Sabtu, 09 Mei 2015

HERMENEUTIK ABID AL JABIRI


BAB I
PENDAHULUAN
A.       Latar Belakang
Seiring berjalannya waktu, istilah "Hermeneutika" adalah sebuah metode yang sangat familiar di telinga kita. Utamanya, dikalangan para pemikir islam. Hal ini, tergolong disiplin ilmu baru dalam diskursus ulum al- Qur’an. kemunculannya mengundang kecurigaan dan tanda tanya. Tidak jelas alasan dari penolakan ini, namun balutan emosional dan sentiment yang berlebihan terhadap Barat ditengarai sebagai salah satu penyebabnya. Mungkin, Karena istilah hermeneutika lahir dan tumbuh di Barat. Akan tetapi di pungkiri atau tidak, istilah hermeniotik adalah sebuah cara untuk menafsirkan teks atau ujaran.
Dalam dunia keislaman, utamanya dalam kajian teks, disebut dengan istilah tafsir atau takwil. Jika dilihat dari cara kerjanya, tidak jauh berbeda dengan tafsir dalam islam bahkan sebagian sarjana muslim menyebutnya sebagai sesuatu yang sama namun dalam balutan baju yang berbeda. Memang antara hermenutika dan tafsir tidak dapat dipersamakan dalam semua hal, namun keduanya memiliki peran yang sama yaitu membantu pembaca dalam memperoleh pemahaman yang subyektif dari teks yang ia baca.
Dari sekian pemikir muslim, ada salah satu tokoh muslim yang mengajak kepada pembacaan teks secara obyektif. beliau adalah Muhammad Abid al-Jabiri. Melalui karya-karyanya yang berbicara mengenai al-Qur’an dan ide-ide tersebut ia jabarkan ke dalam banyak tulisanya.
Disini, penulis ingin mengajak bagaimana ide-ide al jabiri dalam kajian hermeneutic. Dengan melihat langsung dari apa-apa yang beliau tulis.

B.       Rumusan Masalah
1.        Bagaimana biografi singkat al-jabiri?
2.        Bagaimana konsep hermeneutika yang telah diusung oleh al jabiri?

C.       Tujuan Pembahasan
1.        Mengetahui biografi singkat al-jabiri.
2.        Mengetahui konsep hermeneutika yang telah diusung oleh al-jabiri.



BAB II
PEMBAHASAN
A.            Biografi Singkat Al-Jabiri
Muahmmad Abid al-Jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Ia tumbuh dan berkembang dalam sebuah keluarga yang mendukung Partai Istiqlal, sebuah partai yang memperjuangkan kemerdekaan dan kesatuan Maroko yang pada waktu itu berada dalam koloni Perancis dan Spanyol.[1] Tepat hari Senin, 3 Mei 2010 M. beliau wafat pada usia 75 tahun.

B.            Konsep Hermeneutika Al-Jabiri
1.      Corak Umum Pemikiran Al-Jabiri
Secar umum corak pemikiran al-Jabiri adalah berusaha menggabungkan antara otoritas tradisi (turats) yang bersumber dari Islam dengan modernitas. Pemikiran semacam ini bertumbuh kembang dalam dinamika pemikiran Arab sebagi reaksi atas dua ekstrimitas pemikiran yang terjadi pada saat itu. Turats dikalangan pemikir Arab selalu disandingkan dengan hadatsah (modernitas) karena problem antara turats dan hadatsah inilah yang mendominasi wacana pemikiran Arab kontemporer. Sebagi pemikir yang berkecimpung dalam tradisi, tak mengherankan jika al-Jabiri begitu berkepentingan untuk menelusuri akar tardisi yang membentuk nalar Arab. Turats kemudian menjadi gerbang bagi al-Jabiri untuk memasuki pemikiran Arab.[2]
كتاب تكوين العقل العربي ص 52
وانه لمما له دلالة خاصة في هذا الصدد أن تخلو الحضارة العربية الإسلامية مما يشبه تلك الملاحقات والمحاكمات التي تعرض لها العلماء ، علماء الفلك والطبيعيات ، في أوربا بسبب آرائهم العلمية ، ويكفي التذكير بما تعرضت له مؤلفات كبلر من بتر ومنع من طرف لاهوتيي عصره بسبب تأييده لنظرية كوبرنيك الفلكية المبنية على القول بثبات الشمس ودوران الأرض حولها ، عكس ما كان يعتقد قبل 0 أما في الحضارة العربية الإسلامية فعلى الرغم من أن فكرة كروية الأرض ودورانها كانت شائعة كغيرها من الأفكار العلمية المماثلة فإنها لم تثر أية ردود فعل لا من طرف الفقهاء ولا من جانب الحكام ) ص 345 مركز دراسات الوحدة .
وهذه ملحوظة مهمة جدا ، وهي من الأدلة والبراهين القاطعة على أن صراع العلمانيين مع الشريعة الإسلامية في بلادنا العربية ، ليس بسبب الجدل حول موقف الإسلام من التقدم الحضاري ولا العلوم العصرية النافعة ، وهي العلوم التي تدور في فلك دراسة الطبيعة واكتشافها واختراع ما يفيد الإنسان ، وتعتمد على المنهج التجريبي ، لان الشريعة الإسلامية لا تفرض أي تعارض بين الدين وبين هذه العلوم النافعة ـ بعكس ما كانت الكنيسة تفعل في افتراضها هذا التعارض في أوربا قبل الثورة على سلطان الكنيسة ـ بل الشريعة الإسلامية تدعو إلى تلك العلوم وتحض عليها ، وكلما كان العالم ملتزما بالإسلام كان أزكى عقلا فيها ، وأعظم نفعا للناس .[3]
Bagi al-Jabiri, turats bukanlah sisa-sisa atau warisan kebudayaan atau peninggalan masa lampau, tetapi adalah penyempurnaan akan kesatuan dan ruang lingkup kultur yang terdiri atas doktrin agama atau syari’ah, bahasa dan sastra, akal dan mentalitas, kerinduan dan harapan-harapan. Turats dengan demikian adalah berdiri sebagai satu kesatuan dalam seluruh kebudayaan Islam.
Al-Jabiri memandang bahwa tawaran antara tradisi lama (turats) dan moderenitas (hadatsat) bukanlah soal pilihan. Baginya keduanya datang begitu saja di hadapan kita tanpa ada kuasa bagi kita untuk memilihnya. Kita tidak pernah disuruh untuk memilih salah satunya ataupun meninggalkan keduanya. Maka bagi Al-Jabiri, yang terpenting adalah bersikap kritis terhadap keduanya.
2.      Hermeneutika Al-Jabiri
Problem utama hermeneutika sebenarnya hanya berkutat pada pencarian makna teks, apakah makna subyektif atau obyektif. Karena itu, ada tiga bentuk hubungan hermeneutika: hubungan antara penggagas dengan teks; hubungan pembaca dengan penggagas; dan hubungan pembaca dengan teks.
Dalam persoalan ini al-Jabiri mencoba bersifat netral dengan berusaha untuk tidak terjebak pada satu sisi pemahaman subyekfif atau obyektif. Artinya, Al-Qur'an sebagai sebuah teks itu bukanlah benda mati bagi pembaca yang bisa senantiasa diartikan oleh penafsir semaunya sendiri. Melainkan peran pemberi teks akan situasi turunya teks saling berhubungan. Ketiganya mempunyai hubungan yang tak terpisahkan dalam rangka menjawab persoalan moderenisasi. Hal ini tegas sekali seperti yang beliau tulis dalam kitabnya At-Turats Wa Al-Hadasah:
التراث والحداثة: دراسات ومـناقشات ص 23
اقتطاع النصوص من سياقها ، و التصرف في معانيها ، مع عدم ذكر نقائضها. مثل ما نسبه للسيوطي في مسألة دعاء القنوت و أنه من جملة القرآن المنزل ، في حين أن السيوطي حكى ذلك من خلال روايات أوردها ضمن سياقها ، ثم أورد بعدها من يطعن فيها كالباقلاني مثلا. فَلِمَ لَمْ يُدْرِجْ ذلك أو يُشِرْ إليه على الأقل !؟
و انتقاء الروايات الضعيفة المنكرة دون الصحيحة الثابتة . مثل : قولة عمر "لولا أن يقال : زاد عمر في القرآن" .
و التخليط في الاصطلاحات. كالفرق بين التحريف و النسخ و القراآت ، و هذا صنيع المستشرقين ، مثل كولدزهير في كتابه "مذاهب التفسير الإسلامي" . لكنه رغم ذلك تصدر منه لفتات منصفة في زخم البحث و الحشد للنقول و الأقوال .
و التمويه بعبارات فضفاضة إما جهلا أو تجاهلا . كقوله : "في روايات متعددة" . و ماذا يغني التعدد هنا ، لأن العبرة بالصحة و الثبوت و لو مع القلة ، لا بالكثرة مع الوهاء والضعف.
و التغاضي عن أحكام النقاد و الحفاظ المهرة. كما وقع له في خبر الداجن . و لا يقل بأنه ذكر إنكار الطاهر ابن عاشور ، و مال إلى قوله . لأنه نسب الإنكار لابن عاشور وحده و هو متأخر ، في حين أنه كان ينقل عن القرطبي ، و نقده بين يديه فلم يذكره ، علما أن حكم القرطبي و من والاه في علو الكعب و تباعد الزمن له كبير الأثر في هذا الباب من غيره . فليعلم .
Bagi al-Jabiri obyektifitas merupakan hal yang penting sebagai landasan dalam memahami teks. Hal ini tampak dari bagaimana ia dengan tegas mewanti- wanti untuk tidak membaca makna sebelum membaca kata-kata.dalam hal ini seorang penafsir harus meletakkan semua prasangka ideologisnya ketika pertama kali berhadapan dengan teks.
Disatu sisi, beliau juga sangat menegaskan bahwa teks Al-Qur'an bukanlah ensiklopedi sejarah atau kitab sebuah fan ilmu tertentu. Al-Qur'an adalah murni kitab agama. Jadi Al-Qur'an murni kitab dakwah agama yang dalam isinya terkandung sejarah hanyalah sebagai penopang dakwahnya. Sepirit dasar Al-Qur'an bukan pada isi ceritanya, melainkan pesan moral yang terkandung dalam kalimatnya.karena itu, kisah Al-Qur'an hanya sebatas perumpamaan. Dan kita tahu, perumpamaan hanyalah berfungsi sebagai penggiring makna dasarnya. Pernyataan ini jelas di dalam kitabnya yang berjudul fahmul Al-Qur'an. Beliau berkata :
فهم القرآن: التفسير الواضح حسب ترتيب النزول ص 12
ان القران كما انه ليس كتاب قصاص بالمعنى الادبي الفني المعاصر فهو ايضا ليس كتاب تاريخ بالمعنى العلمي المعاصر للتاريخ انه مرة اخرى  كتاب دعوة دينية وبما ان الهدف من القصص القراني هو ضرب الامثال والاستخلاص العبرة فلا معنى لطرح مسالة الحقيقة التاريخية ان الحقيقة التي يطرحها القصص القراني هي العبرة هي الدرس الذي يجب استخلاصه.[4]
 Lewat proses ini obyek pengetahuan dilepaskan dari unsur-unsur kesementaraan yang tidak hakiki, sehingga tinggal hakikat objek yang menampakkan diri atau mengkonstitusikan diri dalam kesadaran.
Hal ini dilakukan dalam rangka untuk menghindari otoritarianisme interpretasi. Yaitu suatu metode interpretasi yang merampas dan menundukkan mekanisme pencarian makna suatu teks kepada pembacaan yang bersifat subjektif dan selektif. Dalam konteks ini seolah-olah pembaca yang bersangkutan paling mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pengarang dan teks. Di dalam kitabnya Formasi nalar Arab beliau berkata:
تكوين العقل العربي ص 13.
وضع قاعدة لإعلام إسلامي يعنى بتقديم الصورة الحقيقية للإسلام باعتباره هداية للبشرية، وكشف عورات الحضارة الغربية المادية وبيان نواقصها ومخاطرها على الجنس البشري.[5]

Hermeneutika yang ditawarkan al-Jabiri bersifat negosiatif. Dalam artian ada kompromi antara pembaca dan teks. Di satu sisi teks dibiarkan berbicara apa adanya, namun di sisi lain pembaca diberi kesempatan untuk menafsir ulang sesuai dengan kebutuhan. Oleh karenanya beliau dengan tegas mengatakan :
هذا من نقد تاريخ القرءان الذي هو مصدر الفكر الديني ، مما يعني أن وجود مجرد احتمال بسيط لحذف آية يعني إسقاط القدسية عن القرءان ، على اعتبار أن القرءان نفسه خضع للفعل البشري ، والفعل البشري ليس مقدسا.[6]
Lebih dalam lagi, al-Jabiri mempunyai konsep tersendiri dalam hal interpretasi sebuah teks. Yakni dengan konsep al-Fasl dan al-Wasl.
a.      Al-Fashl
Al-Fashl adalah sebagai langkah mengatasi problem obyektifitas dalam pembacaan, diaplikasikan dalam al-Qur’an dengan menanggalkannya dari segala atribut yang menyertainya yang termaktub sebagai hasil penafsiran dan segala bentuk pemahaman atasnya.
Bila kita amati, dalam konsep ini beliau memperoleh pemahaman dari kolaborasi teks dan kronologi sejarah. Disana beliau menggambarkan bagaimana memberi contoh dengan menafsirkan surat al-A'rof ayat 157:
مدخل إلى القرآن الكريم ، ط1 ، مركز دراسات الوحدة العربية ، بيروت ، 2006
أن الرسول-صلى الله عليه و سلم- كان يقرأ و يكتب . فذكر منه طائفة من الآيات القرآنية وجهها كما يريد هو ، إن القرآن ذكر بأن التوراة و الإنجيل بشرا بقدوم النبي الأمي ،و هذا في قوله تعالى : ((الَّذِينَ يَتَّبِعُونَ الرَّسُولَ النَّبِيَّ الأُمِّيَّ الَّذِي يَجِدُونَهُ مَكْتُوباً عِندَهُمْ فِي التَّوْرَاةِ وَالإِنْجِيلِ))-الأعراف : 157 - . (( أي من غير اليهود اسمه أحمد ))، و أشار إلى أنه سيفصل في مفهوم الأمي و الأميين لاحقا
و منها أيضا قوله تعالى : (( وَقُل لِّلَّذِينَ أُوْتُواْ الْكِتَابَ وَالأُمِّيِّينَ أَأَسْلَمْتُمْ فَإِنْ أَسْلَمُواْ فَقَدِ اهْتَدَواْ وَّإِن تَوَلَّوْاْ فَإِنَّمَا عَلَيْكَ الْبَلاَغُ وَاللّهُ بَصِيرٌ بِالْعِبَادِ ))-آل عمران : 20 - ،: (( الذين أوتوا الكتاب هم اليهود و النصارى ، أما الأميون فهم العرب )[7]
Dalam surat al-a'rof 157. Yang artinya: "(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, Nabi yang Ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil", Dengan tegas al-jabiri menafsirkan bahwa Nabi Muhammad bukan lah seorang umi yang tidak bisa baca tulis. Karena selain orang yahudi namanya adalah ahmad. Dari sini maka letak fasol atau pemisahan makna Ummi sebagai sebuah nama dengan Ummi sebagai komunitas orang yang tidak bisa membaca dan menulis.
b.      Al-washl
Al-washl adalah sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dalam pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an ke dalam konteks masa kini.
Sisi washl atau pertemuan ayat diatas adalah, bahwa makna kata "ummi" yang terdapat dalam Al-Qur'an haruslah dicapaikan makna yang sesuai untuk masa kekinian. Karena untuk masa saat ini, pemahaman orang akan nabinya yang tidak bisa baca dan tulis sangatlah buruk. Untuk itu, makna yang tepat untuk istilah "ummi" dalam Al-Qur'an adalah sebuah nama dan bukan sebuah sifat jelek yang melekat pada Nabi dan Rosul. Dan tidak menggunakan makna yang telah dirumuskan ahli bahsa masa lampau.
هو الذي اقترح معنى عبارة أمي ، ليصبح بذلك أن الأمي هو الذي لا يقرأ و لا يكتب ،فهذا المعنى ليس اقتراحا من الزجاج و لا اجتهادا من علماء اللغة العربية،و إنما هو معنى أصيل في اللغة العربية قبل أن تُجمع اللغة العربية ، و قبل أن يُولد الزجاج . و ذلك أنه سبق أن اثبتنا بالأدلة الصحيحة و القطعية أن معنى أمي في الشرع و اللغة هو الذي يعرف القراءة و الكتابة،[8]
Meskipun apa yang digagasnya adalah perpaduan antara obyektifitas dan subyektifitas yang seimbang, tak urung ide obyektifitasnya lebih terlihat mendominasi konsepnya. Dalam kaitan hubungan antara pembaca dengan teks dan penggagas, terdapat tiga bentuk hubungan hermeneutika yaitu teoritis, filosofis, dan kritis.
Pertama, hermeneutika teoritis. Adalah bentuk hermeneutika yang menitik beratkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini adalah makna yang dikehendaki oleh penggagas teks.
Kedua, hermeneutika filosofis. Problem utama hermeneutika ini adalah bagaimana tindakan memahami itu sendiri. Hermeneutika ini berbicara tentang watak interpretasi, bukan teori interpretasi.
Ketiga, hermeneutika kritis. Hermeneutika ini bertujuaan untuk mengungkap kepentingan di balik teks. Dalam hal ini, sesuatu yang berada di luar teks sebagai problem hermeneutikanya yang justru oleh kedua model hermeneutika sebelumnya diabaikan. Pengertian sesuatu yang berada di luar teks tersebut adalah dimensi ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai medium pemahaman sebagaimana dipahami dua model hermeneutika sebelumnya, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karene itu, selain horizon penafsir, teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.
Dari ketiga model hermeneutika di atas, Tampaknya hermeneutika al-Jabiri tidak bisa lepas dari kedua model hermeneutika pertama, teoritis dan filosofis. Dalam hal hermeneutika teoritis ia mengakui historis al-Qur’an dan dalam hal hermeneutika filosofis ia mengakui ke-azaliah-an al-Qur’an. Ada juga kecurigaan terhadap teks yaitu ketika ia menawarkan kritik ideologisnya. Namun menurutnya hal itu tidak berlaku dalam al-Qur’an, karena sebagai kalam Allah ia terlepas dari ideologi manapun dan bahkan ideologi mesti disingkirkan saat membaca pertama kali berhadapan dengan teks. Langkah pemahaman dengan mendahulukan membaca teks daripada makna, yang berarti makna harus digali dari aspek struktur teks dan kemudian dilanjutkan dengan kritik historis.
Jadi, gagasan al-Jabiri dalam rangka menginterpretasi sebuah teks Al-Qur'an adalah dengan memenuhi tiga tahapan. Pertama, penafsir melakukan investigasi fenomena linguistik teks. Kedua, penafsir harus mengkosongkan dirinya dari segala bentuk kepentingan. melalui kerja imajinasi dan wawasan. Ketiga, melakukan rekonstruksi untuk memasukkan situasi dan kondisi untuk memperoleh hasil yang ingin dicapai dari ungkapan teks.
Bila kita melihat model urutan pembahasan kajian tafsirnya al-jabari di dalam kitabnya fahmu Al-Qur'an, beliau mengabstraksikan dalam tiga tahapan. Yakni:[9]


1.      Periode Makkah Pertama.
Tahapan ini bermula dari Al-Qur'an surat al-fajr sampai surat al-qomar. Bila dilihat sekilas, mayoritas bagian ini menampilkan kisah-kisah para penduduk baduwi atau orang pedalaman dengan para utusan Allah kepada orang pedalaman tersebut. Artinya, disana menunjukkanpara nabi tersebut lebih dahulu diturunkan dari pada para utusan Allah kepada bani israil. Dari sini bisa diambil benang merah bahwa al-jabiri ingin menunjukkan bahwa keteraturan turunya ayat menunjukkan kronologi waktu dalam kisah itu sendiri.

2.      Periode Makkah Kedua.
Tautan ini bermula dari Al-Qur'an surat shod hingga surat ankabut. Dimana surat-surat tersebut menceritakan perihal para utusan bani israil. Pada bagian ini, al-jabiri mengelompokkan pada tiga bagian umum. Pertama, abstraksi lugas proses ditunkannya Al-Qur'an dengan perjalanan dakwah nabi muhammad di Makkah. Kedua, kisah-kisah yang terungkap dalam Al-Qur'an surat al-A'raf. Disini tegas aljabiri mengklarifikasi kedalam dua tema besar. Yakni kisah kronologis para nabi dan kisah Nabi Musa bersama fir'aun. Ketiga, kisah ndividual. Artinya, kisah-kisah tersendiri yang tidak berkaitan dengan perjalanan para nabi terdahulu, seprti cuplikan kisah para kekasih Allah.

3.      Periode Madinah
Periode ini berkutat penuh dengan perjalanan dakwah nabi di Madinah. Tahapan ini bermula dari tahun pertama hijriyah. Tepatnya pada hijrahnya nabi dan kaum muhajirin ke kota Madinah hingga wafatnya Nabi muhammad SAW. Bila kita lihat dari kisah kisah surat periode Madinah disana tak terlepas dari kisah tentang dialektika baginda Nabi Muhammad bersama kaum Yahudi dan Nasrani.[10]
Pertanyaan yang mendasar, kenapa aljabiri menggunakan metode tafsir diatas?. Maka jawabanya adalah karena aljabiri percaya betul bahwa kisah di dalam Al-Qur'an merupakan cermin perjalanan dakwah nabi muhammad dalam rangka misi agamanya. Dari sini sangatlah nampak akan konsep yang digagas aljabiri bertujuan untuk mengungkap korelasi atau kesinambungan penurunan Al-Qur'an dengan perjalanan dakwah nabi. 


BAB III
PENUTUP
A.            Kesimpulan
Walhasil:
1.                Muahmmad Abid al-Jabiri lahir pada tanggal 27 desember 1953 di Firguig, Maroko tenggara. Dan tepat hari Senin, 3 Mei 2010 beliau wafat pada usia 75 tahun.
2.                Metode tafsir yang disuguhkan al-Jabiri adalah konsep Fasl dan Wasl. Al-Fashl adalah sebagai langkah mengatasi problem obyektifitas dalam pembacaan, diaplikasikan dalam al-Qur’an dengan menanggalkannya dari segala atribut yang menyertainya yang termaktub sebagai hasil penafsiran dan segala bentuk pemahaman atasnya. Al-washl adalah sebagai upaya mencapai sebuah rasionalitas dalam pemahaman al-Qur’an dilakukan dengan membawa makna otentik al-Qur’an ke dalam konteks masa kini.
B.            Saran Kajian
Masih banyak teori yang belum kami sampaikan, terutama dari konsep Herminiotik para ahli non muslim. Kami juga belum membahsa tuntas ditail dari konsep yang digagas al-Jabiri. Alangkah sempurnanya bila dikorelasikan hermeniotik al-jabiri ini dengan para tokoh non muslim. Dan penelitian lebih lanjut, kepada siapakah kecendrungan pemikiran al-Jabiri.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2003. Bunyatu Al-Aqlu AlArabi, Imam Choiri (penerj.). Yogyakarta: Ircis.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 1987. Takwinu Al-Aqlu AlArabi. Bairut: Markaz Dirosah al-Wihdah al-Arabiyah.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2009. Fahmu al-Qur'an at-Tafsir Al-Wadih Hasba Tartibi an-Nuzul. Bairut: Markaz Dirosah al-Wihdah al-Arabiyah.
Al-Jabiri, Muhammad Abid. 2006. Madhol ila  al-Qur'an al-Karim. Bairut: Markaz Dirosah al-Wihdah al-Arabiyah.





[1] Muhammad Abid Al-Jabiri, Bunyatu Al-Aqlu AlArabi, Imam Choiri (penerj.), (Yogyakarta: Ircis, 2003) hlm. 5.
[2]  Ibid., hlm..7.
[3] Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwinu Al-Aqlu AlArabi, (Bairut: Markaz Dirosah al-Wihdah al-Arabiyah, 1987), Hlm.. 19.
[4] Muhammad Abid Al-Jabiri, Fahmu al-Qur'an at-Tafsir Al-Wadih Hasba Tartibi an-Nuzul, (Bairut: Markaz Dirosah al-wihdah al-arabiyah, 2009), Hlm.. 12.
[5] Muhammad Abid Al-Jabiri, Takwinu Al-Aqlu AlArabi.,,, hlm. 19.
[6] Muhammad Abid Al-Jabiri, Fahmu al-Qur'an at-Tafsir Al-Wadih Hasba Tartibi an-Nuzul., hlm.. 12.
[7] Muhammad Abid Al-Jabiri, Madhol ila  al-Qur'an al-Karim, (Bairut: Markaz Dirosah al-Wihdah al-Arabiyah, 2006), hlm. 25.
[8] Muhammad Abid Al-Jabiri, Madhol ila  al-Qur'an al-Karim, hlm. 25.
[9] Muhammad Abid Al-Jabiri, Fahmu al-Qur'an at-Tafsir Al-Wadih Hasba Tartibi an-Nuzul,  hlm.. 25-90.
[10] Ibid.,,,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar