Sabtu, 09 Mei 2015

KONSEP TAFSIR MUHAMAD SYAHRUR



MAKALAH
Hermeneutika Muhamad Syahrur
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
Hermeneutika

Dosen Pembimbing :
Akhol Firdaus, M.Pd.I
 






    
Disusun Oleh :
Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305
Wihdatul Ulya
NIM: 283112315


Jurusan                : Ushuluddin
Prodi                     : Tafsir Hadits
Semester               : IV (empat)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MEI 2014
KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”HERMENEUTIK  MUHMAD SYAHRUR” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.      Bpk Akhol Firdaus. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.      Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.




Penyusun





BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dinamika penafsiran Al Qur’an tidak pernah mengalami kemandekan atau staknanisasi sejak awal mula Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhamad SAW. Berbagai corak penafsiran telah ditawarkan oleh para Mufasir baik Mufasir klasik maupun para Mufasir modern guna menguak sisi rahasia yang tersimpan dalam Al Qur’an, yang kita yakini salah satu Mu’jizat terbesar Tuhan yang diberikan kepada Nabi Muhamad guna memberi petunjuk kepada semua umat setelah Al Qur’an diturunkan.[1] Bahkan penafsiran akan terus berkembang, akan terus menjadi pembicaraan hangat ketika akal manusia masih ada. Artinya pemahaman Al Qur’an akan terus berkembang, tidak lagi memakai pemahaman masa klasik yang dianggap sudah tidak relevan terhadap masalah modern yang begitu rumit, dan permasalahan atau keadaan yang begitu berbanding terbalik dibandingkan masa dahulu. Ketidak puasan terhadap prinsip, pendekatan dan hasil penafsiran merupakan bukti atas hal tersebut.
Pada penghujung abad ke 20 muncul banyak tokoh kontroversial yang mencurahkan pemikiran mereka dalam studi kritis Al Qur’an. Diantaranya adalah Muhamad Syahrur, keberanian Muhamad Syahrur dalam menawarkan ide-ide pemikiran baru dalam kajian Al Qur’an yang cukup menggelitik ditelinga umat Muslim. Seiring diterbitkannya karya beliau yang berjudul “Al Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Mu’asirah”. Untuk menguak lebih lanjut tentang beliau dan karya belia yang fenomena tersebut, marilah kita seksama membahas pada sedikit penulisan pada makalah ini.






B.  Rumusan Masalah

Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1.    Bagaimana biografi Muhamad Syahrur?
2.    Bagaimana Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an?
3.    Bagaimana Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunah dan formulasi Klasik?

C.  Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1.    biografi Muhamad Syahrur
2.      Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an?
3.      Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunah dan formulasi Klasik?

















BAB II
PEMBAHASAN
A.  Biografi Muhamad Syahrur
Muhamad ibnu da’ib syahrur dilahirkan di Damaskus pada 11 maret 1938. Menjalani  pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus yang bernama “Abdul Ar Rahman Al Kawakibi” tamat pada tahun 1957. Kemudian mendapat beasiswa pemerintah untuk menempuh studi tekhnik sipil (handasah madaniyah) di Moskow. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas tekhnik di Damaskus pada Tahun 1967.[2]  Pada tahun 1968 ia pergi lagi menuju university collage di Dublin, Irlandia untuk menempuh program master (S2) dan Doktor (S3).[3]
Syahrur yang berlatar belakang teknik, ternyata meminati juga secara
mendalam masalah-masalah ke
Islaman. Hal ini sebagaimana diwujudkannya dalam Al-Kitab wa al-Qur`an. Buku inilah sebenarnya yang telah membuat namanya melejit dalam kancah blantika pemikiran Islam kontemporer. Renungan dalam buku ini ternyata tidak tanggung-tanggung, sebab ditulisnya waktu yang cukup lama, 20 tahun. Secara garis besar, karya-karya Syahrur dibagi ke dalam dua kategori: Pertama Bidang teknik: Al-Handasah al-Asasiyyah dan Al-Handasah al-Turabiyyah. Kedua Bidang keislaman (semuanya diterbitkan oleh Al-Ahali li al-Tiba`ah wa al-Nasyr wa al-Tauzi`, Damaskus).  Al-Kitab wa al-Qur`an: Qira`ah Mu`ashirah (1990), Dirasah Islamiyyah Mu`ashirah fi al-Daulah wa al-Mujtama` (1994), Al-Islam wa al-Iman: Manzumah al-Qiyam (1996), dan Masyru` Mitsaq al-`Amal al-Islami (1999).
Pemikiran beliau yang penuh kontroversional sebagaimana tertuang dalam karya-karyanya tersebut mengundang berbagai kritik dari banyak kalangan ulama tafsir dan pemikir Islam lainnya. Beberapa kritik sebagai respon terhadap gagasan-gagasan beliau tersebut pun muncul diantaranya Mujarrad al-Tanjim al-Qur’an Li Duktur Muhammad Syahrur karya Musklim al-Jabi, Tahafut al-Qira’ah al-Muashirah karya al-Syawwal, dan lain-lain.[4]Bahkan sebagian pemerintah nnegara-negara Arab, seperti Arab Saudi, Mesir, Qatar, dan Uni Emirat Arab secara resmi melarang buku-buku Shahrur beredar di negara-negaranya. Masyarakat islam pengikut Syahrur lebih banyak berada di Negara-negara Eropa dan Amerika ketimbang di dunia Islam dan Arab.
Sebaliknya, mereka yang setuju dengan pemikirannya  memberikan penilaian dan kebijakan yang positif. Sultan Qaboos di Oman, misalnya, membagikan buku itu kepada para menterinya dan merekomendasikan mereka untuk membacanya. Sarjana-sarjana non-Muslim, seperti Wael B.Hallaq, dan Dale F. Eickelman dalam kesempatan yang berbeda mengemukakan kekaguman terhadap kreatifitas Shahrur.[5]
B.  Pandangan Muhamad Syahrur terhadap Al Qur’an
Menurut Syahrur, Al Qur’an dalam arti yang populer, atau dalam bahasa Syahrur Al Kitab, terbagi kedalam tiga macam:[6]
Ø   Pertama ayat-ayat muhkamat (Ummul kitab), yaitu sesuatu yang diturunkan kepada Nabi Muhamad selama 23 tahun yang memuat ayat-ayat tentang hukum dan akhlak yang terbuka untuk melakukan ijtihad sesuai dengan situasi kondisi masyarakat tertentu. Jadi hukum yang dihasilkan Al Qur’an dari masa kemasa bisa saja berbeda, hal ini dikarenakan perbedaan situasi kondisi yang dialami imat manusia. Dan sifat elastisitas pemahaman dan penerapan Ummul Kitab itu oleh Syahrur disebut dengan Hanifiyyah. Adapun diantara beberapa ayat Al Qur’an yang membicarakan tentang Umm Al Qur’an adalah Surat Al Ra’du ayat 39: يَمْحُو اللَّهُ مَا
يَشَاءُ وَيُثْبِتُ وَعِنْدَهُ أُمُّ الْكِتَابِ
Ø  Kedua ayat-ayat mutasabihat (Al Qur’an wa As Sab’ul Matsani), yang diturunkan dalam bentuk inzal dan tanzil yang secara terpisah dari lauhil Mahfudz dan Dari imam Mubin ( Allah).  Hal ini berisi dua bagian yang pertama adalah bagian tetap (Al Juz Al Tsabit) hai ini yang mengatur kaidah kaidah umum yang mengatur dari awal mula penciptaan alam sampai pada hari kiamat. Adapun bagian yang kedua adalah bagian yang bisa berubah (Al Juz Al Mutaghayir) tergantung faktor alamiyah objektif yang mempengaruhinya. Yang termasuk dalam kategori ini adalah seperti perubahan angin, jenis kelamin, gempa, dll. Ayat- ayat yang berkaitan dengan ini termasuk kategori ayat yang sangat terbuka untuk di ta’wilkan  sesuai dengan perkembangan ilmu tekhnologi atau ilmu pengetahuan  (Arradiyat Al Alamiyah).
Ø Ketiga Tafsil Al Kitab. Yakni kategori ayat yang bukan masuk dalam kategori ayat Muhkamat wa Mutasabihat.
Dari ketiga konsep tersebut, Muhamad Syahrur murujuk pemahaman dalam Al Qur’an surat Yunus ayat 37: وَمَا كَانَ هَذَا الْقُرْآنُ أَنْ يُفْتَرَى مِنْ دُونِ اللَّهِ وَلَكِنْ تَصْدِيقَ الَّذِي بَيْنَ يَدَيْهِ وَتَفْصِيلَ الْكِتَابِ لَا رَيْبَ فِيهِ مِنْ رَبِّ الْعَالَمِينَ

Setelah itu, bagaimana sikap kita ketika ada pertanyaan, apakan Al Qur’an merupakan produk budaya atau produk Tuhan asli yang memang diturunkan kepada Nabi Muhamad? Maka dari itu Muhamad Syahrur memberi solusi bahwa ada beberapa asumsi untuk menjawab pertanyaan seperti itu.
Yang pertama jika Al Qur’an memang benar-benar hasil produk budaya atau masyarakat Arab pada masa itu, atau dengan bahasa yang cukup menggelitik dikatakan bahwa Al Qur’an adalah karangan Muhamad dan beberapa sahabat intelek yang hidup pada masa itu, maka ada beberapa sifat atau karakter Al Qur’an yang harus ada  pemikiran tokoh sehebat apapun tetap merupakan produk zaman yang meliputinya. Artinya andaikan Al Qur’an merupakan karangan Muhamad niscaya apa yang terkandung dalam Al Qur’an tersebut akan tidak relevan di beberapa tahun kehidupan setelahnya.
Yang kedua jika Al Qur’an memang benar-benar produk Tuhan untuk Nabi Muhamad, maka setidaknya ada beberapa karakter yang ada didalam Al Qur’an. Yang pertama karena Allah bersifat absolut, memiliki kesempurnaan pengetahuan, maka Al Qur’an harus mempunyai unsur-unsur absolute. Kedua karena Allah tidak perlu ilmu dan petunjuk bagi diriNya sendiri, dengan demikian pada sisi pemahaman ia harus memuan unsur-unsur yang relatif. Ketiga  karena kesempurnaan cara berfikir manusia dicapai melalui bahasa, maka ada dua konsekuensi yang pertama kitab ini dimanifestasi dengan bahasa manusia, kedua kitab ini harus mempunya karakter khusus, yaitu muatanya bersifat absolute, dan pemahamannya bersifat relatif. Karakter inilah yang disebut dengan kemutlakan bentuk linguistik (Tsabat An Nahs) yang berupa teks sekaligus memiliki realitas pemahaman (Harakah Al Muhtawa) dan karakter seperti inilah yang menurut Syahrur merupakan pengindikasian bahwa Al Qur’an memang benar-benar dari Allah, karena tidak akan mungkin manusia biasa mampu menciptakan sebuah karya yang sehebat ini.[7]
Dari kedua asumsi diatas, jika kita menela’ah lebih jauh bahwa ada benarnya apa yang dikatakan Syahrur jika kita meyakini bahwa Al Qur’an memang benar-banar dari Allah kita harus meng iyakan bahwa pemahaman Al Qur’an yang benar adalah didasarkan dengan situasi ataupun kondisi pembaca atau pentafsir Al Qur’an. Untuk membuktikan bahwa Al Qur’an mempunyai dimensi sakral dalam teks-teksnya, walaupun teks yang tertilis tidak akan berubah walau sampai akhir zaman, namun pemahaman yang ada dalam teks atau dengan istilah lain ibrah akan selalu mempunyai perkembangan. Yang sesuai dengan sifat Al Qur’an yang Salihun lii kulli zaman wa Makan. Berhubungan dengan pemahaman seperti ini ada kata-kata yang sangat bijak dari seorang Muhamad Syahrur ialah “kita harus bersikap seakan kita baru saja menerima Al kitab langsung dari Nabi”.
Selanjutnya dalam memahami Al Qur’an secara utuh, Muhamad Syahrur menawarkan metode untuk memehami Al Qur’an secara utuh dengan cara mengomparasikan seluruh ayat yang memiliki topik pembahasan yang sama, atau dengan kata lain menggunakan metode Maudhu’i. Sebetulnya metode seperti ini bukan Muhamad Syahrur yang menggagas karena sudah ada Ulama’- mufasir terdahulu yang menggunakan metode ini. Ia menggunakan landasan al Qur’anu yufasiru ba’duhu ba’dhan (sebagian ayat Al Qur’an menafsiri ayat yang lain). Maka dari itu menurutnya dengan metode maudhu’i atau tematik seperti ini pembaca akan lebih mudah memahapi pesan yang tersirat dalam Al Qur’an. Selain dengan mendasarkan dalil diatas ternyata ada penganjuran dalam Al Qur’an untuk menggunakan metode seperti ini, misal dalam surat Al Muzammil ayat 4: وَرَتِّلِ الْقُرْآنَ تَرْتِيلًا  kata Ar ratl, menurut Syahrur bukan berarti bacaan yang telah disepakati oleh para Mufassir, namun ia mengartikan barisan atau urutan tertentu, dari devinisi inilah ia menganggap bahwa memilah suatu topik pembahasan dalam Al Qur’an sangatlah penting. Karena tidak jarang dalam satu surat namun berbeda ayat sudah mengisahkan sesuatu yang berbeda. Agar mendapatkan gambaran yang secara komprehensif, maka seorang Mufassir harus menggabungkan dan mengkomparasikan ayat-ayat itu agar sesuai dengan pembahasan.[8]
Setelah memberi penawaran bagaimana memahami Al Qur’an dengan baik, kemudian Muhamad Syahrur mengemukakan tentang keabadian Al Qur’an hingga hari qiyamat kelak, seperti halnya firmanNya dalam surat Al Hijr ayat 9:
 إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ  maka Muhamad Syahrur menegaskan bahwa seorang pembaca harus memahami beberapa aspek dalam menafsirkan atau meng aktualisasikan isi Al Qur’an:
 pertama harus meyakini bahwa tidak ada kata yang mempunyai arti sama (sinonim), jadi kata dalam Al Qur’an menurut Syahrur tidak ada yang memiliki makna sama.  Sebuah koridor hitorisitasnya  akan memengalami dua alternatif proses, akan mengalami kehancuran atau membawa makna yang baru selain makna asalnya.[9] Maka dari itu, Muhamad Syahrur memakai kamus bahasa Arab karya Ibnu  Faris yang berjudul Miqyas Al Lughoh dalam memahami kata-kata dalam Al Qur’an. Yang isi dari kamus ini adalah menolak adanya sinonim dalam kata Arab.
 Kedua, jika Islam bersikap relevan pada ruang dan waktu, maka juga harus dipahami bahwa Al Kitab juga diturunkan kepada kita pada zaman sekarang ini, yang seolah-olah Nabi Muhamad baru saja wafat dan menyampaikan isi Al Qur’an sendiri dengan kita. Oleh karena itu, kita dapat memahami bahwa Muhamad Syahrur adalah seorang pemikir Islam yang selalu meng up date tentang pemahaman Islam sesuai dengan kebutuhan zaman. Namun bukan berarti beliau melupakan jasa para Mufassir terdahulu dalam menangani masalah, beliau tetap respeck terhadap reaksi para mufassir terdahulu dalam masalah Agama. Dengan demikian kitab-kitab yang dihasilkan Mufassir pada masa itu merupakan karya terbaik pada masa itu pula. Maka Muhammad Syahrur kurang setuju jikalau ada seorang Mufassir yang mengatakan bahwa kitab tafsirnya adalah kitab yang paling benar. Justru jika ini dibiarkan, menurut Syahrur akan menghilangkan sakralitas dari Al Kitab itu sendiri.
 Ketiga , Allah menurunkan Al Kitab sebagai petunjuk bagi umat manusia, bukan sebagia petunjuk untuk diri Allah sendiri, maka dari itu seluruh kandungan makna yang ada dalam Al qur’an pasti dapat diterima atau dipahami oleh akal manusia, maka dari itu Muhamad Syahrur mengatakan bahwa ia menolak sebuah pemahaman bahwa ada beberapa ayat yang tidak bisa dipahami oleh manusia, ia mengatakan bahwa Al Kitab adalah selalu bersifat relatif, historis dan temporal. Keempat, Allah selalu meninggikan posisi akal dengan cara mengungkapkannya dalam Ayatnya misalkan: هل يستوي الذين يعلمون و لا يعلمون.   Dari ayat ini, menurut Syahrur sebetulnya tidak ada sama sekali pertentangan antara akal dan wahyu.[10]
Untuk memperoleh pemahaman yang sedikit mendalam tentang hermeneutik Muhamad Syahrur, seyogjanya kita mengetahui apa yang dibicarakan Muhamad Syahrur dalam karyanya yang sangat fenomenal, yakni “Al Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Al Mu’asharah”, namun sayangnya sulit sekali untuk melacak karya asli dari Muhamad Syahrur, penulis makalah ini hanya menemukan hasil terjemahan dari karya Muhamad Syahrur yang berjudul “Al Kitab wa Al Qur’an: Qira’ah Al Mu’asharah”, untuk lebih jelasnya, pada kitab tersebut Ia menjelaskan tentang:
1.         Al kitab wa Al Qur’an.[11]
Kata Al kitab berasal dari akar kata kataba, yang dalam bahasa Arab berarti pengumpulan sesuatu dengan sesuatu yang lain untuk memperoleh manfaat atau memperoleh tema yang sempurna. Sebagaimana dalam redaksi Surat An Nisa ayat 103:
فَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ كِتَابًا مَوْقُوتًا
Maka dari itu, Allah memberikan wahyu kepada Nabi Muhamad tidak satu model saja, tetapi berbagai macam model atau sub bab. Sedangkan Al Qur’an adalah bagian dari Al Kitab dan penyandingan keduanya sebagai fungsi yang khusus dan yang umum. Maka dari itu tatkala ayat berbicara tentang Al Kitab penyandarannya pada kata:
ذَلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ فِيهِ هُدًى لِلْمُتَّقِينَ
Sedangkan pada ayat yang membicarakan tentang Al Qur’an, Allah menyandarkannya pada kata:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ

2.         Al Dzikr.[12]
Term al Dzikr, dapat didevinisikan sebagai pengubahan (Al Qur’an) menjadi bentuk bahasa manusia yang secara literal berupa linguistik Arab. Bentuk seperti inilah yang digunakan untuk memahami dan mempelajari Al Qur’an. Bentuk bahasa Al Qur’an adalah memakai bahasa Arab oleh karena itu, ia dikatakan kepada bangsa Arab dalam QS: Al Anbiya’: 10 “لَقَدْ أَنْزَلْنَا إِلَيْكُمْ كِتَابًا فِيهِ ذِكْرُكُمْ أَفَلَا تَعْقِلُونَ
Ayat tersebut mengindikasikan bahwa di dalam Al Qur’an terdapat wahyu Bahasa Arab yang tersuarakan dalam media bahasa Arab murni. Oleh karena itu, dalam ayat ini Allah menggunakan kata:Fiihi Dzikrukum. Pada dataran inilah tersembunyi atau tersirat kehebatan bangsa Arab dimuka bumi ini.
3.         Al Furqon.[13]
Menurut Muhamad Syahrur, kata Al Furqon dalam Al Kitab disebut sebanyak enam kali dalam bentuk Ma’rifah. Term Al Furqon pertama kali oleh Allah diturunkan kepada Musa bersamaan dengan diturunkannya Al Kitab. QS Al Furqon:1
تَبَارَكَ الَّذِي نَزَّلَ الْفُرْقَانَ عَلَى عَبْدِهِ لِيَكُونَ لِلْعَالَمِينَ نَذِيرًا
Pengertiannya bahwa Al Furqon  diturunkan secara terpisah dari Al Kitab. Allah mengatakan kata Al Furqon ini dalam ayat lain dalam QS Ali Imran ayat:3-4, bahwa Al Furqon, Injil, Taurat oleh Allah diturunkan sebelum Al Kitab diturunkan kepada Nabi Muhamad:
نَزَّلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَأَنْزَلَ التَّوْرَاةَ وَالْإِنْجِيلَ (3) مِنْ قَبْلُ هُدًى لِلنَّاسِ وَأَنْزَلَ الْفُرْقَانَ إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِآيَاتِ اللَّهِ لَهُمْ عَذَابٌ شَدِيدٌ وَاللَّهُ عَزِيزٌ ذُو انْتِقَامٍ
Dan Al Furqon yang diturunkan kepada Nabi Musa  sama dengan penurunan Al Furqon kepada Nabi Muhamad, ayat lain QS Al Baqarah: 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَى وَالْفُرْقَانِ
Karena dalam lafadz ini Al Furqon sejajar dengan Al Qur’an yang memakai kata penghubung (a’tuf), maka dari itu menurut Muhamad Syahrur Al Furqon berbeda atau bukan Al Qur’an, namun Al Furqon merupakan bagian dari isi Al Kitab.
4.         Kata-kata Allah (Kalimat Allah).[14]
Menurut Muhamad Syahrur, dalam membahas tentang Tuhan, kita harus memperhatikan dua aspek yang dimiliki oleh manusia. Pertama suara yang memiliki wujud objek material,  ke dua adalah makna atau dalalah yang hanya bisa ditangkap oleh pikiran atau akal manusia. Maka dari itu, menurut Syahrur tatkala kita berbicara tentang Tuhan atau ayat-ayat Tuhan kita hanya membicarakan objek yang tidak kasap mata, namun sebetulnya akal bisa menerima konsep ketauhidan Tuhan.
Selain itu, bahasa juga memiliki dua fungsi, yakni sebagai komunikasi dan sebagai perangkat pemikiran. Dalam fungsinya sebagai perangkat komunikasi maka bahasa menunjukkan hubungan antara petanda(makna) dan penanda. Dalam fungsi sebagai perangkat pemikiran, bahasa menampakkan sebagai keberadaan petanda. Maka konsekuensinya adalah, jika Al Qur’an yang ada dihadapan kita sampai sekarang ini memang benar-benar hakiki kalam dari Tuhan, maka yang perlu kita pegangi adalah bahwa Allah itu mempunyai sifat yang berbeda dengan Makhluknya. Jadi kita jangan memahami bahwa Allah menyebut kata As Syams atau Al Qomar misalkan, kita jangan menafsiri devinisi tersebut kita samakan dengan devinisi yang kita ketahui. Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa kalimat-kalimat Allah adalah hakikat dari materi dan hukum Universal yang ada atau tersirat pada teks Al Kitab. Sehingga pada masalah ini, Syahrur juga meng iyakan teori bing bang misalkan.
5.         Kandungan Al Qur’an. [15]
 Terkait dengan term Al Qur’an, kita harus membedakan sebagai kata dengan menggunakan pentebutan dengan Al Ta’rif  yakni Al Qur’an, sesuai dengan Firman Allah Misalkan: شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ dengan penyebutan dengan kata yang tidak menyebutkan Al Ta’rif l Ta’rif yani sesuai dengan QS Al Buruj:21: بَلْ هُوَ قُرْآنٌ مَجِيدٌ
Ketika Al Qur’an menggunakan kata Al, berarti ia mengindikasikan ia merujuk kepada dirinya sendiri. Jika disebut tanpa menggunakan Al (Nakirah), maka ia mengindikasikan ia merujuk pada bagian tertentu saja atau sebagian dirinya.

C.  Pandangan Muhamad Syahrur terhadap As Sunnah dan Formulasi Tafsir Klasik
Selain memberi sumbangsih pemikiran dalam bidang Al Qur’an ternyata beliau juga berargumen tentang Hadits atau Sunah, beberapa pandangannya tentang Sunah ialah:[16]
1. Sunnah Nabi, yakni segala hal yang dilakukan, dikatakan dan disetujui Nabi Saw, bukanlah     wahyu Allah.  
2. Sunnah merupakan contoh sebuah model awal penafsiran yang dilakukan oleh Nabi Saw untuk memahami dan mengkontekstualisasikan makna Alquran yang mutlak dan sarat dengan nilai-nilai universalitas. Sunnah dalam hal ini merupakan turats yang tidak bisa dilepaskan dari pengaruh konteks sosio-kultural masyarakat yang hidup pada saat itu. Sehingga produk hukum yang dihasilkan oleh sunnah tidak bersifat absolut dan final, tetapi bisa jadi bersifat temporal dan lokal.
2. Posisi sunnah hanya bisa dijadikan sebagai pertimbangan (isti’nas) saja. Karena pada kenyataannya sunnah nabi merupakan keputusan hukum, dan keputusan hukum berubah sesuai dengan perubahan ruang dan waktu.
3. Ada tiga aspek yang penting untuk dicatat mengenai sunnah nabi, yaitu:
a. Aspek Moralitas, merupakan warisan yang umum dari semua Agama, dan telah dibangun dari waktu ke waktu semenjak Nuh sampai Muhammad, melewati Musa dan Isa.
b.  Aspek ritual, hal ini bersifat spesifik tertuju kepada ajaran Muhammad untuk memuja Tuhan, dan kaum muslim memahaminya sebagai rukun islam yang lima, yaitu : Shahadat, shalat lima waktu sehari, membayar zakat, puasa dan pergi haji bagi yang mampu.
c.  Aspek hukum merujuk kepada batasan-batasan yang telah ditentukan oleh Tuhan di dalam berurusan dengan tingkah laku manusia di dareah interaksi yang berbeda-beda, seperti dalam hal bisnis, pewarisan, poligami, dan kriminalitas.
Dengan demikian, Nabi merupakan contoh model untuk kita, sebagai umat Islam, karena Nabi  memperhatikan batasan-batasan Tuhan, dan hal ini bukan berarti kita, kaum muslim sekarang harus membuat pilihan yang sama dengan beliau. Pandangan ini otomatis berimplikasi pada pandangan Shahrur terhadap turats-turats yang lain, seperti qaulus shahabi dan ijma’. Menurut Shahrour adanya qaul shahabi merupakan suatu bentuk sakralisasi terhadap sahabat yang hidup pada masa lampau. Pengambilan hukum secara taken for granted dari qaul shahabat tentu saja tidak akan sesuai dengan realitas yang terjadi pada saat sekarang, karena jelas kondisi masa lampau dan sekarang sangat berbeda. Begitu juga dengan ijma.
Selain mempunyai pandangan dengan Al Qur’an dan As Sunah, Syahrur juga mempunyai pandangan terhadap formulasi tafsir klasik diantaranya:[17]
1.      Tidak adanya metode penelitian ilmiah yang obyektif, khususnya terkait dengan kajian Nash (ayat-ayat al-Kitab) yang diwahyukan kepada Muhammad.
2.      Kajian-kajian keislaman yang ada seringkali bertolak dari perspektif-perspektif lama yang dianggap sudah mapan, yang terperangkap dalam kungkungan subyektifitas, bukan obyektifitas. Kajian-kajian itu tidak menghasilkan sesuatu yang baru, melainkan hanya semakin memperkuat asumsi yang dianutnya.
3.      Tidak dimanfaatkannya filsafat humaniora, lantaran umat Islam selama ini masih mencurigai pemikiran Yunani (Barat) sebagai keliru dan sesat.
4.      Tidak adanya epistemologi Islam yang valid. Hal ini berdampak pada fanatisme dan indoktrinasi mazhab-mazhab yang merupakan akumulasi pemikiran abad-abad silam, sehingga pemikiran Islam menjadi sempit dan tidak berkembang.
5.      Produk-produk fiqh yang ada sekarang (al-fuqaha` al-khamsah) sudah tidak relevan lagi dengan tuntutan modernitas. Yang diperlukan adalah formulasi fiqh baru. Kegelisahan semacam ini sebetulnya sudah muncul dari para kritikus, tapi, umumnya hanya berhenti pada kritik tanpa menawarkan alternatif baru.





BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Muhamad ibnu da’ib syahrur dilahirkan di Damaskus pada 11 maret 1938. Menjalani  pendidikan dasar dan menengahnya di Damaskus yang bernama “Abdul Ar Rahman Al Kawakibi” tamat pada tahun 1957. Kemudian mendapat beasiswa pemerintah untuk menempuh studi tekhnik sipil (handasah madaniyah) di Moskow. Kemudian pada tahun berikutnya bekerja sebagai dosen fakultas tekhnik di Damaskus pada Tahun 1967.[18]  Pada tahun 1968 ia pergi lagi menuju university collage di Dublin, Irlandia untuk menempuh program master (S2) dan Doktor (S3).
Dalam pemikirannya tentang Al Qur’an ia banyak membuka atau menelorkan pendapat baru, yang memang menurut khalayak umum sangat menggelitik dan bisa diklaim sesat, namun yang perlu diperhatikan bahwa tradisi menyalahkan seseorang tanpa memberikan solusi adalah perbuatan yang tidak baik. Maka dari itu jikalau dipandang karya Syahrur ini kurang benar, maka dia mengharap pembenaran yang bersifat ilmiyah pula.
Pemikirannya yang menurut kami sangat berpengaruh terhadap paradigma seseorang setelahnya ialah, beliau berani mengelupas kata-kata dari Al Qur’an. Dan berani menyimpulkan bahwa sebetulnya dalam bahasa Arab tidak ada Istilah Muradif atau sinonim kata. Sehingga ia memberi kejelasan tentang perbedaan Al Kitan, Al Qur’an dan lain sebagainya. Maka dari iti, disini penulis mengamati bahwa Syahrus sangat Ahli dibidang kebahasaan.
Selain itu dia juga memberi penalaran yang sangat masuk akal terhadap kandungan Al Qur’an, karena pengaruh berfikir Muhamad Syahrur yang dipengaruhi oleh pendidikannya sejak kecil, yakni beliau seorang Insinyur bangunan, dan seperti kita ketahui bahwa insinyur selalu mengedepankan logika. Sehingga Syahrur mengeyakan”Tidak ada pertentangan antara Wahyu dan Akal”.



DAFTAR PUSTAKA
M Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al hafitzah, 1961)
http://id,m wikipedia, hudzaefah word pres.com, inteprestasi Muhamad Syahrur, diakses: 22-05-2014/23:15
Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002)
Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 287-288.
Sharur, Al kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Muasharah (Damaskus: Dar al Ahali, 1990)
Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an (Yoyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm 56-58
Moh. Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemah: Sahiron Syamsuddin, Burhanuddin, cet. Ke-6 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010)






[1] baca: M Husain al Dzahabi, Al Tafsir wa al Mufasirun, (Beirut: dar al kutub al hafitzah, 1961)
[2] http://id,m wikipedia, hudzaefah word pres.com, inteprestasi Muhamad Syahrur, diakses: 22-05-2014/23:15
[3] Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 132
[4] Kurdi dkk, Hermeneutika Al-Qur’an & Hadis (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 287-288.
[5] Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an Kontemporer Wacana Baru Berbagai Metodologi Tafsir, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana, 2002), hlm. 133
[6] Baca: Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an ..., hlm 134-135
[7] Baca: Sharur, Al kitab wa Al Qur’an : Qira’ah Muasharah (Damaskus: Dar al Ahali, 1990), hal 155-157
[8] Baca: Abdul Mustaqim, Studi Al Qur’an ..., hlm. 137-138
[9] Ketika bahasa tersebut mendatangkan makna yang baru, bukan berarti ia akan kehilangan makna aslinya.
[10] Baca: Sahiron Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri, Prinsip dan Dasar Hermeneutika Al Qur’an (Yoyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm 56-58
[11] Baca: Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an: Qira’ah wa Al Mu’ashirah, Terjemah Sahiron “Syamsuddin dan Burhanudin Dzikri”, (Yoyakarta: eLSAQ Press, 2004), hlm. 66-78
[12] Baca: Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 79-82
[13] Baca: Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 83-88
[14] Baca: Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 90-92
[15] Baca: Muh. Syahrur, Al Kitab Wa Al Qur’an:..., Hlm. 95- 116
[16] Moh. Syahrur, Metodologi Fiqih Islam Kontemporer, terjemah: Sahiron Syamsuddin, Burhanuddin, cet. Ke-6 (Yogyakarta: eLSAQ Press, 2010), hlm. 104
[17] Moh. Syahrur, Metodologi Fiqih Islam ..., hlm. 106

1 komentar: