau menafsirkan ayat Al Qur’an secara tekstual.
Karena milihat negara Indonesia adalah negara yang mayoritas penduduknya memeluk Agama Islam, sudah menjadi barang tentu bahwa seharusnya penindasan terhadap wanita harus dihapuskan. Namun ironisnya, masih banyak banyak perempuan yang dianiaya, di lecehkan dan sampai saat ini perempuan masih dianggap berada dibawah derajat oleh laki-laki. Padahal, jikalau orang Muslim memahami ayat Al Qur’an dengan benar, pasti hal ini tidak  akan pernah terjadi.
Dan kemungkinan hal-hal yang menjadikan penyebab dari adanya diskriminasi terhadap perempuan ada empat faktor: budaya patriarki, politik, ekonomi dan faktor interpretasi teks Agama yang bias gender. Dan sampai detik ini, kita memungkiri atau tidak, bahwa mayoritas atau bahkan keseluruhan dari Mufasir, mulai dari klasik sampai modern adalah dimonopoli oleh laki-laki, dan ini sangat berpengaruh besar terhadap apa yang dihasilkandalam sebuah interpretasi. Oleh sebab itu, perlu ada dekontruksi penafsiran dari kacamata perempuan, agar dapat menambah wawasan keilmuan dalam Agama Islam.
Maka dari itu, muncul beberapa corak tafsir feminis yang diusung seperti pemikiran Riffat Hasan, Amina Wadud, Fatima Mernisi, Ashghar Ali Enginer. Mereka muncul karena ingin mengangkat derajat Agama Islam dihadapan  Agama lain. Sehingga penulis mencurahkan pemikirannya untuk umat Islam yang ada di Indonesia khususnya, agar memahami konsep kesetaraan gender yang ada dalam Al Qur’an. Walaupun nanti konsekuensinya banyak dari kalangan kiyai ataupun ulama’ yang kurang setuju dengan pendapat yang tertera dalam buku ini. Namun, penulis merasa bahwa karya seperti ini adalah karya kritis dan perlu dikaji secara mendalam agar lebih menghasilkan pemahaman yang utuh.

Pemikiran Dr. Abdul Mustaqim Dalam Buku Paradigma Tafsir Feminis
Dalam buku ini, beliau membagi beberapa bab agar lebih mudah memetakan pembahasan, diantaranya:

1.      Prolog: Paradigma Tafsir Feminis”membaca Al Qur’an dengan optik perempuan”
Dalam bab ini, penulis mengawali dengan pendahuluan, mengapa karya ditulis, seperti apa yang saya utarakan dalam latar belakang penulisan buku ini.
2.      Pergeseran paradigma tafsir: sebuah keniscayaan
Dengan melihat karya-karya ulama’ terdahulu yang bisa dikatakan lebih dimonopoli oleh kaum laki-laki, maka hal itu akan dianggap sebuah pola penafsiran yang mendiskriminasi kaum perempuan. Karena melihat pesan moral dari Al Qur’an adalah ‘Adalah, (keadilan), al Musawa (kesetaraan), al ma’ruf  (kepantasan) dll. Sehingga sebuah kewajaran jika sebuah pergeseran paradigma (Taghayur Manhaj Al Fikr) dari corak penafsiran klasik menuju penafsiran yang lebih bisa menjawab permasalahan kontemporer. Dan salah satu dari permasalahan tersebut adalah Gender. Walaupun secara normatif kebenaran Al Qur’an bersifat mutlak, namun jika sudah jatuh ditangan Mufasir hal ini tidak bisa menjadi sebuah pertanggung jawaban atas kebenaran tersebut. Karena banyak kita lihat bahwa hasil penafsiran klasik yang dipengaruhi oleh faktor ekstern.
Al Qur’an diyakini mengandung banyak kemungkinan penafsiran, sehingga tafsir itu sebetulnya tidak tunggal, melainkan plural. Tidaklah berlebihan jika Muhamad Arkound sering mengatakan:لا يفقه الرجل كل الفقه حتى يرى وجوها كثيرة فى القراءن"”, walaupun ini bukan pernyataan dari Nabi, melainkan dari pernyataan Ibnu Abbas yang diriwayatkan oleh Abu Darda’,[3] namun paling tidak hal itu akan menyadarkan kita bahwa interpretasi Al Qur’an itu sangat luas.
Pernyataan itu semakin kuat meyakinkan bahwa Al Qur’an memang "يحتمل وجوه المعني"  (mengandung banyak kemungkinan makna), sehingga membatasi penafsiran ayat dengan satu pengertian, atau satu model paradigma saja merupakan bentuk reduksi dan distorsi terhadap keluasan kandungan interpretasi Al Qur’an itu sendiri.[4]
Maka dari itu, penafsiran terhadap ayat-ayat relasi gender yang sangat tekstual harus dirubah menjadi lebih kontekstual yang sejalan dengan nilai-nilai ideal moral Al Qur’an. Contoh populer ayat relasi gender adalah ayat tentang kepemimpinan perempuan, waris, persaksian, dll. Penafsiran ayat tersebut bisa dikontekstualisasikan sesuai dengan nilai etik Al Qur’an. Bagi Abdul Mustaqim sendiri, kategori ayat Qot’i ataupun Dzanni semua bersifat Dzanni dan relatif, karena selama itu semua adalah hasil dari pemikiran ulama’ adalah dzanni.
Misalkan saja dalam masalah waris, laki-laki mendapat dua bagian perempuan, padahal situasi dan kondisinya jelas sangat berbeda dengan awal mula Al Qur’an diturunkan. Jika pada masa kahiliyah dulu wanita tidak mendapat warisan sama sekali bahkan malah menjadi “harta” yang diwariskan. Maka Islam datang untuk menghapus itu, Dengan memberi bagian separoh dari laki-laki. Namun jika kita sepakat bahwa Islam adalah Agama pengayom dari seluruh umat, maka bisa jadi ada perubahan bahwa wanita sama bagiannya dengan laki-laki. Hal ini bisa dibenarkan, mengingat dahulu wanita hanya duduk di rumah, dan ekonomi mereka ditanggung oleh laki-laki, namun hal itu tidak berlaku di era sekarang, Kita banyak menjumpai wanita yang lebih lihai dalam urusan mencari ekonomi untuk menghidupi kebutuhan keluarga. Jadi jika kita memahami mengapa laki-laki mendapatkan dua bagian perempuan karena dari sisi sosiologis dan historis mereka sebagai tulang punggung keluarga, maka pembagian warisan itu dapat berubah.
3.      Penyebab bias-bias patriarkhi dalam tafsir
Menurut Abdul Mustaqim, adabeberapa faktor penyebab terjadinya bias patriarkhi: Pertama, faktor internal Al Qur’an, karena Tuhan munurunkan Al Qur’an dilam bahasa Arab, dan syarat dengan budaya bahasa arab yang terjadi saat itu, maka maniscayakan sebuah gender didalamnya. Contoh, sudah menjadi adat Arab bahwa dhamir antum, maka perempuan sudah masuk didalamnya, lain halnya dengan Antunna, yang mana laki-laki belum masuk didalamnya. Maka jika kita memahami secara tekstual, ayat-ayat tersebut akan menguntungkan laki-laki, namun perlu diingan bahwa ayat itu disamping mempunyai makna, ia juga mempunyai signifikansi. Kedua faktor metodologi penafsiran, hal ini sangat menentukan produk penafsiran. Jadi dalam hal ini, kita harus melakukan pendekatan terhadap kontekstual sebuah ayat. Karena ide atau gagasan itu debungkus dengan bahasa, sedangkan bahasa memiliki keterbatasan. Atau dengan kata lain, ide atau gagasan Tuhan lebih luas dibandung bahasa yang membungkus ide tersebut.
4.      Rekontruksi Metodologi Tafsir Menuju Keadilan Gender
 Dengan maraknya isu Gender yang dikumandangkan oleh aktivis pembela kaum perempuan, maka soal rekontruksi penafsiran menjadi keniscayaan. Berawal dari gagasan Amina Wadud yang menawarkan tafsir holistik, yakni penafsiran dengan mempertimbangkan dari berbagai persoalan sosial, moral, politik bahkan termasuk isu-isu perempuan yang muncul di era modernis. Dengan metode holistik ini, maka ayat-ayat yang secara tekstual bias Gender, seperti ayat waris, persaksian, dll dapat dinilai lebih bisa bersifat kontekstual.
Misalnya dalam urusan waris, pada dasarnya pesan dari teks adalah sisi keadilan, bukan satu atau duanya. Karena pada saat itu pembagian satu banding dua dililai sudah adil, karena sebelum Islam datang perempuan tidak mendapat bagian apa-apa. Misalkan lagi dalam  urusan persaksian, mengapa dalam teks persaksian dua perempuan sama dengan persaksian satu laki-laki?, kalau diruntut asbabun Nuzul dari ayat ini, bahwa ayat ini turut tatkala dalam urusan perniagaan, yang mana saat itu masih sedikit perempuan yang berkecimpung dalam urusan perniagaan, dan lebih banyak dilakukan oleh kaum laki-laki. Sehingga dapat diasumsikan, bahwa persaksian perempuan kurang valid, oleh karenanya diperluakan teman lain untuk menyaksikannya. Dan jika sekarang sudah banyak kaum perempuan yang berkecimpung dalam urusan perniagaan, maka seharusnya perempuan disejajarkan dengan laki-laki, dalam urusan persaksian.
Kerena sifat Al Qur’an yang dipakai oleh Abdul Mustaqim adalah Shalihun likulli zaman wa makan, maka, mau tidak mau ia harus di pahami seiring berkembangnya zaman itu sendiri, sebagaimana pendapat Arkoun bahwa “sebetulnya Masyarakat lebih suka mengonsumsi teks Al Qur’an dibandingkan dengan pesan moral dari Al Qur’an itu sendiri”.[5]
5.      Perlu Hermeneutik dalam mengkaji Al Qur’an
Kontekstualisasi metode ini, lebih rumit dari pada metode klasik yang dipakai oleh ulama’ klasik seperti, nahwu sharaf, balagoh, ushul fiqh dll, dalam model hermeneutik selain ilmu-ilmu itu, diperlukan ilmu-ilmu lain seperti: sosiologis, antropologi, filsafat, gender , HAM, dll. Karena kritik yang dilontarkan oleh kaum feminis bahwa, tafsir dahulu dinilai kurang objektik.  Kerena susengguhnya penafsiran itu tidak hanya mereproduksi makna teks, tetapi juga harus memproduksi makna teks. Hal ini diusung oleh Abdul Mustaqim dari teori Gadamer, karena ia mengatakan bahwa “kita tidak mungkin membaca teks tanpa ada prasangka, dan kita tidak mungkin memahami teks tanpa ada penambahan atau pengurangan pemanahan makna didalamnya”. Oleh sebab itu, wajar jika satu teks tatkala dibaca oleh banyak pembaca akan menghasilkan banyak penafsiran atau pemahaman pula.
6.      Klasifikasi Produk Tafsir
Dalam buku ini, ia mengklasifikasikan tafsir menjadi tiga model:
Ø     Tafsir tradisional, yakni model penafsiran yang menggunakan pokok bahasan tertentu sesuai minat dan kemampuan penafsirnya. Tafsir seperti ini terkesan ekslusif, dan mayoritas oleh ditulis laki-laki maka tidak heran jika hanya dimonopoli pendapat sosiologis mufasir laki-laki.
Ø     Tafsir reaktif, yakni tafsir yang dihasilkan dari reaksi pemahaman klasik yang dinilai kurang bisa menjawab permasalahan saat itu, seperti masalah perempuan. Walaupun terkesan pembahasan, namun tidak terlalu mengikat dengan sumber ideologi dan teologi.
Ø     Tafsir holistik, tafsir yang menggunakan seluruh model penafsiran, dari masalah klasik atau pedoman mufasir klasik sampai metode modern. Jadi jangan sampai penafsiran trjebak dalam teks, namun harus mengedepankan pesan moral didalamnya. Karena teks selamanya akan tetap atau abadi, dan konteks akan selalu berubah-ubah.
7.      Aplikasi penafsiran dalam ayat-ayat relasi Gender
Ø  Relasi kesetaraan laki-laki dan perempuan
Menurut Abdul Mustaqim, kesetaraan laki-laki dan perempuan berakar pada ayat:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالًا كَثِيرًا وَنِسَاء)النساء:1)
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً إِنَّ فِي ذَلِكَ لَآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَفَكَّرُونَ )الروم :21)
Dalam paradigma tafsir feminis, ayat tersebut menceritakan kisah awal penciptan manusia (laki-laki dan perempuan), menurut mayoritas Mufasir bahwa nafsin wahidin, yakni Nabi Adam, demikian pula dengan kata Zauj, sesungguhnya bersifat netral karena secara konseptual kebahasaan tidak menunjukan muanats, namaun mengapa para mufasir klasik menafsirkannya dengan kata “istrinya”? hal ini, karena para ulama’ klasik memakai Hadits sebagai penopang bahwa yang dimasud nafs adalah Adam, berarti secara akal Istrinya lah yang dimagsud dalam kata Zauj. Selain dari pada itu, kabar yang terlanjur menggelinding dalam benak masyarakat bahwa proses awal penurunan Adam dan Hawa adalah karena kesalahan Hawa karena godaan syetan, padahal kalau kita jeli membaca Ayat disana tegas bahwa yang membuat kesalahan adalah mereka berdua, namun para mufasir klasik cenderung menafsirkan bahwa Hawa lah yang melakukan kesalahan.[6]
Selain itu, dalam surat An Nisa’: 1 jelas, Allah memberi keistimewaan terhadap para perempuan, karena dengan jelas kita disuruh untuk menghormati mereka, bukan dinomorduakan setelah laki-laki.
Ø  Konsep Nusyus: Gangguan keharmonisan rumah tangga
Biasanya, tatkala membicarakan nusyus, para Mufasir akan merujuk pada QS An Nisa’: 34
الرِّجَالُ قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَى بَعْضٍ وَبِمَا أَنْفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ فَالصَّالِحَاتُ قَانِتَاتٌ حَافِظَاتٌ لِلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ اللَّهُ وَاللَّاتِي تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلَا تَبْغُوا عَلَيْهِنَّ سَبِيلًا إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيرًا
secara umum, ayat tersebut adalah legitimasi kepemimpinan laki-laki atas perempuan, bahkan jika perempuan membangkang, seakan-akan disuruh untuk memukul perempuan. Inilah dampak dari penafsiran yang kurang objektif, padahal, jika kita mau membaca ayat lain, QS An Nisa’ ayat: 19[7], dan 128[8],  maka kejadian pemukulan akan tidak pernah terjadi. Bahkan dalam surat An Nisa’ 128, memberi solusi paling jitu, bahwa tatkala ada masalah dengan pasangan, kita hendak untuk berdamai, dan konsep ini juga senada dengan konsep musyawarah yang ada dalam ayat lain.
Kemudian, berkaitan dengan kata “Wadribuhunna”, disini Abdul Mustaqim menjelaskan bahwa kata “dharaba” adalah salah satu kata yang mempunyai arti banyak (Dzu wujuh), ia memberi solusi bahwa kata ini lebis cocok dimaknai “’aradha anhu wa sharafa” (berpalinglah dang meninggalkan untuk pergi), atau “mana’a ‘anhu watasaruf bi malihi” (mencegahnya untuk tidak memberikan harta kepadanya).[9] Jadi, jika kita memahami ayat tersebut dengan model seperti ini insyaAllah kekerasan dalam keluarga tidak akan terjadi.
Ø  Pembagain Warisan dan Saksi
Seperti pemahaman lama, bahwa laki-laki mempunyai bagian dua adr perempuan, bahkan dalam urusan persaksian masih juga laki-laki mempunyai andil lebih banyak dibanding perempuan. “QS An Nisa’[10] 11, QS  Al Baqoroh 282”[11], nampaknya konsep ini sudah tidak sejalan lagi dengan permasalahan sekarang. Terinspirasi dari pendapatnya Amina Wadud, Abdul Mustaqim memberi solusi bahwa konsep dasar dari pembagian harta waris adalah keadilan, baik kelamin laki-laki maupun perempuan tidak mengikat dalam hal ini. Karena melihat awal mula turun ayat ini.
Lalu, bagaimana dengan masalah persaksian, yang dalam teks ayat menyatakan bahwa persaksian laki-laki satu, sama dengan persaksian dua perempuan?, nampaknya tatkala ini dihadapkan dengan permasalahan sekarang, kita harus melihat ulang proses awal turun dari ayat ini, jadi tatkala itu, masih banyak laki-laki yang berkecimpung dalam urusan perniagaan, selain itu saat itu perempuan sangat mudah dipaksa. Jadi jika kondisi sosiologis seperti itu sekarang sudah tidak ada lagi, dan sudah banyak perempuan yang bergelut dalam bisnis maka bisa saja persaksian perempuan sama dengan laki-laki. Karena menitik beratkan pada kredibilitas dan kapabilitas pada saat diserahi menjadi saksi.
8.      Prinsip pengembangan Tafsir Feminis
Menurut Abdul Mustaqim, dengan beberapa gagasan yang ditawarkan diatas, ia memberi rambu-rambu bahwa agar terhindar dari penafsiran yang “liar”, maka pengembangan tafsir Feminis harus menjaga prinsip-prinsip sebagai berikut:
a.          Menjaga hal-hal yang substantif dan konstan “ihtiram al Tsabit”, yang menjadi kesepakatan yang secara rasional antara academic comunity of interpreters, sehingga akan menghasilkan tafsir yang otoritatif dan tetep mencerminkan pandangan pluralistik, bukan pandangan monolitik.
b.         Untuk menghindari pemaksaan gagasan ekstra Qur’ani, maka Al Qur’an jangan diposisika sebagai justifikasi gender, melainkan cukup mendalami pesan moral sebagai teori pengembangan sosial, karena Al Qur’an bukan menjustifikasi masalah satu gender saja, malainkan kitab hidayah.
c.          Perlu pengembangan nalar kritis, terhadap karya-karya tafsir klasik.
d.         Tidak boleh menyalahkan kajian tafsir klasik, karena memang yang namanya kajian akan terus berkembang, bisa saja tafsir klasik sudah sangat luar biasa tatkala waktu itu, dan belum tentu tafsir feminis juga bisa menjawab permasalahan duaratus tahun akan datang. Hal ini menunjukkan bahwa kajian Al Qur’an sangat luas, tergantung siapa yang memahami didalamnya.  








BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nama lengkap Dr. H. Abdul Mustaqim, M.A, ia lahir di Desa panggungrejo, Bayan, Purworejo pada tanggal 4 Desember 1972 dari pasangan H. Moh Bardan dan Hj. Soewarti, yang mana keduanya seorang petani dan guru ngaji di Desa. Sejak kecil ia hidup dalam lingkungan yang religius. Setelah menyelasaikan pendidikan MTs Al Islam Jono Bayan Purworejo (1989-1991), ia kemudian melanjutkan kemadrasah aliyah Ali Maksum PP Al Munawir Krapyak Yogjakarta. Disana ia mengambil jurusan Agama, di situ ia ngangsu kaweruh dengan beberaa kyai di Krapyak, seperti KH Ali Maksum (Ahli Fiqih, Tafsir), KH. Warson Munawir (Ahli Bahasa), KH. Zainal Abidin (Ahli Tasawuf), KH. Hasbulloh (Ahli Tafsir), KH. Humam Bajuri (Ahli Ushul Fiqh) dll, Rahimahumulloh. Kemudian setelah menyelesaikan studi di tingkat Aliyah, ia melanjutkan di IAIN Sunan Kalijogo dengan jurusan Ushuludin dan fakultas Tafsir Hadits. Setelah berhasil menyelelesaikan studi di jenjang S1 dengan predikat Cumlude, ia ia melanjutkan S2 untuk mengambil progam studi Filsafat Islam di pascasarjana IAIN Sunan Kalijaga.
Konsep yang ditawarkan Abdul Mustaqim sebetulnya bukan masalah baru dalam hajian Islam, sudah banyak tokoh sebelumnya yang membahas hal ini. Namun, pembahasan itu masih terwacana dalam negara-negara maju saja. Dan Indonesia yang notabennya negara Islam terbesar di dunia kurang bisa menjalankan pesan moral yang digagas oleh Al Qur’an, karena masih menganggap wanita di bawah laki-laki. Dengan memunculkan karya seperti ini, Abdul Mustaqim berharap bahwa kajian Islam tentang kekinian bisa menjadi tren pemikiran positif bagi kaum Islam khususnya yang berada di Indonesia.

























[1] baca: M Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al hafitzah, 1961)
[2] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt)
[3] Pernyataan atau Hadits ini diambil oleh Abdul Mustaqim dari Muhamad Husain Ad Dzahabi, Al Tafsir wa Al Mufasirun, jilid 2, hlm. 354
[4] Abdul Mustaqim, Paradigma Tafsir Feminis, (Yogjakarta: Logung Pustaka, tt), hlm. 19
[5] Pernyataan ini, oleh Abdul Mustaqim diambil dari, Muhamad Arkoun, Rethinking Islam, terj Yudian Wasmin, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 1996), hlm 65
[6] Baca: QS Al A’raf ayat: 19
[7] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَرِثُوا النِّسَاءَ كَرْهًا وَلَا تَعْضُلُوهُنَّ لِتَذْهَبُوا بِبَعْضِ مَا آتَيْتُمُوهُنَّ إِلَّا أَنْ يَأْتِينَ بِفَاحِشَةٍ مُبَيِّنَةٍ وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ فَإِنْ كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَيَجْعَلَ اللَّهُ فِيهِ خَيْرًا كَثِيرًا
[8] وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
[9] Pemahaman seperti ini oleh Abdu Mustaqim diambil dari: Louis Ma’luf, Al Munjit fi Lughah Al Arabiyah, (Beirut:tt), hlm. 436
[10] يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ فَإِنْ كُنَّ نِسَاءً فَوْقَ اثْنَتَيْنِ فَلَهُنَّ ثُلُثَا مَا تَرَكَ وَإِنْ كَانَتْ وَاحِدَةً فَلَهَا النِّصْفُ وَلِأَبَوَيْهِ لِكُلِّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا السُّدُسُ مِمَّا تَرَكَ إِنْ كَانَ لَهُ وَلَدٌ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ وَلَدٌ وَوَرِثَهُ أَبَوَاهُ فَلِأُمِّهِ الثُّلُثُ فَإِنْ كَانَ لَهُ إِخْوَةٌ فَلِأُمِّهِ السُّدُسُ مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصِي بِهَا أَوْ دَيْنٍ آبَاؤُكُمْ وَأَبْنَاؤُكُمْ لَا تَدْرُونَ أَيُّهُمْ أَقْرَبُ لَكُمْ نَفْعًا فَرِيضَةً مِنَ اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلِيمًا حَكِيمًا
[11] يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ وَلْيَكْتُبْ بَيْنَكُمْ كَاتِبٌ بِالْعَدْلِ وَلَا يَأْبَ كَاتِبٌ أَنْ يَكْتُبَ كَمَا عَلَّمَهُ اللَّهُ فَلْيَكْتُبْ وَلْيُمْلِلِ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ وَلْيَتَّقِ اللَّهَ رَبَّهُ وَلَا يَبْخَسْ مِنْهُ شَيْئًا فَإِنْ كَانَ الَّذِي عَلَيْهِ الْحَقُّ سَفِيهًا أَوْ ضَعِيفًا أَوْ لَا يَسْتَطِيعُ أَنْ يُمِلَّ هُوَ فَلْيُمْلِلْ وَلِيُّهُ بِالْعَدْلِ وَاسْتَشْهِدُوا شَهِيدَيْنِ مِنْ رِجَالِكُمْ فَإِنْ لَمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ أَنْ تَضِلَّ إِحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الْأُخْرَى وَلَا يَأْبَ الشُّهَدَاءُ إِذَا مَا دُعُوا وَلَا تَسْأَمُوا أَنْ تَكْتُبُوهُ صَغِيرًا أَوْ كَبِيرًا إِلَى أَجَلِهِ ذَلِكُمْ أَقْسَطُ عِنْدَ اللَّهِ وَأَقْوَمُ لِلشَّهَادَةِ وَأَدْنَى أَلَّا تَرْتَابُوا إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً حَاضِرَةً تُدِيرُونَهَا بَيْنَكُمْ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَلَّا تَكْتُبُوهَا وَأَشْهِدُوا إِذَا تَبَايَعْتُمْ وَلَا يُضَارَّ كَاتِبٌ وَلَا شَهِيدٌ وَإِنْ تَفْعَلُوا فَإِنَّهُ فُسُوقٌ بِكُمْ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَيُعَلِّمُكُمُ اللَّهُ وَاللَّهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ

Tidak ada komentar:

Posting Komentar