MAKALAH
Hermeneutika
Muhamad Syahrur
Makalah
ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“Hermeneutika”
Dosen
Pembimbing :
Akhol
Firdaus, M.Pd.I
![]() |
Disusun
Oleh :
Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305
Wihdatul Ulya
NIM:
283112315
Jurusan : Ushuluddin
Prodi : Tafsir Hadits
Semester : IV (empat)
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MEI 2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah
memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat
menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi
Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang
telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat
dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat
syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”HERMENEUTIK MUHMAD SYAHRUR” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di
tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga
kepada:
1.
Bpk Akhol Firdaus. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan
sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.
Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi
amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh
khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan
kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta
saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at,
barokah di dunia dan di akhirat amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dinamika penafsiran Al Qur’an tidak pernah
mengalami kemandekan atau staknanisasi sejak awal mula Al Qur’an diturunkan
kepada Nabi Muhamad SAW. Berbagai corak penafsiran telah ditawarkan oleh para
Mufasir baik Mufasir klasik maupun para Mufasir modern guna menguak sisi
rahasia yang tersimpan dalam Al Qur’an, yang kita yakini salah satu Mu’jizat
terbesar Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhamad guna memberi petunjuk kepada semua
umat setelah Al Qur’an diturunkan.[1] Bahkan penafsiran akan
terus berkembang, akan terus menjadi pembicaraan hangat ketika akal manusia
masih ada. Artinya pemahaman Al Qur’an akan terus berkembang, tidak lagi
memakai pemahaman masa klasik yang dianggap sudah tidak relevan terhadap
masalah modern yang begitu rumit, dan permasalahan atau keadaan yang begitu
berbanding terbalik dibandingkan masa dahulu. Ketidak puasan terhadap prinsip,
pendekatan dan hasil penafsiran merupakan bukti atas hal tersebut.
Pada penghujung abad ke 20 muncul banyak tokoh kontroversial yang
mencurahkan pemikiran mereka dalam studi kritis Al Qur’an. Diantaranya adalah
Muhamad Syahrur, keberanian Muhamad Syahrur dalam menawarkan ide-ide pemikiran
baru dalam kajian Al Qur’an yang cukup menggelitik ditelinga umat Muslim.
Seiring diterbitkannya karya beliau yang berjudul “Al Kitab wa Al Qur’an:
Qira’ah Mu’asirah”. Untuk menguak lebih lanjut tentang beliau dan karya
belia yang fenomena tersebut, marilah kita seksama membahas pada sedikit
penulisan pada makalah ini.
B. Rumusan
Masalah
Didalam
makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1. Bagaimana biografi Muhamad Syahrur?
2. Bagaimana Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an?
3. Bagaimana Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunah dan
formulasi Klasik?
C. Tujuan
Pembahasan
Adapun
tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1. biografi Muhamad Syahrur
2. Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an?
3. Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunah dan formulasi
Klasik?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Muhamad Syahrur
Muhamad ibnu da’ib syahrur dilahirkan di
Damaskus pada 11 maret 1938. Menjalani
pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus yang bernama “Abdul Ar
Rahman Al Kawakibi” tamat pada tahun 1957. Kemudian mendapat beasiswa
pemerintah untuk menempuh studi tekhnik sipil (handasah madaniyah) di
Moskow. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas tekhnik
di Damaskus pada Tahun 1967.[2] Pada tahun 1968 ia pergi lagi menuju
university collage di Dublin, Irlandia untuk menempuh program master (S2) dan
Doktor (S3).[3]
Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara
mendalam masalah-masalah keIslaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran Islam kontemporer. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Secara garis besar, karya-karya Syahrur dibagi ke dalam dua kategori: Pertama Bidang teknik: Al-Handasah al-Asasiyyah dan Al-Handasah al-Turabiyyah. Kedua Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus). Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
mendalam masalah-masalah keIslaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran Islam kontemporer. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Secara garis besar, karya-karya Syahrur dibagi ke dalam dua kategori: Pertama Bidang teknik: Al-Handasah al-Asasiyyah dan Al-Handasah al-Turabiyyah. Kedua Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus). Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
Pemikiran
beliau yang penuh kontroversional sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya
tersebut mengundang berbagai kritik dari banyak kalangan ulama tafsir dan
pemikir Islam lainnya. Beberapa kritik sebagai respon terhadap gagasan-gagasan
beliau tersebut pun muncul diantaranya Mujarrad al-Tanjim al-Qur’an Li
Duktur Muhammad Syahrur karya Musklim al-Jabi, Tahafut al-Qira’ah
al-Muashirah karya al-Syawwal, dan lain-lain.[4]Bahkan sebagian pemerintah
nnegara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab
secara resmi melarang buku-buku Shahrur beredar di negara-negaranya. Masyarakat
islam pengikut Syahrur lebih banyak berada di Negara-negara Eropa dan Amerika
ketimbang di dunia Islam dan Arab.
Sebaliknya, mereka yang setuju dengan pemikirannya memberikan penilaian dan kebijakan yang
positif. Sultan Qaboos di Oman, misalnya, membagikan buku itu kepada para
menterinya dan merekomendasikan mereka untuk membacanya. Sarjana-sarjana
non-Muslim, seperti Wael B.Hallaq, dan Dale F. Eickelman dalam kesempatan yang
berbeda mengemukakan kekaguman terhadap kreatifitas Shahrur.[5]
B. Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an
Menurut Syahrur, Al Qur’an dalam arti yang
populer, atau dalam bahasa Syahrur Al Kitab, terbagi kedalam tiga macam:[6]
Ø Pertama ayat-ayat muhkamat (Ummul kitab), yaitu sesuatu yang diturunkan
kepada Nabi Muhamad selama 23 tahun yang memuat ayat-ayat tentang hukum dan
akhlak yang terbuka untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi kondisi
masyarakat tertentu. Jadi hukum yang dihasilkan Al Qur’an dari masa kemasa bisa
saja berbeda, hal ini dikarenakan perbedaan situasi kondisi yang dialami imat
manusia. Dan sifat elastisitas pemahaman dan penerapan Ummul Kitab itu
oleh Syahrur disebut dengan Hanifiyyah. Adapun diantara beberapa ayat Al
Qur’an yang membicarakan tentang Umm Al Qur’an adalah Surat Al Ra’du
ayat 39: يَمْحُو
اللَّهُ مَا
يَشَاءُ وَيُثْبِتُ
وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Ø Kedua ayat-ayat mutasabihat (Al Qur’an wa As
Sab’ul Matsani), yang diturunkan dalam bentuk inzal dan tanzil yang
secara terpisah dari lauhil Mahfudz dan Dari imam Mubin (
Allah). Hal ini berisi dua bagian yang
pertama adalah bagian tetap (Al Juz Al Tsabit) hai ini yang mengatur
kaidah kaidah umum yang mengatur dari awal mula penciptaan alam sampai pada
hari kiamat. Adapun bagian yang kedua adalah bagian yang bisa berubah (Al
Juz Al Mutaghayir) tergantung faktor alamiyah objektif yang
mempengaruhinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti perubahan
angin, jenis kelamin, gempa, dll. Ayat- ayat yang berkaitan dengan ini termasuk
kategori ayat yang sangat terbuka untuk di ta’wilkan sesuai dengan perkembangan ilmu tekhnologi
atau ilmu pengetahuan (Arradiyat Al
Alamiyah).
Ø Ketiga Tafsil Al Kitab. Yakni kategori ayat yang bukan masuk dalam
kategori ayat Muhkamat wa Mutasabihat.
Dari ketiga konsep tersebut, Muhamad Syahrur murujuk
pemahaman dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 37: وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ
وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ
فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ
Setelah itu, bagaimana sikap kita ketika ada pertanyaan,
apakan Al Qur’an merupakan produk budaya atau produk Tuhan asli yang memang
diturunkan kepada Nabi Muhamad? Maka dari itu Muhamad Syahrur memberi solusi
bahwa ada beberapa asumsi untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
Yang pertama jika Al Qur’an memang benar-benar
hasil produk budaya atau masyarakat Arab pada masa itu, atau dengan bahasa yang
cukup menggelitik dikatakan bahwa Al Qur’an adalah karangan Muhamad dan beberapa
sahabat intelek yang hidup pada masa itu, maka ada beberapa sifat atau karakter
Al Qur’an yang harus ada pemikiran tokoh
sehebat apapun tetap merupakan produk zaman yang meliputinya. Artinya andaikan
Al Qur’an merupakan karangan Muhamad niscaya apa yang terkandung dalam Al
Qur’an tersebut akan tidak relevan di beberapa tahun kehidupan setelahnya.
Yang kedua jika Al Qur’an memang benar-benar
produk Tuhan untuk Nabi Muhamad, maka setidaknya ada beberapa karakter yang ada
didalam Al Qur’an. Yang pertama karena Allah bersifat absolut, memiliki
kesempurnaan pengetahuan, maka Al Qur’an harus mempunyai unsur-unsur absolute. Kedua
karena Allah tidak perlu ilmu dan petunjuk bagi diriNya sendiri, dengan
demikian pada sisi pemahaman ia harus memuan unsur-unsur yang relatif. Ketiga
karena kesempurnaan cara berfikir
manusia dicapai melalui bahasa, maka ada dua konsekuensi yang pertama
kitab ini dimanifestasi dengan bahasa manusia, kedua kitab ini harus
mempunya karakter khusus, yaitu muatanya bersifat absolute, dan pemahamannya
bersifat relatif. Karakter inilah yang disebut dengan kemutlakan bentuk
linguistik (Tsabat An Nahs) yang berupa teks sekaligus memiliki realitas
pemahaman (Harakah Al Muhtawa) dan karakter seperti inilah yang menurut
Syahrur merupakan pengindikasian bahwa Al Qur’an memang benar-benar dari Allah,
karena tidak akan mungkin manusia biasa mampu menciptakan sebuah karya yang
sehebat ini.[7]
Dari kedua asumsi diatas, jika kita menela’ah lebih jauh
bahwa ada benarnya apa yang dikatakan Syahrur jika kita meyakini bahwa Al
Qur’an memang benar-banar dari Allah kita harus meng iyakan bahwa pemahaman Al
Qur’an yang benar adalah didasarkan dengan situasi ataupun kondisi pembaca atau
pentafsir Al Qur’an. Untuk membuktikan bahwa Al Qur’an mempunyai dimensi sakral
dalam teks-teksnya, walaupun teks yang tertilis tidak akan berubah walau sampai
akhir zaman, namun pemahaman yang ada dalam teks atau dengan istilah lain ibrah
akan selalu mempunyai perkembangan. Yang sesuai dengan sifat Al Qur’an yang
Salihun lii kulli zaman wa Makan. Berhubungan dengan pemahaman seperti
ini ada kata-kata yang sangat bijak dari seorang Muhamad Syahrur ialah “kita
harus bersikap seakan kita baru saja menerima Al kitab langsung dari Nabi”.
Selanjutnya dalam memahami Al Qur’an secara utuh, Muhamad
Syahrur menawarkan metode untuk memehami Al Qur’an secara utuh dengan cara
mengomparasikan seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama, atau
dengan kata lain menggunakan metode Maudhu’i. Sebetulnya metode seperti ini
bukan Muhamad Syahrur yang menggagas karena sudah ada Ulama’- mufasir terdahulu
yang menggunakan metode ini. Ia menggunakan landasan al Qur’anu yufasiru
ba’duhu ba’dhan (sebagian ayat Al Qur’an menafsiri ayat yang lain). Maka
dari itu menurutnya dengan metode maudhu’i atau tematik seperti ini pembaca
akan lebih mudah memahapi pesan yang tersirat dalam Al Qur’an. Selain dengan
mendasarkan dalil diatas ternyata ada penganjuran dalam Al Qur’an untuk
menggunakan metode seperti ini, misal dalam surat Al Muzammil ayat 4: وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا kata Ar ratl, menurut Syahrur bukan berarti
bacaan yang telah disepakati oleh para Mufassir, namun ia mengartikan barisan
atau urutan tertentu, dari devinisi inilah ia menganggap bahwa memilah suatu
topik pembahasan dalam Al Qur’an sangatlah penting. Karena tidak jarang dalam
satu surat namun berbeda ayat sudah mengisahkan sesuatu yang berbeda. Agar
mendapatkan gambaran yang secara komprehensif, maka seorang Mufassir harus
menggabungkan dan mengkomparasikan ayat-ayat itu agar sesuai dengan pembahasan.[8]
Setelah memberi penawaran bagaimana memahami Al Qur’an
dengan baik, kemudian Muhamad Syahrur mengemukakan tentang keabadian Al Qur’an
hingga hari qiyamat kelak, seperti halnya firmanNya dalam surat Al Hijr ayat 9:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ maka Muhamad
Syahrur menegaskan bahwa seorang pembaca harus memahami beberapa aspek dalam
menafsirkan atau meng aktualisasikan isi Al Qur’an:
pertama
harus meyakini bahwa tidak ada kata yang mempunyai arti sama (sinonim), jadi
kata dalam Al Qur’an menurut Syahrur tidak ada yang memiliki makna sama. Sebuah koridor hitorisitasnya akan memengalami dua alternatif proses, akan
mengalami kehancuran atau membawa makna yang baru selain makna asalnya.[9] Maka dari itu, Muhamad
Syahrur memakai kamus bahasa Arab karya Ibnu
Faris yang berjudul Miqyas Al Lughoh dalam memahami kata-kata
dalam Al Qur’an. Yang isi dari kamus ini adalah menolak adanya sinonim dalam
kata Arab.
Kedua,
jika Islam bersikap relevan pada ruang dan waktu, maka juga harus dipahami
bahwa Al Kitab juga diturunkan kepada kita pada zaman sekarang ini, yang
seolah-olah Nabi Muhamad baru saja wafat dan menyampaikan isi Al Qur’an sendiri
dengan kita. Oleh karena itu, kita dapat memahami bahwa Muhamad Syahrur adalah
seorang pemikir Islam yang selalu meng up date tentang pemahaman Islam sesuai
dengan kebutuhan zaman. Namun bukan berarti beliau melupakan jasa para Mufassir
terdahulu dalam menangani masalah, beliau tetap respeck terhadap reaksi para
mufassir terdahulu dalam masalah Agama. Dengan demikian kitab-kitab yang
dihasilkan Mufassir pada masa itu merupakan karya terbaik pada masa itu pula.
Maka Muhammad Syahrur kurang setuju jikalau ada seorang Mufassir yang
mengatakan bahwa kitab tafsirnya adalah kitab yang paling benar. Justru jika
ini dibiarkan, menurut Syahrur akan menghilangkan sakralitas dari Al Kitab itu
sendiri.
Ketiga
, Allah menurunkan Al Kitab sebagai petunjuk bagi umat manusia, bukan sebagia
petunjuk untuk diri Allah sendiri, maka dari itu seluruh kandungan makna yang
ada dalam Al qur’an pasti dapat diterima atau dipahami oleh akal manusia, maka
dari itu Muhamad Syahrur mengatakan bahwa ia menolak sebuah pemahaman bahwa ada
beberapa ayat yang tidak bisa dipahami oleh manusia, ia mengatakan bahwa Al
Kitab adalah selalu bersifat relatif, historis dan temporal. Keempat, Allah
selalu meninggikan posisi akal dengan cara mengungkapkannya dalam Ayatnya
misalkan: هل
يستوي الذين يعلمون و لا يعلمون. Dari ayat ini, menurut Syahrur sebetulnya
tidak ada sama sekali pertentangan antara akal dan wahyu.[10]
Untuk memperoleh pemahaman yang sedikit
mendalam tentang hermeneutik Muhamad Syahrur, seyogjanya kita mengetahui apa
yang dibicarakan Muhamad Syahrur dalam karyanya yang sangat fenomenal, yakni “Al
Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Al Mu’asharah”, namun sayangnya sulit sekali
untuk melacak karya asli dari Muhamad Syahrur, penulis makalah ini hanya
menemukan hasil terjemahan dari karya Muhamad Syahrur yang berjudul “Al
Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Al Mu’asharah”, untuk lebih jelasnya, pada
kitab tersebut Ia menjelaskan tentang:
1.
Al kitab wa Al Qur’an.[11]
Kata Al kitab berasal dari akar kata kataba,
yang dalam bahasa Arab berarti pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain
untuk memperoleh manfaat atau memperoleh tema yang sempurna. Sebagaimana dalam
redaksi Surat An Nisa ayat 103:
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ
إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka dari itu, Allah memberikan wahyu kepada
Nabi Muhamad tidak satu model saja, tetapi berbagai macam model atau sub bab.
Sedangkan Al Qur’an adalah bagian dari Al Kitab dan penyandingan keduanya
sebagai fungsi yang khusus dan yang umum. Maka dari itu tatkala ayat berbicara
tentang Al Kitab penyandarannya pada kata:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا
رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Sedangkan pada ayat yang membicarakan tentang
Al Qur’an, Allah menyandarkannya pada kata:
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ
Term al Dzikr, dapat didevinisikan sebagai
pengubahan (Al Qur’an) menjadi bentuk bahasa manusia yang secara literal berupa
linguistik Arab. Bentuk seperti inilah yang digunakan untuk memahami dan
mempelajari Al Qur’an. Bentuk bahasa Al Qur’an adalah memakai bahasa Arab oleh
karena itu, ia dikatakan kepada bangsa Arab dalam QS: Al Anbiya’: 10 “لَقَدْ
أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ”
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa di dalam
Al Qur’an terdapat wahyu Bahasa Arab yang tersuarakan dalam media bahasa Arab
murni. Oleh karena itu, dalam ayat ini Allah menggunakan kata:Fiihi
Dzikrukum. Pada dataran inilah tersembunyi atau tersirat kehebatan bangsa
Arab dimuka bumi ini.
Menurut Muhamad Syahrur, kata Al Furqon dalam
Al Kitab disebut sebanyak enam kali dalam bentuk Ma’rifah. Term Al Furqon
pertama kali oleh Allah diturunkan kepada Musa bersamaan dengan diturunkannya
Al Kitab. QS Al Furqon:1
تَبَارَكَ الَّذِي
نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Pengertiannya bahwa Al Furqon diturunkan secara terpisah dari Al Kitab.
Allah mengatakan kata Al Furqon ini dalam ayat lain dalam QS Ali Imran
ayat:3-4, bahwa Al Furqon, Injil, Taurat oleh Allah diturunkan sebelum Al Kitab
diturunkan kepada Nabi Muhamad:
نَزَّلَ عَلَيْكَ
الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ
وَالْإِنْجِيلَ (3) مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ
الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ
ذُو انْتِقَامٍ
Dan Al Furqon yang diturunkan kepada Nabi
Musa sama dengan penurunan Al Furqon
kepada Nabi Muhamad, ayat lain QS Al Baqarah: 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ
الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى
وَالْفُرْقَانِ
Karena dalam lafadz ini Al Furqon sejajar
dengan Al Qur’an yang memakai kata penghubung (a’tuf), maka dari itu
menurut Muhamad Syahrur Al Furqon berbeda atau bukan Al Qur’an, namun Al Furqon
merupakan bagian dari isi Al Kitab.
4.
Kata-kata Allah (Kalimat Allah).[14]
Menurut Muhamad Syahrur, dalam membahas
tentang Tuhan, kita harus memperhatikan dua aspek yang dimiliki oleh manusia. Pertama
suara yang memiliki wujud objek material, ke dua adalah makna atau dalalah yang
hanya bisa ditangkap oleh pikiran atau akal manusia. Maka dari itu, menurut
Syahrur tatkala kita berbicara tentang Tuhan atau ayat-ayat Tuhan kita hanya
membicarakan objek yang tidak kasap mata, namun sebetulnya akal bisa menerima
konsep ketauhidan Tuhan.
Selain itu, bahasa juga memiliki dua fungsi,
yakni sebagai komunikasi dan sebagai perangkat pemikiran. Dalam fungsinya
sebagai perangkat komunikasi maka bahasa menunjukkan hubungan antara
petanda(makna) dan penanda. Dalam fungsi sebagai perangkat pemikiran, bahasa
menampakkan sebagai keberadaan petanda. Maka konsekuensinya adalah, jika Al
Qur’an yang ada dihadapan kita sampai sekarang ini memang benar-benar hakiki
kalam dari Tuhan, maka yang perlu kita pegangi adalah bahwa Allah itu mempunyai
sifat yang berbeda dengan Makhluknya. Jadi kita jangan memahami bahwa Allah
menyebut kata As Syams atau Al Qomar misalkan, kita jangan
menafsiri devinisi tersebut kita samakan dengan devinisi yang kita ketahui.
Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kalimat-kalimat Allah adalah hakikat
dari materi dan hukum Universal yang ada atau tersirat pada teks Al Kitab.
Sehingga pada masalah ini, Syahrur juga meng iyakan teori bing bang misalkan.
5.
Kandungan Al Qur’an. [15]
Terkait
dengan term Al Qur’an, kita harus membedakan sebagai kata dengan menggunakan
pentebutan dengan Al Ta’rif yakni
Al Qur’an, sesuai dengan Firman Allah Misalkan: شَهْرُ
رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ dengan penyebutan dengan kata yang tidak menyebutkan Al
Ta’rif l Ta’rif yani sesuai dengan QS Al Buruj:21: بَلْ
هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
Ketika Al Qur’an menggunakan kata Al, berarti
ia mengindikasikan ia merujuk kepada dirinya sendiri. Jika disebut tanpa
menggunakan Al (Nakirah), maka ia mengindikasikan ia merujuk pada bagian
tertentu saja atau sebagian dirinya.
C. Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunnah dan Formulasi Tafsir Klasik
Selain memberi sumbangsih pemikiran dalam
bidang Al Qur’an ternyata beliau juga berargumen tentang Hadits atau Sunah,
beberapa pandangannya tentang Sunah ialah:[16]
1. Sunnah
Nabi, yakni segala hal yang dilakukan, dikatakan dan disetujui Nabi Saw,
bukanlah wahyu Allah.
2. Sunnah merupakan contoh sebuah model awal penafsiran yang dilakukan oleh Nabi Saw untuk memahami dan
mengkontekstualisasikan makna Alquran yang mutlak dan sarat dengan nilai-nilai
universalitas. Sunnah dalam hal ini merupakan turats yang tidak bisa dilepaskan
dari pengaruh konteks sosio-kultural masyarakat yang hidup pada saat itu.
Sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh sunnah tidak bersifat absolut dan
final, tetapi bisa jadi bersifat temporal dan lokal.
2. Posisi sunnah hanya bisa dijadikan sebagai
pertimbangan (isti’nas) saja. Karena pada kenyataannya sunnah nabi merupakan
keputusan hukum, dan keputusan hukum berubah sesuai dengan perubahan ruang dan
waktu.
3. Ada tiga aspek yang penting untuk dicatat mengenai
sunnah nabi, yaitu:
a. Aspek Moralitas, merupakan warisan yang umum dari
semua Agama, dan telah dibangun dari waktu ke waktu semenjak
Nuh sampai Muhammad, melewati Musa dan Isa.
b. Aspek
ritual, hal ini bersifat spesifik tertuju kepada ajaran Muhammad untuk memuja
Tuhan, dan kaum muslim memahaminya sebagai rukun islam yang lima, yaitu :
Shahadat, shalat lima waktu sehari, membayar zakat, puasa dan pergi haji bagi
yang mampu.
c. Aspek hukum
merujuk kepada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Tuhan di dalam
berurusan dengan tingkah laku manusia di dareah interaksi yang berbeda-beda,
seperti dalam hal bisnis, pewarisan, poligami, dan kriminalitas.
Dengan demikian, Nabi
merupakan contoh model untuk kita, sebagai umat Islam, karena Nabi memperhatikan
batasan-batasan Tuhan, dan hal ini bukan berarti kita, kaum muslim sekarang
harus membuat pilihan yang sama dengan beliau. Pandangan ini otomatis berimplikasi
pada pandangan Shahrur terhadap turats-turats yang lain, seperti qaulus shahabi dan ijma’. Menurut
Shahrour adanya qaul shahabi merupakan suatu bentuk sakralisasi terhadap
sahabat yang hidup pada masa lampau. Pengambilan hukum secara taken for granted
dari qaul shahabat tentu saja tidak akan sesuai dengan realitas yang terjadi
pada saat sekarang, karena jelas kondisi masa lampau dan sekarang sangat
berbeda. Begitu juga dengan ijma.
Selain mempunyai pandangan dengan Al Qur’an dan As Sunah,
Syahrur juga mempunyai pandangan terhadap formulasi tafsir klasik diantaranya:[17]
1. Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait
dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad.
2.
Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali
bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang
terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan
hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya.
3.
Tidak
dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih
mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat.
4.
Tidak
adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan
indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam,
sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.
Produk-produk
fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi
dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru.
Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, tapi,
umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Muhamad ibnu da’ib syahrur dilahirkan di Damaskus pada 11
maret 1938. Menjalani pendidikan dasar
dan menengahnya di Damaskus yang bernama “Abdul Ar Rahman Al Kawakibi” tamat
pada tahun 1957. Kemudian mendapat beasiswa pemerintah untuk menempuh studi
tekhnik sipil (handasah madaniyah) di Moskow. Kemudian pada tahun
berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas tekhnik di Damaskus pada Tahun 1967.[18] Pada tahun 1968 ia pergi lagi menuju
university collage di Dublin, Irlandia untuk menempuh program master (S2) dan
Doktor (S3).
Dalam pemikirannya tentang Al Qur’an ia banyak membuka
atau menelorkan pendapat baru, yang memang menurut khalayak umum sangat
menggelitik dan bisa diklaim sesat, namun yang perlu diperhatikan bahwa tradisi
menyalahkan seseorang tanpa memberikan solusi adalah perbuatan yang tidak baik.
Maka dari itu jikalau dipandang karya Syahrur ini kurang benar, maka dia
mengharap pembenaran yang bersifat ilmiyah pula.
Pemikirannya yang menurut kami sangat berpengaruh
terhadap paradigma seseorang setelahnya ialah, beliau berani mengelupas
kata-kata dari Al Qur’an. Dan berani menyimpulkan bahwa sebetulnya dalam bahasa
Arab tidak ada Istilah Muradif atau sinonim kata. Sehingga ia memberi
kejelasan tentang perbedaan Al Kitan, Al Qur’an dan lain sebagainya. Maka dari
iti, disini penulis mengamati bahwa Syahrus sangat Ahli dibidang kebahasaan.
Selain itu dia juga memberi penalaran yang sangat masuk
akal terhadap kandungan Al Qur’an, karena pengaruh berfikir Muhamad Syahrur
yang dipengaruhi oleh pendidikannya sejak kecil, yakni beliau seorang Insinyur
bangunan, dan seperti kita ketahui bahwa insinyur selalu mengedepankan logika.
Sehingga Syahrur mengeyakan”Tidak ada pertentangan antara Wahyu dan Akal”.
DAFTAR PUSTAKA
M Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al
kutub al hafitzah, 1961)
http://id,m wikipedia, hudzaefah word pres.com,
inteprestasi Muhamad Syahrur, diakses: 22-05-2014/23:15
Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai
Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002)
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an
& Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm.
287-288.
Sharur, Al kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Muasharah (Damaskus: Dar al
Ahali, 1990)
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Prinsip dan Dasar Hermeneutika
Al Qur’an (Yoyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm 56-58
Moh. Syahrur, Metodologi Fiqih
Islam Kontemporer, terjemah: Sahiron Syamsuddin, Burhanuddin, cet. Ke-6
(Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)
[1] baca: M
Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al
hafitzah, 1961)
[2] http://id,m wikipedia, hudzaefah word pres.com, inteprestasi Muhamad
Syahrur, diakses: 22-05-2014/23:15
[3] Abdul
Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 132
[5] Abdul
Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi
Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 133
[6] Baca:
Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an ..., hlm 134-135
[7] Baca:
Sharur, Al kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Muasharah (Damaskus: Dar al
Ahali, 1990), hal 155-157
[8] Baca:
Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an ..., hlm. 137-138
[9] Ketika
bahasa tersebut mendatangkan makna yang baru, bukan berarti ia akan kehilangan
makna aslinya.
[10] Baca:
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al
Qur’an (Yoyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm 56-58
[11] Baca:
Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an: Qira’ah wa Al Mu’ashirah, Terjemah
Sahiron “Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri”, (Yoyakarta: eLSAQ Press,
2004), hlm. 66-78
[14] Baca:
Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 90-92
[15] Baca:
Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 95- 116
[16] Moh. Syahrur, Metodologi
Fiqih Islam Kontemporer, terjemah: Sahiron Syamsuddin, Burhanuddin, cet.
Ke-6 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 104
Apakah kamu sudah tau prediksi togel mbah jambrong yang jitu? bila belum baca Prediksi jitu mbah jambrong Sgp
BalasHapus