Selasa, 05 Mei 2015

PEMIKIRAN M AL GHOZALI

MAKALAH
PEMIKIRAN M. AL GHAZALI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
HADITS KONTEKSTUAL

Dosen Pembimbing :
H. M. Rozi Indrafuddin, Lc, M.Fil.I
 







    
Disusun Oleh :


Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305


Fakultas               : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan                : Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester               : VI (enam)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MARET  2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN M. AL GHAZALI” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.      Bpk  Rozi Indrafuddin . Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.      Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.




Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru, yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para pembaharu Islam, mereka muncul karena merasa bahwa persoalan Islam semakin kompleks, pemahaman klasik sudah dirasa kurang dapat menjawab permasalahan yang sedang terjadi dilapangan. Maka mereka muncul guna memberikan pencerahan kepada umat Muslim agar mau berkembang, dan sadar akan misi utama dari ajaran Islam yakni “Shalihun lii kulli zaman wa shalihun lii kulli makan”.
Sebagai insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits untuk berkecimpung dan mendalami ‘peran pemikiran’ dalam ranah hadits. Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri. Bahkan ia sudah menjadi objek kajian yang mendunia.
Salah satu pembaharu yang berkecimpung dalam hal ini adalah M. Al Ghazali, merupakan salah seorang ulama’ fiqih yang mengusung  pembaharuan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1.      Bagaimana biografi M. Al Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits?

C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1.      Untuk menjelaskan bagaimana biografi M. Al Ghazali.
2.      Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Biografi M. Al Ghazali
Syaikh  M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
Tahun 1937 M, beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi jurusan Ushuludin di Kairo. Disana beliau menuntut ilmu dari beberapa Ulama’ besar diantaranya: Muhamad Syaltut, Abdul Adzim Al Zarqani, Hasan Al Bana dan lain-lain. Lulus dari jurusan Ushuludin dan mendapat gelar sarjana pada tahun 1941 M. Dan pada tahun inilah ia menjalin hubungan dekat dengan Mursyd ‘am Ihwanul Muslimin Hasan Al Bana (1324- 1368 H) dan pada akhirnya ia menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
 Dalam jaringan ini, ia langsung bergerak menjadi salah satu anggota terdepan dalam rangka dakwah mensiarkan faham Islam. Dua tahun setelah ia mendapatkan gelar sarjana, ia langsung menjadi Imam sekaligus Khatib di masji Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah dan kementrian Agama dalam bidang wakaf terus meningkat. Berturut-turut menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al Azhar Al Syarif, da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 juli 1971 M, dan menjadi wakil kementrian waqah urusan dakwah Islam pada tanggal 8 Maret 1981 M.[1]
Al Ghazali menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al Bana, salah seorang dari Rasyid Ridho, sedang syaikh Rasyid Ridho murid dari Muhamad Abduh, dan beliau adalah salah satu murid dari Jamaluddin Al Afghani. Awal mula interaksi Al Ghazali dengan Imam Hasan Al Bana dikisahkan oleh ustadz Muhamad Majdzub dalam bukunya “Ulama’ wa Al Mufakirin”, ustadz Majdzub mengutip ucapan Al Ghazali “ permulaan perkenalan itu saat saya masih dalam belajar disekolah tingkat menengah (SMU) Iskandariyah, saat itu saya punya kebiasaan menetap di masjid Abdul rahman bin Harmuz, daerah Ra’sut. Selepas melakukan shalat magrib berjama’ah saya punya kebiasaan mengulang mata pelajaran saya di sana, pada saat itu pula saya mendengarkan Hasan Al Bana sedang berceramah. Ia menjelaskan pesan singkan dalam ceramahnya yakni:...”bertaqwalah kepada Allah dimana saja, ikutilah setiap perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, tentu perbuatan buruk itu akan terhapuskan oleh perbuatan baik tersebut...” dari penjelasan itu, saya sangat terkesan dan masuk dalam hati saya yang paling dalam. Setelah penjelasan itu, hatiku langsuung tertampat kepadanya. Dan saya langsung menemuinya dan ingin memperdalam ilmu dengannya”. Dari kejadian inilah Al Ghazali mulai dekat dengan Hasan AL Bana.[2]
 Al Ghazali bergabung pada proyek pemikiran pembaharuan ditengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran pembaharuan Madrasah Al Ra’i (Aliran pemikiran logika) dan Atsar (warisan tekstual) serta perimbangan pada keduanya, sebagaimana metode madrasah Ibnu Taimiyah. Hal itu terjadi karena ia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar atau dalil dan menganggap akal adalah asal dari naql (Nash), yakni mengedepankan Al Qur’an daripada Sunnah dan menjadikan isyarat Al Qur’an lebih utama daripada Hadits Atsar, menolak konsep Naskh Mansukh. Ia memandang bahwa bermadzhab memang terkadang bermanfaat dan akan tetapi bukan menjadi sebuah keharusan. Dengan begitu ia mengingkari bertaklid kepada Madzhab akan tetapi tetap menghormati para Imam, dia beraktivitas demi tersebarnya Islam diseluruh dunia dengan akidah dan nilai-nilai asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab klasik maupun modern.[3]
Muhamad Al Ghazali juga pernah mengalami cobaan dan cercaan yang menimpa organisasi Ikhwanul Muslimin dan ditahan dipenjara Al Thur di dataran tinggi Sinai tahun 1949 M. Kemudian dipenjara ditahanan Thurah selama kurang dari satu tahun pada waktu pemeriksaan bersama AsSyahid Sayid Qutb yang Syahid pada tahun 1965.
Ketika ia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jama’ah masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974 M, beliau dan Syaikh Muhamad Abu Zahrah melakukan perubahan undang-undang Al Akhwal  Al Shakhsiah (undang-undang pernikahan, perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga). Beliau berpandangan bahwa problem negara Mesir terletak pada ketidak mampuan generasi muda untuk menaggung beban (biaya) pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalkannya dari memberi ceramah di Universitas Amr Ibn Al Asha kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan jabatan  (pimpinan uum dakwah) yang sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan disebuah rumah yang hanya beralaskan tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, disamping masjid salahudin di Kairo, maka dia duduk diatas tikar sibuk mengarang.[4] 
Dalam aktivitasnya mengarang buku, Al Ghazali mewariskan enam puluh buku atau lebih dalam berbaga tema, berikut diantara hasil karya beliau:[5]
1.   Al Islam wa Al Auda’ul Iqshadiyah
2.   Al Islam wa Manhajul Istirakiyah
3.   Minhuna Na’lam
4.   Al Islam Wa Istibdadus Siyasi
5.   Aqidah Muslim
6.   Fiqhu Sirah
7.   Zhalamun Min Al Gharab
8.   Qadzaiful Khaq
9.   Hashadul Ghurur
10.  Jaddid Hayatak
11.  Al Haqqul Murr
12.  Rakaizul Iman Bainal Aqli wa Al Qalb
13.  Huquql insan baina Ta’alamil Insan wa I’lanil Umamil Mutaqodimah
14.  At ta’asub wa Tasamuh bainal Masihiyah wa Islam
15.  Jihadud da’wah baina ‘Ajzid Fakil wa kaidil Kharij
16.  Dusturul Wihdadits Tsaqafiyah lil Muslim
17.  As Sunan Nabawiyah baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits
18.  Min Khunusis Sunah
19.  Nahwu Tafsirin Maudhu’il Suwaril Qur’anil Karim
20.  Dhifa’ul anil Aqidati wa Syari’at Dhiddu matha’inil Mustasriqin
Dan masih banyak lagi karya beliau yang belum kami ngkapkan semuanya, karena dalam sebuah literatur lain, ada yang mengatakan bahwa keseluruhan dari karya Syaikh Muhamad Al Ghazali kurang lebih ada limapuluh lima buku yang telah resmi diterbitkan.
Sebagian karya atau buku-buku beliau telah duterbitkan bahkan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, diantaranya: bahasa Inggris, bahasa Turki, bahasa Prancis, Bahasa Urdu, bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Dan mayoritas penerjemah adalah muridnya dan para pengagum dari pemikiran Muhamad Al Ghazali.[6]
Singkat cerita, Syaikh Muhamad Al Ghazali wafat di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 9 Maret 1996. Jenazahnya dipindah ke Madinah Al Munawaroh untuk dimakamkan di Baqi’. Dan yang mulia Amir Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud memiliki peran penting dalam memberikan penghargaan kepada Al Ghazali, baik masih hidup maupun sudah meninggal. Ia juga selalu memberikan bantuan kepada keluarganya.
B.  Pemikiran M. Al Ghazali Terhadap Hadits
Al Ghazali merupakan pengusung kebebasan berfikir islami dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara dasar-dasar Islam yang terjaga kebenarannya dan pemikiran Islam yang tidak terjaga kebenarannya. Dia menolak bahwa anggapan orang-orang terdahulu tidak meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. “Islam membentuk imam dan Mujtahid”. Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang sumber Islam terjada dari sumber-sumber kesalahan karena berasal dari Allah. Sedangkan pemikiran, ijtihad dan lain sebagainya itu ridak terjaga karena bukan datang dari Allah, melainkan bersumber dari akal manusia itu sendiri. Ulama’ terdahulu memberikan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fiqih Islam dengan harapan agar generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, merujuk, menimbang dan memilih.
Beliau juga mendorong memahami dasar ajaran Islam yang pertama adalah Al Qur’an, dengan cara merenungi seluruh kandungan isi Al Qur’an. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Taghut. Disamping itu, ia juga mendorong untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang tersebar dalam diri manusia dan alam. Yang kita memikirkannya akan menjadi tinggi sendi-sendi Agama dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong dan memahami cerita-cerita Qur’ani sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan Agama, memahami berita-berita alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta peranannya dalam membangun akhlaq, mendidik dan merayu pada kebaikan dunia yang dibangun sebagi bekal di hari akhirat(qiyamat).
Selain Al Qur’an beliau juga mempertahankan Sunah Rasul, dalam kitabnya ia mengatakan “tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami dan menafsirkan Al Qur’an dan merealisasikan tujuan pesan-pesan yang terkandung didalamnya, sebagimana tidak ada fikih kecuali dengan sunah dan tidak ada sunah tanpa fikih. Hukum Agama tidak dapat dipahami dari mengambil satu hadits saja dan menghiraukan Bunyi hadits yang lain, namun harus dengan cara mengumpulkan hadits dan dibandingkan dengan hadits yang lain kemudian bila perlu harus dibandingkan lagi dengan kandungan isi Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an adalah bingkai dari semua hadits-hadits yang telah ada, bahkan tidak berseberangan dengan hukum-hukum yang ada didalamnya. Hukum-hukum yang ada dalam hadits sahih diambil dan diperas dari Al Qur’an, rasul mengambil hukum tersebut dengan bimbingan illahi, dan mendapatkan ilham dari apa yang bersifat global dalam Al Qur’an.[7]
Pada tahun 1989. Syaikh M. Al Ghazali menerbitka sebuah karya buku yang berjudul “The Sunna or Tha Prophet: Betwen The Legist an the Tardisionist” buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya Al Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam otoritas religius, seprti antara hubungan Al Qur’an dengan As Sunah. Bagaimana posisi Hadits Nabi sebagai sumber hukum  Islam dan bagaimana metode kritik Hadits. Polemik itu terutama disebabkan oleh Hadits-hadits Shahih yang dipertanyakan kembali oleh M. Al Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran Al Qur’an, kebenran ilmiah maupun dari sisi historis.
Posisi Al Ghazali secara substasional sama dengan posisi yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya tentang Sunah juga tidak ekstrim. Al Ghazali mengidealkan “penyucian Hadits dari noda pemalsuan” dengan memperbaiki ketidakseimbangan bagaimana kritik Hadits dipahami secara benar. Al Ghazali menandaskan bahwa meniru perilaku dari Nabi adalah satu satunya jalan untuk mendapatkan ridho dari Allah.[8]
Maka dari itu, untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali mengungkapkan  Hadits shahih yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.   Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.   Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun, Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli tersebut.[9]
Atas dasar itulah, Al Ghazali menawarkan empat metode pemahaman Hadits atau prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui ketika hendak berinteraksi dengan Sunnah supaya dihasilkan sesuai dengan ajaran Agama, diantara dari ke empat itu adalah:
1.   Pengujian dengan Al Qur’an 
   M. Al Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami tekstual Hadits Shahis sanadnya, namun matannya bertentangan dengan Al Qur’an. Pemikiran tersebut dilatar belakangi adanya keyakinan bahwa otoritas Al Qur’an berada satu level diatas otentitas Hadits. Al Qur’an menurut Al Ghazali adalah sumber utama dan pertama, sementara Hadits adalah sumber kedua. Dalam memahami Al Qur’an, Hadits sangat penting karena Hadits adalah penjelas teoritis dan praktis dari Al Qur’an. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan Hadits, perlu upaya secara intensif memahami Al Qur’an.
Penerapan kritik Hadits dengan pengujian Al Qur’an diarahkan secara konsisten oleh M. Al Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit Hadits yang dianggap Shahih misalnya, yang termuat dalam Shahih Bukari maupun kitab induk Hadits yang lain, dianggap Dha’if oleh Al Ghazali. Bahkan dengan tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslakhatan dan muamalah duniawiyah akan mengantarkan Hadits yang sanadnya Dha’if, bila kandungannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Al Qur’an, daripada Hadits yang sanadnya Shahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dari inti ajaran-ajaran Al Qur’an.[10]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali memberikan contoh Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim (Mutafaq Alaih) yang berkaitan dengan mayat akan  disiksa karena tangisan keluarganya, berbunyi:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ.[11]
Menurut Al Ghazali, walaupun Hadits ini secara sanad diakui keotentikannya, namun pada realitanya, Hadits ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an QS: Al An’am 164:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa tidak ada sangkut pautnya antara amal manusia yang satu dengan yang lain. Jadi, Hadits seperti ini, sangat dianggap tidak sesuai dengan pesan Al Qur’an, menurut Al Ghazali. Dan masih banyak lagi, Hadits yang berlawanan dengan Al Qur’an.

2.   Pengujian dengan Hadits lain
Pengujian ini memiliki bahwa matan Hadits yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan Hadits Mutawatir dengan Hadits lainnya yang lebih shahih. Menurut M. Al Ghazali hukum yang berdasarkan Agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah Hadits yang terpisah dengan Hadits lainnya, tetapi setiap Hadits harus dikaitkan dengan Hadits lainnya, kemudian Hadits-hadits yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang di tunjukkan oleh Al Qur’an.
Dalam pencontohan Hadits yang dipadukan dengan Hadits yang lain, kita dapat melihat Hadits-Hadits mukhtalif, maka dari itu dengan model tarjih, atau jam’u atau bahkan nasakh mansukh kita akan dapat mengamalkan sunah Rasul dengan benar.

3.      Pengujian Dengan Fakta Historis
Suatu yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Hadits muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhamad hidup, oleh karena itu Hadits dan sejarah memiliki hubungan yang sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan Hadits dan fakta sejarah akan menjadikan Hadits memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi antara Hadits dan sejarah maka salah satu diantara keduanya akan diragukan.

4.      Pengujian Dengan Fakta Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan Hadits tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika Hadits Nabi mengabaika rasa keadilan. Menurut Al Ghazali, bagaimanapun shahihnya sanad sebuah Hadits, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka Hadits tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru, Al Ghazali sendiri mengakui, bahwa apa yang menjadi ungkapannya sudah pernah dinyatakan oleh ulama’ terdahulu. Karena menurutnya, yang penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai Hadits Nabi.[12]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali dalam hal ini, memberikan contoh Hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim, disana dikatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan shalat seseorang menjadi batal apabila terlewati perempuan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ[13]
Dalam memahami teks Hadits ini, menurut Al Ghazali Hadits semacam ini tidak tepat dengan prinsip islam yang menjunjung keadilan, bahkan seakan-akan Hadits ini memojokan terhadap kaum perempuan yang disetarakan dengan khimar.






















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
  M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali mengungkapkan  Hadits shahih yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.      Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.      Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun, Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli tersebut.
Menurut Al Ghazali, dalam memahami Hadits yang benar agar tidak terjadi kesalahan harus menempuh empat tahapan yakni: membandingkan dengan Al Qur’an, Hadits, Historis dan keilmiahan.


B.   Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pemikiran M. Al Ghazali.























DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Muhamad, 1993, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.

Al Bukhari , Muhamad Bin Isma’il, 1987, Jami’ Ash Shahih, Mesir: Dar Al Sa’b.

Al Ghazali, Muhamad, 1998, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, Bandung: Mizan.

Muslim, Abu Husain, Shahih Muslim, Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah.

M. Al Ghazali, 1993, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.

Suryadi, 1998, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”,Bandung: Mizan.

siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.

http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.

siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.

http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.



[1]Sumber: siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret, pukul 12.00
[2] Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[3] Muhamad Al Ghazali, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
[4] Sumber: siapadankenapa.bMAKALAH
PEMIKIRAN M. AL GHAZALI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
HADITS KONTEKSTUAL

Dosen Pembimbing :
H. M. Rozi Indrafuddin, Lc, M.Fil.I
 






    
Disusun Oleh :


Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305


Fakultas               : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan                : Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester               : VI (enam)


INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MARET  2015

KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN M. AL GHAZALI” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.      Bpk  Rozi Indrafuddin . Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.      Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.




Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru, yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para pembaharu Islam, mereka muncul karena merasa bahwa persoalan Islam semakin kompleks, pemahaman klasik sudah dirasa kurang dapat menjawab permasalahan yang sedang terjadi dilapangan. Maka mereka muncul guna memberikan pencerahan kepada umat Muslim agar mau berkembang, dan sadar akan misi utama dari ajaran Islam yakni “Shalihun lii kulli zaman wa shalihun lii kulli makan”.
Sebagai insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits untuk berkecimpung dan mendalami ‘peran pemikiran’ dalam ranah hadits. Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri. Bahkan ia sudah menjadi objek kajian yang mendunia.
Salah satu pembaharu yang berkecimpung dalam hal ini adalah M. Al Ghazali, merupakan salah seorang ulama’ fiqih yang mengusung  pembaharuan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B. Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1.      Bagaimana biografi M. Al Ghazali?
2.      Bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits?

C.Tujuan Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1.      Untuk menjelaskan bagaimana biografi M. Al Ghazali.
2.      Untuk menjelaskan bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.   Biografi M. Al Ghazali
Syaikh  M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
Tahun 1937 M, beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi jurusan Ushuludin di Kairo. Disana beliau menuntut ilmu dari beberapa Ulama’ besar diantaranya: Muhamad Syaltut, Abdul Adzim Al Zarqani, Hasan Al Bana dan lain-lain. Lulus dari jurusan Ushuludin dan mendapat gelar sarjana pada tahun 1941 M. Dan pada tahun inilah ia menjalin hubungan dekat dengan Mursyd ‘am Ihwanul Muslimin Hasan Al Bana (1324- 1368 H) dan pada akhirnya ia menjadi anggota Ikhwanul Muslimin.
 Dalam jaringan ini, ia langsung bergerak menjadi salah satu anggota terdepan dalam rangka dakwah mensiarkan faham Islam. Dua tahun setelah ia mendapatkan gelar sarjana, ia langsung menjadi Imam sekaligus Khatib di masji Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah dan kementrian Agama dalam bidang wakaf terus meningkat. Berturut-turut menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al Azhar Al Syarif, da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 juli 1971 M, dan menjadi wakil kementrian waqah urusan dakwah Islam pada tanggal 8 Maret 1981 M.[1]
Al Ghazali menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al Bana, salah seorang dari Rasyid Ridho, sedang syaikh Rasyid Ridho murid dari Muhamad Abduh, dan beliau adalah salah satu murid dari Jamaluddin Al Afghani. Awal mula interaksi Al Ghazali dengan Imam Hasan Al Bana dikisahkan oleh ustadz Muhamad Majdzub dalam bukunya “Ulama’ wa Al Mufakirin”, ustadz Majdzub mengutip ucapan Al Ghazali “ permulaan perkenalan itu saat saya masih dalam belajar disekolah tingkat menengah (SMU) Iskandariyah, saat itu saya punya kebiasaan menetap di masjid Abdul rahman bin Harmuz, daerah Ra’sut. Selepas melakukan shalat magrib berjama’ah saya punya kebiasaan mengulang mata pelajaran saya di sana, pada saat itu pula saya mendengarkan Hasan Al Bana sedang berceramah. Ia menjelaskan pesan singkan dalam ceramahnya yakni:...”bertaqwalah kepada Allah dimana saja, ikutilah setiap perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, tentu perbuatan buruk itu akan terhapuskan oleh perbuatan baik tersebut...” dari penjelasan itu, saya sangat terkesan dan masuk dalam hati saya yang paling dalam. Setelah penjelasan itu, hatiku langsuung tertampat kepadanya. Dan saya langsung menemuinya dan ingin memperdalam ilmu dengannya”. Dari kejadian inilah Al Ghazali mulai dekat dengan Hasan AL Bana.[2]
 Al Ghazali bergabung pada proyek pemikiran pembaharuan ditengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran pembaharuan Madrasah Al Ra’i (Aliran pemikiran logika) dan Atsar (warisan tekstual) serta perimbangan pada keduanya, sebagaimana metode madrasah Ibnu Taimiyah. Hal itu terjadi karena ia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar atau dalil dan menganggap akal adalah asal dari naql (Nash), yakni mengedepankan Al Qur’an daripada Sunnah dan menjadikan isyarat Al Qur’an lebih utama daripada Hadits Atsar, menolak konsep Naskh Mansukh. Ia memandang bahwa bermadzhab memang terkadang bermanfaat dan akan tetapi bukan menjadi sebuah keharusan. Dengan begitu ia mengingkari bertaklid kepada Madzhab akan tetapi tetap menghormati para Imam, dia beraktivitas demi tersebarnya Islam diseluruh dunia dengan akidah dan nilai-nilai asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab klasik maupun modern.[3]
Muhamad Al Ghazali juga pernah mengalami cobaan dan cercaan yang menimpa organisasi Ikhwanul Muslimin dan ditahan dipenjara Al Thur di dataran tinggi Sinai tahun 1949 M. Kemudian dipenjara ditahanan Thurah selama kurang dari satu tahun pada waktu pemeriksaan bersama AsSyahid Sayid Qutb yang Syahid pada tahun 1965.
Ketika ia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jama’ah masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974 M, beliau dan Syaikh Muhamad Abu Zahrah melakukan perubahan undang-undang Al Akhwal  Al Shakhsiah (undang-undang pernikahan, perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga). Beliau berpandangan bahwa problem negara Mesir terletak pada ketidak mampuan generasi muda untuk menaggung beban (biaya) pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalkannya dari memberi ceramah di Universitas Amr Ibn Al Asha kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan jabatan  (pimpinan uum dakwah) yang sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan disebuah rumah yang hanya beralaskan tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, disamping masjid salahudin di Kairo, maka dia duduk diatas tikar sibuk mengarang.[4] 
Dalam aktivitasnya mengarang buku, Al Ghazali mewariskan enam puluh buku atau lebih dalam berbaga tema, berikut diantara hasil karya beliau:[5]
1.   Al Islam wa Al Auda’ul Iqshadiyah
2.   Al Islam wa Manhajul Istirakiyah
3.   Minhuna Na’lam
4.   Al Islam Wa Istibdadus Siyasi
5.   Aqidah Muslim
6.   Fiqhu Sirah
7.   Zhalamun Min Al Gharab
8.   Qadzaiful Khaq
9.   Hashadul Ghurur
10.  Jaddid Hayatak
11.  Al Haqqul Murr
12.  Rakaizul Iman Bainal Aqli wa Al Qalb
13.  Huquql insan baina Ta’alamil Insan wa I’lanil Umamil Mutaqodimah
14.  At ta’asub wa Tasamuh bainal Masihiyah wa Islam
15.  Jihadud da’wah baina ‘Ajzid Fakil wa kaidil Kharij
16.  Dusturul Wihdadits Tsaqafiyah lil Muslim
17.  As Sunan Nabawiyah baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits
18.  Min Khunusis Sunah
19.  Nahwu Tafsirin Maudhu’il Suwaril Qur’anil Karim
20.  Dhifa’ul anil Aqidati wa Syari’at Dhiddu matha’inil Mustasriqin
Dan masih banyak lagi karya beliau yang belum kami ngkapkan semuanya, karena dalam sebuah literatur lain, ada yang mengatakan bahwa keseluruhan dari karya Syaikh Muhamad Al Ghazali kurang lebih ada limapuluh lima buku yang telah resmi diterbitkan.
Sebagian karya atau buku-buku beliau telah duterbitkan bahkan telah diterjemahkan kedalam berbagai bahasa, diantaranya: bahasa Inggris, bahasa Turki, bahasa Prancis, Bahasa Urdu, bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Dan mayoritas penerjemah adalah muridnya dan para pengagum dari pemikiran Muhamad Al Ghazali.[6]
Singkat cerita, Syaikh Muhamad Al Ghazali wafat di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 9 Maret 1996. Jenazahnya dipindah ke Madinah Al Munawaroh untuk dimakamkan di Baqi’. Dan yang mulia Amir Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud memiliki peran penting dalam memberikan penghargaan kepada Al Ghazali, baik masih hidup maupun sudah meninggal. Ia juga selalu memberikan bantuan kepada keluarganya.
B.  Pemikiran M. Al Ghazali Terhadap Hadits
Al Ghazali merupakan pengusung kebebasan berfikir islami dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara dasar-dasar Islam yang terjaga kebenarannya dan pemikiran Islam yang tidak terjaga kebenarannya. Dia menolak bahwa anggapan orang-orang terdahulu tidak meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. “Islam membentuk imam dan Mujtahid”. Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang sumber Islam terjada dari sumber-sumber kesalahan karena berasal dari Allah. Sedangkan pemikiran, ijtihad dan lain sebagainya itu ridak terjaga karena bukan datang dari Allah, melainkan bersumber dari akal manusia itu sendiri. Ulama’ terdahulu memberikan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fiqih Islam dengan harapan agar generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, merujuk, menimbang dan memilih.
Beliau juga mendorong memahami dasar ajaran Islam yang pertama adalah Al Qur’an, dengan cara merenungi seluruh kandungan isi Al Qur’an. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Taghut. Disamping itu, ia juga mendorong untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang tersebar dalam diri manusia dan alam. Yang kita memikirkannya akan menjadi tinggi sendi-sendi Agama dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong dan memahami cerita-cerita Qur’ani sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan Agama, memahami berita-berita alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta peranannya dalam membangun akhlaq, mendidik dan merayu pada kebaikan dunia yang dibangun sebagi bekal di hari akhirat(qiyamat).
Selain Al Qur’an beliau juga mempertahankan Sunah Rasul, dalam kitabnya ia mengatakan “tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami dan menafsirkan Al Qur’an dan merealisasikan tujuan pesan-pesan yang terkandung didalamnya, sebagimana tidak ada fikih kecuali dengan sunah dan tidak ada sunah tanpa fikih. Hukum Agama tidak dapat dipahami dari mengambil satu hadits saja dan menghiraukan Bunyi hadits yang lain, namun harus dengan cara mengumpulkan hadits dan dibandingkan dengan hadits yang lain kemudian bila perlu harus dibandingkan lagi dengan kandungan isi Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an adalah bingkai dari semua hadits-hadits yang telah ada, bahkan tidak berseberangan dengan hukum-hukum yang ada didalamnya. Hukum-hukum yang ada dalam hadits sahih diambil dan diperas dari Al Qur’an, rasul mengambil hukum tersebut dengan bimbingan illahi, dan mendapatkan ilham dari apa yang bersifat global dalam Al Qur’an.[7]
Pada tahun 1989. Syaikh M. Al Ghazali menerbitka sebuah karya buku yang berjudul “The Sunna or Tha Prophet: Betwen The Legist an the Tardisionist” buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam bukunya Al Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam otoritas religius, seprti antara hubungan Al Qur’an dengan As Sunah. Bagaimana posisi Hadits Nabi sebagai sumber hukum  Islam dan bagaimana metode kritik Hadits. Polemik itu terutama disebabkan oleh Hadits-hadits Shahih yang dipertanyakan kembali oleh M. Al Ghazali karena dianggap kontradiksi dengan ajaran Al Qur’an, kebenran ilmiah maupun dari sisi historis.
Posisi Al Ghazali secara substasional sama dengan posisi yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya tentang Sunah juga tidak ekstrim. Al Ghazali mengidealkan “penyucian Hadits dari noda pemalsuan” dengan memperbaiki ketidakseimbangan bagaimana kritik Hadits dipahami secara benar. Al Ghazali menandaskan bahwa meniru perilaku dari Nabi adalah satu satunya jalan untuk mendapatkan ridho dari Allah.[8]
Maka dari itu, untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali mengungkapkan  Hadits shahih yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.   Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.   Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun, Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli tersebut.[9]
Atas dasar itulah, Al Ghazali menawarkan empat metode pemahaman Hadits atau prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui ketika hendak berinteraksi dengan Sunnah supaya dihasilkan sesuai dengan ajaran Agama, diantara dari ke empat itu adalah:
1.   Pengujian dengan Al Qur’an 
   M. Al Ghazali mengecam keras orang-orang yang memahami tekstual Hadits Shahis sanadnya, namun matannya bertentangan dengan Al Qur’an. Pemikiran tersebut dilatar belakangi adanya keyakinan bahwa otoritas Al Qur’an berada satu level diatas otentitas Hadits. Al Qur’an menurut Al Ghazali adalah sumber utama dan pertama, sementara Hadits adalah sumber kedua. Dalam memahami Al Qur’an, Hadits sangat penting karena Hadits adalah penjelas teoritis dan praktis dari Al Qur’an. Oleh karena itu, sebelum melakukan kajian tentang matan Hadits, perlu upaya secara intensif memahami Al Qur’an.
Penerapan kritik Hadits dengan pengujian Al Qur’an diarahkan secara konsisten oleh M. Al Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit Hadits yang dianggap Shahih misalnya, yang termuat dalam Shahih Bukari maupun kitab induk Hadits yang lain, dianggap Dha’if oleh Al Ghazali. Bahkan dengan tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslakhatan dan muamalah duniawiyah akan mengantarkan Hadits yang sanadnya Dha’if, bila kandungannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Al Qur’an, daripada Hadits yang sanadnya Shahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dari inti ajaran-ajaran Al Qur’an.[10]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali memberikan contoh Hadits yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim (Mutafaq Alaih) yang berkaitan dengan mayat akan  disiksa karena tangisan keluarganya, berbunyi:
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ.[11]
Menurut Al Ghazali, walaupun Hadits ini secara sanad diakui keotentikannya, namun pada realitanya, Hadits ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an QS: Al An’am 164:
وَلَا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa tidak ada sangkut pautnya antara amal manusia yang satu dengan yang lain. Jadi, Hadits seperti ini, sangat dianggap tidak sesuai dengan pesan Al Qur’an, menurut Al Ghazali. Dan masih banyak lagi, Hadits yang berlawanan dengan Al Qur’an.

2.   Pengujian dengan Hadits lain
Pengujian ini memiliki bahwa matan Hadits yang dijadikan dasar argumen tidak bertentangan dengan Hadits Mutawatir dengan Hadits lainnya yang lebih shahih. Menurut M. Al Ghazali hukum yang berdasarkan Agama tidak boleh diambil hanya dari sebuah Hadits yang terpisah dengan Hadits lainnya, tetapi setiap Hadits harus dikaitkan dengan Hadits lainnya, kemudian Hadits-hadits yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang di tunjukkan oleh Al Qur’an.
Dalam pencontohan Hadits yang dipadukan dengan Hadits yang lain, kita dapat melihat Hadits-Hadits mukhtalif, maka dari itu dengan model tarjih, atau jam’u atau bahkan nasakh mansukh kita akan dapat mengamalkan sunah Rasul dengan benar.

3.      Pengujian Dengan Fakta Historis
Suatu yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Hadits muncul dan berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhamad hidup, oleh karena itu Hadits dan sejarah memiliki hubungan yang sinergis yang saling menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan Hadits dan fakta sejarah akan menjadikan Hadits memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula sebaliknya, bila terjadi antara Hadits dan sejarah maka salah satu diantara keduanya akan diragukan.

4.      Pengujian Dengan Fakta Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan matan Hadits tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak asasi manusia. oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika Hadits Nabi mengabaika rasa keadilan. Menurut Al Ghazali, bagaimanapun shahihnya sanad sebuah Hadits, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia, maka Hadits tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al Ghazali dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru, Al Ghazali sendiri mengakui, bahwa apa yang menjadi ungkapannya sudah pernah dinyatakan oleh ulama’ terdahulu. Karena menurutnya, yang penting dari semua itu adalah bagaimana mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai Hadits Nabi.[12]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali dalam hal ini, memberikan contoh Hadits yang termaktub dalam Shahih Muslim, disana dikatakan bahwa salah satu hal yang menyebabkan shalat seseorang menjadi batal apabila terlewati perempuan :
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ[13]
Dalam memahami teks Hadits ini, menurut Al Ghazali Hadits semacam ini tidak tepat dengan prinsip islam yang menjunjung keadilan, bahkan seakan-akan Hadits ini memojokan terhadap kaum perempuan yang disetarakan dengan khimar.






















BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
  M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali mengungkapkan  Hadits shahih yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.      Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.      Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun, Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan dari berbagai ahli tersebut.
Menurut Al Ghazali, dalam memahami Hadits yang benar agar tidak terjadi kesalahan harus menempuh empat tahapan yakni: membandingkan dengan Al Qur’an, Hadits, Historis dan keilmiahan.


B.   Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pemikiran M. Al Ghazali.























DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Muhamad, 1993, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.

Al Bukhari , Muhamad Bin Isma’il, 1987, Jami’ Ash Shahih, Mesir: Dar Al Sa’b.

Al Ghazali, Muhamad, 1998, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, Bandung: Mizan.

Muslim, Abu Husain, Shahih Muslim, Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah.

M. Al Ghazali, 1993, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.

Suryadi, 1998, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”,Bandung: Mizan.

siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.

http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.

siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.

http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.


[1]Sumber: siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret, pukul 12.00
[2] Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[3] Muhamad Al Ghazali, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
[4] Sumber: siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret, pukul 12.00
[5] Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[6] Ibid.
[7] M. Al Ghazali, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
[9] Suryadi, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 20
[10] Ibid, hlm. 29
[11] Muhamad Bin Isma’il Al Bukhari, Jami’ Ash Shahih, (Mesir: Dar Al Sa’b, 1987), hlm. 102
[12] Muahamad Al Ghazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 30
[13] Abu Husain Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah), hlm. 59, Juz 2logspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret, pukul 12.00
[5] Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[6] Ibid.
[7] M. Al Ghazali, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
[9] Suryadi, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 20
[10] Ibid, hlm. 29
[11] Muhamad Bin Isma’il Al Bukhari, Jami’ Ash Shahih, (Mesir: Dar Al Sa’b, 1987), hlm. 102
[12] Muahamad Al Ghazali, Studi Kritis Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 30
[13] Abu Husain Muslim, Shahih Muslim, (Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah), hlm. 59, Juz 2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar