MAKALAH
PEMIKIRAN M. AL GHAZALI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HADITS KONTEKSTUAL”
Dosen Pembimbing :
H. M. Rozi Indrafuddin, Lc, M.Fil.I
Disusun Oleh :
Baru Muhamad
Yusuf
NIM: 283112305
Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan
: Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester
: VI (enam)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
MARET 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para
pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya
sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong
orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil
qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN M. AL GHAZALI” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Bpk Rozi Indrafuddin . Sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan
dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT
teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini
orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru,
yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap
suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para pembaharu
Islam, mereka muncul karena merasa bahwa persoalan Islam semakin kompleks,
pemahaman klasik sudah dirasa kurang dapat menjawab permasalahan yang sedang
terjadi dilapangan. Maka mereka muncul guna memberikan pencerahan kepada umat
Muslim agar mau berkembang, dan sadar akan misi utama dari ajaran Islam yakni “Shalihun
lii kulli zaman wa shalihun lii kulli makan”.
Sebagai
insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits
untuk berkecimpung dan mendalami ‘peran pemikiran’ dalam ranah hadits.
Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri.
Bahkan ia sudah menjadi objek kajian yang mendunia.
Salah satu pembaharu yang berkecimpung dalam hal ini adalah M. Al Ghazali, merupakan salah seorang ulama’ fiqih yang mengusung pembaharuan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan
pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi
meliputi:
1.
Bagaimana
biografi M. Al Ghazali?
2.
Bagaimana
pemikiran M. Al
Ghazali terhadap Hadits?
C.Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu
untuk mengetahui dan memahami:
1.
Untuk
menjelaskan bagaimana biografi M. Al Ghazali.
2.
Untuk
menjelaskan bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi M. Al Ghazali
Syaikh M. Al Ghazali Al siqaa, lahir
dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud
propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H
atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al
Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad
Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh
karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal
Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama
yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah
pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah
Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
Tahun 1937 M, beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi jurusan
Ushuludin di Kairo. Disana beliau menuntut ilmu dari beberapa Ulama’ besar
diantaranya: Muhamad Syaltut, Abdul Adzim Al Zarqani, Hasan Al Bana dan
lain-lain. Lulus dari jurusan Ushuludin dan mendapat gelar sarjana pada tahun
1941 M. Dan pada tahun inilah ia menjalin hubungan dekat dengan Mursyd ‘am
Ihwanul Muslimin Hasan Al Bana (1324- 1368 H) dan pada akhirnya ia menjadi
anggota Ikhwanul Muslimin.
Dalam jaringan ini, ia langsung
bergerak menjadi salah satu anggota terdepan dalam rangka dakwah mensiarkan
faham Islam. Dua tahun setelah ia mendapatkan gelar sarjana, ia langsung
menjadi Imam sekaligus Khatib di masji Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah
dan kementrian Agama dalam bidang wakaf terus meningkat. Berturut-turut
menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al Azhar Al
Syarif, da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 juli
1971 M, dan menjadi wakil kementrian waqah urusan dakwah Islam pada tanggal 8
Maret 1981 M.[1]
Al Ghazali menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al Bana, salah seorang dari
Rasyid Ridho, sedang syaikh Rasyid Ridho murid dari Muhamad Abduh, dan beliau
adalah salah satu murid dari Jamaluddin Al Afghani. Awal mula interaksi Al
Ghazali dengan Imam Hasan Al Bana dikisahkan oleh ustadz Muhamad Majdzub dalam
bukunya “Ulama’ wa Al Mufakirin”, ustadz Majdzub mengutip ucapan Al
Ghazali “ permulaan perkenalan itu saat saya masih dalam belajar disekolah
tingkat menengah (SMU) Iskandariyah, saat itu saya punya kebiasaan menetap di
masjid Abdul rahman bin Harmuz, daerah Ra’sut. Selepas melakukan shalat magrib
berjama’ah saya punya kebiasaan mengulang mata pelajaran saya di sana, pada
saat itu pula saya mendengarkan Hasan Al Bana sedang berceramah. Ia menjelaskan
pesan singkan dalam ceramahnya yakni:...”bertaqwalah kepada Allah dimana saja,
ikutilah setiap perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, tentu perbuatan
buruk itu akan terhapuskan oleh perbuatan baik tersebut...” dari penjelasan
itu, saya sangat terkesan dan masuk dalam hati saya yang paling dalam. Setelah
penjelasan itu, hatiku langsuung tertampat kepadanya. Dan saya langsung
menemuinya dan ingin memperdalam ilmu dengannya”. Dari kejadian inilah Al
Ghazali mulai dekat dengan Hasan AL Bana.[2]
Al Ghazali bergabung pada proyek pemikiran
pembaharuan ditengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran
pembaharuan Madrasah Al Ra’i (Aliran pemikiran logika) dan Atsar (warisan
tekstual) serta perimbangan pada keduanya, sebagaimana metode madrasah Ibnu
Taimiyah. Hal itu terjadi karena ia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar
atau dalil dan menganggap akal adalah asal dari naql (Nash), yakni
mengedepankan Al Qur’an daripada Sunnah dan menjadikan isyarat Al Qur’an lebih
utama daripada Hadits Atsar, menolak konsep Naskh Mansukh. Ia memandang bahwa
bermadzhab memang terkadang bermanfaat dan akan tetapi bukan menjadi sebuah
keharusan. Dengan begitu ia mengingkari bertaklid kepada Madzhab akan tetapi
tetap menghormati para Imam, dia beraktivitas demi tersebarnya Islam diseluruh
dunia dengan akidah dan nilai-nilai asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan
kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab klasik maupun modern.[3]
Muhamad Al Ghazali juga pernah mengalami cobaan dan cercaan yang menimpa
organisasi Ikhwanul Muslimin dan ditahan dipenjara Al Thur di dataran tinggi
Sinai tahun 1949 M. Kemudian dipenjara ditahanan Thurah selama kurang dari satu
tahun pada waktu pemeriksaan bersama AsSyahid Sayid Qutb yang Syahid pada tahun
1965.
Ketika ia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan
pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jama’ah
masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974 M, beliau dan Syaikh Muhamad Abu
Zahrah melakukan perubahan undang-undang Al Akhwal Al Shakhsiah (undang-undang pernikahan,
perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga). Beliau berpandangan bahwa
problem negara Mesir terletak pada ketidak mampuan generasi muda untuk menaggung
beban (biaya) pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan
bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalkannya dari memberi ceramah di
Universitas Amr Ibn Al Asha kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan
jabatan (pimpinan uum dakwah) yang
sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan disebuah rumah yang hanya
beralaskan tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, disamping masjid salahudin
di Kairo, maka dia duduk diatas tikar sibuk mengarang.[4]
Dalam aktivitasnya mengarang buku, Al Ghazali mewariskan enam puluh buku
atau lebih dalam berbaga tema, berikut diantara hasil karya beliau:[5]
1. Al
Islam wa Al Auda’ul Iqshadiyah
2. Al
Islam wa Manhajul Istirakiyah
3. Minhuna
Na’lam
4. Al
Islam Wa Istibdadus Siyasi
5. Aqidah
Muslim
6. Fiqhu
Sirah
7. Zhalamun
Min Al Gharab
8. Qadzaiful
Khaq
9. Hashadul
Ghurur
10. Jaddid
Hayatak
11. Al
Haqqul Murr
12. Rakaizul
Iman Bainal Aqli wa Al Qalb
13. Huquql
insan baina Ta’alamil Insan wa I’lanil Umamil Mutaqodimah
14. At
ta’asub wa Tasamuh bainal Masihiyah wa Islam
15. Jihadud
da’wah baina ‘Ajzid Fakil wa kaidil Kharij
16. Dusturul
Wihdadits Tsaqafiyah lil Muslim
17. As
Sunan Nabawiyah baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits
18. Min
Khunusis Sunah
19. Nahwu
Tafsirin Maudhu’il Suwaril Qur’anil Karim
20. Dhifa’ul
anil Aqidati wa Syari’at Dhiddu matha’inil Mustasriqin
Dan
masih banyak lagi karya beliau yang belum kami ngkapkan semuanya, karena dalam
sebuah literatur lain, ada yang mengatakan
bahwa keseluruhan dari karya Syaikh Muhamad Al Ghazali kurang lebih ada
limapuluh lima buku yang telah resmi diterbitkan.
Sebagian
karya atau buku-buku beliau telah duterbitkan bahkan telah diterjemahkan
kedalam berbagai bahasa, diantaranya: bahasa Inggris, bahasa Turki, bahasa
Prancis, Bahasa Urdu, bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Dan mayoritas
penerjemah adalah muridnya dan para pengagum dari pemikiran Muhamad Al Ghazali.[6]
Singkat
cerita, Syaikh Muhamad Al Ghazali wafat di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 9
Maret 1996. Jenazahnya dipindah ke Madinah Al Munawaroh untuk dimakamkan di
Baqi’. Dan yang mulia Amir Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud memiliki peran
penting dalam memberikan penghargaan kepada Al Ghazali, baik masih hidup maupun
sudah meninggal. Ia juga selalu memberikan bantuan kepada keluarganya.
B. Pemikiran M. Al Ghazali Terhadap Hadits
Al Ghazali merupakan pengusung kebebasan berfikir islami
dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara
dasar-dasar Islam yang terjaga kebenarannya dan pemikiran Islam yang tidak
terjaga kebenarannya. Dia menolak bahwa anggapan orang-orang terdahulu tidak
meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. “Islam
membentuk imam dan Mujtahid”. Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang
sumber Islam terjada dari sumber-sumber kesalahan karena berasal dari Allah.
Sedangkan pemikiran, ijtihad dan lain sebagainya itu ridak terjaga karena bukan
datang dari Allah, melainkan bersumber dari akal manusia itu sendiri. Ulama’
terdahulu memberikan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fiqih Islam dengan
harapan agar generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, merujuk, menimbang
dan memilih.
Beliau juga mendorong memahami dasar ajaran Islam yang
pertama adalah Al Qur’an, dengan cara merenungi seluruh kandungan isi Al
Qur’an. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan
kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Taghut. Disamping itu, ia
juga mendorong untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang tersebar dalam diri
manusia dan alam. Yang kita memikirkannya akan menjadi tinggi sendi-sendi Agama
dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong dan memahami cerita-cerita Qur’ani
sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan Agama, memahami
berita-berita alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta peranannya
dalam membangun akhlaq, mendidik dan merayu pada kebaikan dunia yang dibangun
sebagi bekal di hari akhirat(qiyamat).
Selain Al Qur’an beliau juga mempertahankan Sunah Rasul,
dalam kitabnya ia mengatakan “tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami
dan menafsirkan Al Qur’an dan merealisasikan tujuan pesan-pesan yang terkandung
didalamnya, sebagimana tidak ada fikih kecuali dengan sunah dan tidak ada sunah
tanpa fikih. Hukum Agama tidak dapat dipahami dari mengambil satu hadits saja
dan menghiraukan Bunyi hadits yang lain, namun harus dengan cara mengumpulkan hadits
dan dibandingkan dengan hadits yang lain kemudian bila perlu harus dibandingkan
lagi dengan kandungan isi Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an adalah bingkai dari
semua hadits-hadits yang telah ada, bahkan tidak berseberangan dengan
hukum-hukum yang ada didalamnya. Hukum-hukum yang ada dalam hadits sahih
diambil dan diperas dari Al Qur’an, rasul mengambil hukum tersebut dengan
bimbingan illahi, dan mendapatkan ilham dari apa yang bersifat global dalam Al
Qur’an.[7]
Pada tahun 1989. Syaikh M. Al Ghazali menerbitka sebuah
karya buku yang berjudul “The Sunna or Tha Prophet: Betwen The Legist an the
Tardisionist” buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam
bukunya Al Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam otoritas religius,
seprti antara hubungan Al Qur’an dengan As Sunah. Bagaimana posisi Hadits Nabi
sebagai sumber hukum Islam dan bagaimana
metode kritik Hadits. Polemik itu terutama disebabkan oleh Hadits-hadits Shahih
yang dipertanyakan kembali oleh M. Al Ghazali karena dianggap kontradiksi
dengan ajaran Al Qur’an, kebenran ilmiah maupun dari sisi historis.
Posisi Al Ghazali secara substasional sama dengan posisi
yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya tentang Sunah juga tidak
ekstrim. Al Ghazali mengidealkan “penyucian Hadits dari noda pemalsuan”
dengan memperbaiki ketidakseimbangan bagaimana kritik Hadits dipahami secara
benar. Al Ghazali menandaskan bahwa meniru perilaku dari Nabi adalah satu
satunya jalan untuk mendapatkan ridho dari Allah.[8]
Maka dari itu, untuk mencapai nilai ridho disisi Allah,
Al Ghazali mengungkapkan Hadits shahih
yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1. Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat
dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu
Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2. Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak
syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui
oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan
kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun,
Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits
yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan
dari berbagai ahli tersebut.[9]
Atas dasar itulah, Al Ghazali menawarkan empat metode
pemahaman Hadits atau prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui ketika hendak
berinteraksi dengan Sunnah supaya dihasilkan sesuai dengan ajaran Agama,
diantara dari ke empat itu adalah:
1. Pengujian dengan Al Qur’an
M. Al Ghazali
mengecam keras orang-orang yang memahami tekstual Hadits Shahis sanadnya, namun
matannya bertentangan dengan Al Qur’an. Pemikiran tersebut dilatar belakangi
adanya keyakinan bahwa otoritas Al Qur’an berada satu level diatas otentitas
Hadits. Al Qur’an menurut Al Ghazali adalah sumber utama dan pertama, sementara
Hadits adalah sumber kedua. Dalam memahami Al Qur’an, Hadits sangat penting
karena Hadits adalah penjelas teoritis dan praktis dari Al Qur’an. Oleh karena
itu, sebelum melakukan kajian tentang matan Hadits, perlu upaya secara intensif
memahami Al Qur’an.
Penerapan kritik Hadits dengan pengujian Al Qur’an
diarahkan secara konsisten oleh M. Al Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit
Hadits yang dianggap Shahih misalnya, yang termuat dalam Shahih Bukari maupun
kitab induk Hadits yang lain, dianggap Dha’if oleh Al Ghazali. Bahkan dengan
tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslakhatan dan
muamalah duniawiyah akan mengantarkan Hadits yang sanadnya Dha’if, bila
kandungannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Al Qur’an, daripada Hadits
yang sanadnya Shahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dari inti
ajaran-ajaran Al Qur’an.[10]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali memberikan contoh Hadits yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim (Mutafaq Alaih) yang berkaitan dengan mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya, berbunyi:
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي
قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ.[11]
Menurut Al
Ghazali, walaupun Hadits ini secara sanad diakui keotentikannya, namun pada
realitanya, Hadits ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an QS: Al An’am 164:
وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa tidak
ada sangkut pautnya antara amal manusia yang satu dengan yang lain. Jadi,
Hadits seperti ini, sangat dianggap tidak sesuai dengan pesan Al Qur’an,
menurut Al Ghazali. Dan masih banyak lagi, Hadits yang berlawanan dengan Al
Qur’an.
2. Pengujian dengan Hadits lain
Pengujian ini memiliki bahwa matan Hadits yang dijadikan
dasar argumen tidak bertentangan dengan Hadits Mutawatir dengan Hadits lainnya
yang lebih shahih. Menurut M. Al Ghazali hukum yang berdasarkan Agama tidak
boleh diambil hanya dari sebuah Hadits yang terpisah dengan Hadits lainnya,
tetapi setiap Hadits harus dikaitkan dengan Hadits lainnya, kemudian
Hadits-hadits yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang di tunjukkan
oleh Al Qur’an.
Dalam pencontohan Hadits yang dipadukan dengan Hadits
yang lain, kita dapat melihat Hadits-Hadits mukhtalif, maka dari itu dengan
model tarjih, atau jam’u atau bahkan nasakh mansukh kita akan dapat mengamalkan
sunah Rasul dengan benar.
3.
Pengujian Dengan Fakta Historis
Suatu yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Hadits muncul dan
berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhamad hidup, oleh
karena itu Hadits dan sejarah memiliki hubungan yang sinergis yang saling
menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan Hadits dan fakta sejarah akan
menjadikan Hadits memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula
sebaliknya, bila terjadi antara Hadits dan sejarah maka salah satu diantara
keduanya akan diragukan.
4.
Pengujian Dengan Fakta Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan
matan Hadits tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau
penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia. oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika Hadits Nabi
mengabaika rasa keadilan. Menurut Al Ghazali, bagaimanapun shahihnya sanad
sebuah Hadits, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak
asasi manusia, maka Hadits tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al Ghazali
dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru, Al Ghazali sendiri mengakui,
bahwa apa yang menjadi ungkapannya sudah pernah dinyatakan oleh ulama’
terdahulu. Karena menurutnya, yang penting dari semua itu adalah bagaimana
mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai Hadits Nabi.[12]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali dalam hal ini, memberikan contoh Hadits yang
termaktub dalam Shahih Muslim, disana dikatakan bahwa salah satu hal yang
menyebabkan shalat seseorang menjadi batal apabila terlewati perempuan :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى
فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ
صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ”[13]
Dalam memahami teks Hadits ini, menurut Al
Ghazali Hadits semacam ini tidak tepat dengan prinsip islam yang menjunjung
keadilan, bahkan seakan-akan Hadits ini memojokan terhadap kaum perempuan yang
disetarakan dengan khimar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan
tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi
Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22
september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali
dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al
Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh
karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal
Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama
yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah
pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah
Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali
mengungkapkan Hadits shahih yang
meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.
Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni
periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat
dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.
Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan
harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang
diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits
tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan
kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun,
Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits
yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan
dari berbagai ahli tersebut.
Menurut Al Ghazali, dalam memahami Hadits yang benar agar
tidak terjadi kesalahan harus menempuh empat tahapan yakni: membandingkan
dengan Al Qur’an, Hadits, Historis dan keilmiahan.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan
semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi
tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak
hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar
bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pemikiran M. Al Ghazali.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Muhamad, 1993, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al
Muslimin terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.
Al Bukhari , Muhamad Bin Isma’il, 1987, Jami’ Ash Shahih, Mesir: Dar
Al Sa’b.
Al Ghazali, Muhamad, 1998, Studi Kritis Atas Hadits
Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, Bandung:
Mizan.
Muslim, Abu Husain, Shahih Muslim, Beirut: Al Aufak jadidah,
Maktabah Tsamilah.
M. Al Ghazali, 1993, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits
terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.
Suryadi, 1998, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al
Ghazali dan Yusuf Qordawi”,Bandung: Mizan.
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.
http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.
http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.
[1]Sumber:
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret,
pukul 12.00
[2]
Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali,
diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[3]
Muhamad Al Ghazali, Dustur Al
Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al
Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
PEMIKIRAN M. AL GHAZALI
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HADITS KONTEKSTUAL”
Dosen Pembimbing :
H. M. Rozi Indrafuddin, Lc, M.Fil.I
Disusun Oleh :
Baru Muhamad
Yusuf
NIM: 283112305
Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan
: Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester
: VI (enam)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
MARET 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para
pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya
sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong
orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil
qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN M. AL GHAZALI” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Bpk Rozi Indrafuddin . Sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan
dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT
teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini
orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru,
yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap
suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para pembaharu
Islam, mereka muncul karena merasa bahwa persoalan Islam semakin kompleks,
pemahaman klasik sudah dirasa kurang dapat menjawab permasalahan yang sedang
terjadi dilapangan. Maka mereka muncul guna memberikan pencerahan kepada umat
Muslim agar mau berkembang, dan sadar akan misi utama dari ajaran Islam yakni “Shalihun
lii kulli zaman wa shalihun lii kulli makan”.
Sebagai
insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits
untuk berkecimpung dan mendalami ‘peran pemikiran’ dalam ranah hadits.
Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri.
Bahkan ia sudah menjadi objek kajian yang mendunia.
Salah satu pembaharu yang berkecimpung dalam hal ini adalah M. Al Ghazali, merupakan salah seorang ulama’ fiqih yang mengusung pembaharuan. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan
pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi
meliputi:
1.
Bagaimana
biografi M. Al Ghazali?
2.
Bagaimana
pemikiran M. Al
Ghazali terhadap Hadits?
C.Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu
untuk mengetahui dan memahami:
1.
Untuk
menjelaskan bagaimana biografi M. Al Ghazali.
2.
Untuk
menjelaskan bagaimana pemikiran M. Al Ghazali terhadap Hadits.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi M. Al Ghazali
Syaikh M. Al Ghazali Al siqaa, lahir
dan tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud
propinsi Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H
atau 22 september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al
Ghazali dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad
Al Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh
karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal
Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama
yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah
pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah
Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
Tahun 1937 M, beliau melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi jurusan
Ushuludin di Kairo. Disana beliau menuntut ilmu dari beberapa Ulama’ besar
diantaranya: Muhamad Syaltut, Abdul Adzim Al Zarqani, Hasan Al Bana dan
lain-lain. Lulus dari jurusan Ushuludin dan mendapat gelar sarjana pada tahun
1941 M. Dan pada tahun inilah ia menjalin hubungan dekat dengan Mursyd ‘am
Ihwanul Muslimin Hasan Al Bana (1324- 1368 H) dan pada akhirnya ia menjadi
anggota Ikhwanul Muslimin.
Dalam jaringan ini, ia langsung
bergerak menjadi salah satu anggota terdepan dalam rangka dakwah mensiarkan
faham Islam. Dua tahun setelah ia mendapatkan gelar sarjana, ia langsung
menjadi Imam sekaligus Khatib di masji Kairo. Jabatannya dalam bidang dakwah
dan kementrian Agama dalam bidang wakaf terus meningkat. Berturut-turut
menjabat sebagai pimpinan pengawas masjid, penceramah di masjid Al Azhar Al
Syarif, da’i, direktur bidang dakwah dan penyuluhan Islam pada tanggal 2 juli
1971 M, dan menjadi wakil kementrian waqah urusan dakwah Islam pada tanggal 8
Maret 1981 M.[1]
Al Ghazali menuntut ilmu kepada Imam Hasan Al Bana, salah seorang dari
Rasyid Ridho, sedang syaikh Rasyid Ridho murid dari Muhamad Abduh, dan beliau
adalah salah satu murid dari Jamaluddin Al Afghani. Awal mula interaksi Al
Ghazali dengan Imam Hasan Al Bana dikisahkan oleh ustadz Muhamad Majdzub dalam
bukunya “Ulama’ wa Al Mufakirin”, ustadz Majdzub mengutip ucapan Al
Ghazali “ permulaan perkenalan itu saat saya masih dalam belajar disekolah
tingkat menengah (SMU) Iskandariyah, saat itu saya punya kebiasaan menetap di
masjid Abdul rahman bin Harmuz, daerah Ra’sut. Selepas melakukan shalat magrib
berjama’ah saya punya kebiasaan mengulang mata pelajaran saya di sana, pada
saat itu pula saya mendengarkan Hasan Al Bana sedang berceramah. Ia menjelaskan
pesan singkan dalam ceramahnya yakni:...”bertaqwalah kepada Allah dimana saja,
ikutilah setiap perbuatan buruk dengan perbuatan yang baik, tentu perbuatan
buruk itu akan terhapuskan oleh perbuatan baik tersebut...” dari penjelasan
itu, saya sangat terkesan dan masuk dalam hati saya yang paling dalam. Setelah
penjelasan itu, hatiku langsuung tertampat kepadanya. Dan saya langsung
menemuinya dan ingin memperdalam ilmu dengannya”. Dari kejadian inilah Al
Ghazali mulai dekat dengan Hasan AL Bana.[2]
Al Ghazali bergabung pada proyek pemikiran
pembaharuan ditengah pembahasannya tentang madrasah-madrasah pemikiran
pembaharuan Madrasah Al Ra’i (Aliran pemikiran logika) dan Atsar (warisan
tekstual) serta perimbangan pada keduanya, sebagaimana metode madrasah Ibnu
Taimiyah. Hal itu terjadi karena ia mengembangkan akalnya, menyebutkan dasar
atau dalil dan menganggap akal adalah asal dari naql (Nash), yakni
mengedepankan Al Qur’an daripada Sunnah dan menjadikan isyarat Al Qur’an lebih
utama daripada Hadits Atsar, menolak konsep Naskh Mansukh. Ia memandang bahwa
bermadzhab memang terkadang bermanfaat dan akan tetapi bukan menjadi sebuah
keharusan. Dengan begitu ia mengingkari bertaklid kepada Madzhab akan tetapi
tetap menghormati para Imam, dia beraktivitas demi tersebarnya Islam diseluruh
dunia dengan akidah dan nilai-nilai asasi. Dan tidak menghiraukan ungkapan
kelompok-kelompok dan madzhab-madzhab klasik maupun modern.[3]
Muhamad Al Ghazali juga pernah mengalami cobaan dan cercaan yang menimpa
organisasi Ikhwanul Muslimin dan ditahan dipenjara Al Thur di dataran tinggi
Sinai tahun 1949 M. Kemudian dipenjara ditahanan Thurah selama kurang dari satu
tahun pada waktu pemeriksaan bersama AsSyahid Sayid Qutb yang Syahid pada tahun
1965.
Ketika ia melontarkan kritikan terhadap negara, dia dihukum dengan
pembatasan kebebasannya, banyak terjadi demonstrasi yang dilakukan oleh jama’ah
masjid untuk mendukungnya. Pada tahun 1974 M, beliau dan Syaikh Muhamad Abu
Zahrah melakukan perubahan undang-undang Al Akhwal Al Shakhsiah (undang-undang pernikahan,
perceraian dan yang berkaitan dengan keluarga). Beliau berpandangan bahwa
problem negara Mesir terletak pada ketidak mampuan generasi muda untuk menaggung
beban (biaya) pernikahan, bukan terletak pada poligami, dan tidak ada kemampuan
bagi negara untuk menanganinya. Negara mencekalkannya dari memberi ceramah di
Universitas Amr Ibn Al Asha kemudian dipecat dari kegiatan dakwah bahkan
jabatan (pimpinan uum dakwah) yang
sebelumnya dihapus oleh pemerintah. Beliau ditahan disebuah rumah yang hanya
beralaskan tikar tanpa ada meja di kampung Sindarah, disamping masjid salahudin
di Kairo, maka dia duduk diatas tikar sibuk mengarang.[4]
Dalam aktivitasnya mengarang buku, Al Ghazali mewariskan enam puluh buku
atau lebih dalam berbaga tema, berikut diantara hasil karya beliau:[5]
1. Al
Islam wa Al Auda’ul Iqshadiyah
2. Al
Islam wa Manhajul Istirakiyah
3. Minhuna
Na’lam
4. Al
Islam Wa Istibdadus Siyasi
5. Aqidah
Muslim
6. Fiqhu
Sirah
7. Zhalamun
Min Al Gharab
8. Qadzaiful
Khaq
9. Hashadul
Ghurur
10. Jaddid
Hayatak
11. Al
Haqqul Murr
12. Rakaizul
Iman Bainal Aqli wa Al Qalb
13. Huquql
insan baina Ta’alamil Insan wa I’lanil Umamil Mutaqodimah
14. At
ta’asub wa Tasamuh bainal Masihiyah wa Islam
15. Jihadud
da’wah baina ‘Ajzid Fakil wa kaidil Kharij
16. Dusturul
Wihdadits Tsaqafiyah lil Muslim
17. As
Sunan Nabawiyah baina Ahli Fiqh wa Ahli Hadits
18. Min
Khunusis Sunah
19. Nahwu
Tafsirin Maudhu’il Suwaril Qur’anil Karim
20. Dhifa’ul
anil Aqidati wa Syari’at Dhiddu matha’inil Mustasriqin
Dan
masih banyak lagi karya beliau yang belum kami ngkapkan semuanya, karena dalam
sebuah literatur lain, ada yang mengatakan
bahwa keseluruhan dari karya Syaikh Muhamad Al Ghazali kurang lebih ada
limapuluh lima buku yang telah resmi diterbitkan.
Sebagian
karya atau buku-buku beliau telah duterbitkan bahkan telah diterjemahkan
kedalam berbagai bahasa, diantaranya: bahasa Inggris, bahasa Turki, bahasa
Prancis, Bahasa Urdu, bahasa Indonesia dan lain sebagainya. Dan mayoritas
penerjemah adalah muridnya dan para pengagum dari pemikiran Muhamad Al Ghazali.[6]
Singkat
cerita, Syaikh Muhamad Al Ghazali wafat di Riyadh, Arab Saudi pada tanggal 9
Maret 1996. Jenazahnya dipindah ke Madinah Al Munawaroh untuk dimakamkan di
Baqi’. Dan yang mulia Amir Abdullah bin Abdul Aziz Ali Sa’ud memiliki peran
penting dalam memberikan penghargaan kepada Al Ghazali, baik masih hidup maupun
sudah meninggal. Ia juga selalu memberikan bantuan kepada keluarganya.
B. Pemikiran M. Al Ghazali Terhadap Hadits
Al Ghazali merupakan pengusung kebebasan berfikir islami
dari kungkungan kejumudan dan taklid. Hal tersebut dapat membedakan antara
dasar-dasar Islam yang terjaga kebenarannya dan pemikiran Islam yang tidak
terjaga kebenarannya. Dia menolak bahwa anggapan orang-orang terdahulu tidak
meninggalkan bidang ijtihad pembaruan bagi generasi berikutnya. “Islam
membentuk imam dan Mujtahid”. Mereka tidak merumuskan dasar Islam, sedang
sumber Islam terjada dari sumber-sumber kesalahan karena berasal dari Allah.
Sedangkan pemikiran, ijtihad dan lain sebagainya itu ridak terjaga karena bukan
datang dari Allah, melainkan bersumber dari akal manusia itu sendiri. Ulama’
terdahulu memberikan penelitian dalam memberikan dasar-dasar Fiqih Islam dengan
harapan agar generasi berikutnya dapat lebih mampu menyusun, merujuk, menimbang
dan memilih.
Beliau juga mendorong memahami dasar ajaran Islam yang
pertama adalah Al Qur’an, dengan cara merenungi seluruh kandungan isi Al
Qur’an. Tauhid yang menjadi dasar eksistensi dan tatanan hidup, juga jalan
kemerdekaan dan kekuasaan manusia dari penyembahan Taghut. Disamping itu, ia
juga mendorong untuk memahami ayat-ayat kauniyah yang tersebar dalam diri
manusia dan alam. Yang kita memikirkannya akan menjadi tinggi sendi-sendi Agama
dan keimanan. Sebagaimana dia juga mendorong dan memahami cerita-cerita Qur’ani
sebagai perangkat pendidikan dan pengajaran atas keyakinan Agama, memahami
berita-berita alam ghaib, kebangkitan dan hari pembalasan, serta peranannya
dalam membangun akhlaq, mendidik dan merayu pada kebaikan dunia yang dibangun
sebagi bekal di hari akhirat(qiyamat).
Selain Al Qur’an beliau juga mempertahankan Sunah Rasul,
dalam kitabnya ia mengatakan “tegaknya Islam dapat dicapai dengan memahami
dan menafsirkan Al Qur’an dan merealisasikan tujuan pesan-pesan yang terkandung
didalamnya, sebagimana tidak ada fikih kecuali dengan sunah dan tidak ada sunah
tanpa fikih. Hukum Agama tidak dapat dipahami dari mengambil satu hadits saja
dan menghiraukan Bunyi hadits yang lain, namun harus dengan cara mengumpulkan hadits
dan dibandingkan dengan hadits yang lain kemudian bila perlu harus dibandingkan
lagi dengan kandungan isi Al Qur’an. Sesungguhnya Al Qur’an adalah bingkai dari
semua hadits-hadits yang telah ada, bahkan tidak berseberangan dengan
hukum-hukum yang ada didalamnya. Hukum-hukum yang ada dalam hadits sahih
diambil dan diperas dari Al Qur’an, rasul mengambil hukum tersebut dengan
bimbingan illahi, dan mendapatkan ilham dari apa yang bersifat global dalam Al
Qur’an.[7]
Pada tahun 1989. Syaikh M. Al Ghazali menerbitka sebuah
karya buku yang berjudul “The Sunna or Tha Prophet: Betwen The Legist an the
Tardisionist” buku ini menjadi fokus perhatian dan kontroversi. Dalam
bukunya Al Ghazali mengetengahkan banyak tema pokok dalam otoritas religius,
seprti antara hubungan Al Qur’an dengan As Sunah. Bagaimana posisi Hadits Nabi
sebagai sumber hukum Islam dan bagaimana
metode kritik Hadits. Polemik itu terutama disebabkan oleh Hadits-hadits Shahih
yang dipertanyakan kembali oleh M. Al Ghazali karena dianggap kontradiksi
dengan ajaran Al Qur’an, kebenran ilmiah maupun dari sisi historis.
Posisi Al Ghazali secara substasional sama dengan posisi
yang diperjuangkannya sepanjang karirnya. Pandangannya tentang Sunah juga tidak
ekstrim. Al Ghazali mengidealkan “penyucian Hadits dari noda pemalsuan”
dengan memperbaiki ketidakseimbangan bagaimana kritik Hadits dipahami secara
benar. Al Ghazali menandaskan bahwa meniru perilaku dari Nabi adalah satu
satunya jalan untuk mendapatkan ridho dari Allah.[8]
Maka dari itu, untuk mencapai nilai ridho disisi Allah,
Al Ghazali mengungkapkan Hadits shahih
yang meliputi lima kriteria Diantaranya:
1. Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni periwayat
dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat dalam satu
Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2. Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan harus tidak
syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang diketahui
oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan
kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun,
Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits
yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan
dari berbagai ahli tersebut.[9]
Atas dasar itulah, Al Ghazali menawarkan empat metode
pemahaman Hadits atau prinsip-prinsip dasar yang harus diketahui ketika hendak
berinteraksi dengan Sunnah supaya dihasilkan sesuai dengan ajaran Agama,
diantara dari ke empat itu adalah:
1. Pengujian dengan Al Qur’an
M. Al Ghazali
mengecam keras orang-orang yang memahami tekstual Hadits Shahis sanadnya, namun
matannya bertentangan dengan Al Qur’an. Pemikiran tersebut dilatar belakangi
adanya keyakinan bahwa otoritas Al Qur’an berada satu level diatas otentitas
Hadits. Al Qur’an menurut Al Ghazali adalah sumber utama dan pertama, sementara
Hadits adalah sumber kedua. Dalam memahami Al Qur’an, Hadits sangat penting
karena Hadits adalah penjelas teoritis dan praktis dari Al Qur’an. Oleh karena
itu, sebelum melakukan kajian tentang matan Hadits, perlu upaya secara intensif
memahami Al Qur’an.
Penerapan kritik Hadits dengan pengujian Al Qur’an
diarahkan secara konsisten oleh M. Al Ghazali. Oleh karena itu tidak sedikit
Hadits yang dianggap Shahih misalnya, yang termuat dalam Shahih Bukari maupun
kitab induk Hadits yang lain, dianggap Dha’if oleh Al Ghazali. Bahkan dengan
tegas menyatakan bahwa dalam hal-hal yang berkaitan dengan kemaslakhatan dan
muamalah duniawiyah akan mengantarkan Hadits yang sanadnya Dha’if, bila
kandungannya sesuai dengan prinsip-prinsip dasar Al Qur’an, daripada Hadits
yang sanadnya Shahih tapi kandungan matannya tidak sesuai dari inti
ajaran-ajaran Al Qur’an.[10]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali memberikan contoh Hadits yang diriwayatkan
Bukhari dan Muslim (Mutafaq Alaih) yang berkaitan dengan mayat akan disiksa karena tangisan keluarganya, berbunyi:
حَدَّثَنَا
عَبْدَانُ قَالَ : أَخْبَرَنِي أَبِي ، عَنْ شُعْبَةَ ، عَنْ قَتَادَةَ ، عَنْ
سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ ، عَنِ ابْنِ عُمَرَ ، عَنْ أَبِيهِ ، رَضِيَ اللَّهُ
عَنْهُمَا ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمَيِّتُ يُعَذَّبُ فِي
قَبْرِهِ بِمَا نِيحَ عَلَيْهِ.[11]
Menurut Al
Ghazali, walaupun Hadits ini secara sanad diakui keotentikannya, namun pada
realitanya, Hadits ini sangat bertentangan dengan Al Qur’an QS: Al An’am 164:
وَلَا
تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى ثُمَّ إِلَى رَبِّكُمْ مَرْجِعُكُمْ
فَيُنَبِّئُكُمْ بِمَا كُنْتُمْ فِيهِ تَخْتَلِفُون
Dalam ayat tersebut sudah jelas bahwa tidak
ada sangkut pautnya antara amal manusia yang satu dengan yang lain. Jadi,
Hadits seperti ini, sangat dianggap tidak sesuai dengan pesan Al Qur’an,
menurut Al Ghazali. Dan masih banyak lagi, Hadits yang berlawanan dengan Al
Qur’an.
2. Pengujian dengan Hadits lain
Pengujian ini memiliki bahwa matan Hadits yang dijadikan
dasar argumen tidak bertentangan dengan Hadits Mutawatir dengan Hadits lainnya
yang lebih shahih. Menurut M. Al Ghazali hukum yang berdasarkan Agama tidak
boleh diambil hanya dari sebuah Hadits yang terpisah dengan Hadits lainnya,
tetapi setiap Hadits harus dikaitkan dengan Hadits lainnya, kemudian
Hadits-hadits yang tersambung itu dikomparasikan dengan apa yang di tunjukkan
oleh Al Qur’an.
Dalam pencontohan Hadits yang dipadukan dengan Hadits
yang lain, kita dapat melihat Hadits-Hadits mukhtalif, maka dari itu dengan
model tarjih, atau jam’u atau bahkan nasakh mansukh kita akan dapat mengamalkan
sunah Rasul dengan benar.
3.
Pengujian Dengan Fakta Historis
Suatu yang tidak bisa dipungkiri, bahwa Hadits muncul dan
berkembang dalam keadaan tertentu, yaitu pada masa Nabi Muhamad hidup, oleh
karena itu Hadits dan sejarah memiliki hubungan yang sinergis yang saling
menguatkan satu sama lain. Adanya kecocokan Hadits dan fakta sejarah akan
menjadikan Hadits memiliki sandaran validitas yang kokoh. Demikian pula
sebaliknya, bila terjadi antara Hadits dan sejarah maka salah satu diantara
keduanya akan diragukan.
4.
Pengujian Dengan Fakta Ilmiah
Pengujian ini dapat diartikan bahwa setiap kandungan
matan Hadits tidak boleh bertentangan dengan teori ilmu pengetahuan atau
penemuan ilmiah, memenuhi rasa keadilan atau tidak bertentangan dengan hak
asasi manusia. oleh karena itu, adalah tidak masuk akal jika Hadits Nabi
mengabaika rasa keadilan. Menurut Al Ghazali, bagaimanapun shahihnya sanad
sebuah Hadits, jika matan informasinya bertentangan dengan prinsip-prinsip hak
asasi manusia, maka Hadits tersebut tidak layak dipakai.
Jika dicermati, indikator yang ditanamkan oleh Al Ghazali
dalam kritik matan bukanlah sesuatu yang baru, Al Ghazali sendiri mengakui,
bahwa apa yang menjadi ungkapannya sudah pernah dinyatakan oleh ulama’
terdahulu. Karena menurutnya, yang penting dari semua itu adalah bagaimana
mempraktikkan indikator kritik matan tersebut dalam berbagai Hadits Nabi.[12]
Contoh pengaplikasian metode ini:
Al Ghazali dalam hal ini, memberikan contoh Hadits yang
termaktub dalam Shahih Muslim, disana dikatakan bahwa salah satu hal yang
menyebabkan shalat seseorang menjadi batal apabila terlewati perempuan :
قَالَ
رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم “إِذَا قَامَ أَحَدُكُمْ يُصَلِّى
فَإِنَّهُ يَسْتُرُهُ إِذَا كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ
فَإِذَا لَمْ يَكُنْ بَيْنَ يَدَيْهِ مِثْلُ آخِرَةِ الرَّحْلِ فَإِنَّهُ يَقْطَعُ
صَلاَتَهُ الْحِمَارُ وَالْمَرْأَةُ وَالْكَلْبُ الأَسْوَدُ”[13]
Dalam memahami teks Hadits ini, menurut Al
Ghazali Hadits semacam ini tidak tepat dengan prinsip islam yang menjunjung
keadilan, bahkan seakan-akan Hadits ini memojokan terhadap kaum perempuan yang
disetarakan dengan khimar.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
M. Al Ghazali Al siqaa, lahir dan
tumbuh dikeluarga yang kurang mampu di disa Naql al Alad Itay Al Barud propinsi
Al Buhaira Mesir. Ia dilahirkan pada hari sabtu 5 Dzulhijah 1335 H atau 22
september 1917 M. Dalam sebuah riwayat mengatakan bahwa penamaan Al Ghazali
dari ayahnya terispirasi dari nama Hujjah Al Islam yakni Abu Hamid Muhamad Al
Ghazali At Thusy, karena ayahnya sangat tertarik dalam dunia Sufi.
Muhamad Al Ghazali adalah putra pertama dari delapan bersaudara, oleh
karena itu keluarganya berharap besar terhadapnya. Beliau telah mampu menghafal
Al Qur’an dalam usia 10 tahun dan tercatat siswa ma’had Ad Din (sekolah Agama
yang berada dibawah Al Azhar), dikota Alexandrea. Ia lulus madrasah ibtidaiyah
pada tahun 1932 M. Dan ditempat yang sama ia juga menyelesaikan madrasah
Tsanawiyah (setingkat SMA) pada tahun 1937 M.
untuk mencapai nilai ridho disisi Allah, Al Ghazali
mengungkapkan Hadits shahih yang
meliputi lima kriteria Diantaranya:
1.
Berkaitan dengan sanad (ada tiga model, yakni
periwayat dhabit, periwayat adil dan terahir kedua sifat itu harus melekat
dalam satu Rawi dalam rangkai penyampaian Hadits).
2.
Berkaitan dengan matan (ada dua model, matan
harus tidak syadz dan matan harus tidak mengandung illat qadhihah “cacat yang
diketahui oleh ahli Hadits sehingga mereka menolak periwayatan Hadits
tersebut).
Menurut Al ghazali, untuk merealisasikan
kriteria-kriteria tersebut, maka perlu diadakan kerjasama antara Muhaditsun,
Fuqoha’, Mufasir, Ushuliyun, Ahli Teolog. Karena mengingat ada materi Hadits
yang berkaitan dengan ibadah, akidah, muamalah sehingga memerlukan pengetahuan
dari berbagai ahli tersebut.
Menurut Al Ghazali, dalam memahami Hadits yang benar agar
tidak terjadi kesalahan harus menempuh empat tahapan yakni: membandingkan
dengan Al Qur’an, Hadits, Historis dan keilmiahan.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan
semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi
tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak
hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar
bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pemikiran M. Al Ghazali.
DAFTAR PUSTAKA
Al Ghazali, Muhamad, 1993, Dustur Al Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al
Muslimin terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.
Al Bukhari , Muhamad Bin Isma’il, 1987, Jami’ Ash Shahih, Mesir: Dar
Al Sa’b.
Al Ghazali, Muhamad, 1998, Studi Kritis Atas Hadits
Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj Suryadi, Bandung:
Mizan.
Muslim, Abu Husain, Shahih Muslim, Beirut: Al Aufak jadidah,
Maktabah Tsamilah.
M. Al Ghazali, 1993, Sunnah Nabawiyah baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits
terj. Muhamad Imarah, Kairo: dar Al Wafa’.
Suryadi, 1998, Metode Pemahaman Hadits Nabi ”talaah atas pemikiran Al
Ghazali dan Yusuf Qordawi”,Bandung: Mizan.
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.
http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html.
http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali.
[1]Sumber:
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret,
pukul 12.00
[2]
Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali,
diakses: 22 maret, pukul 12. 45
[3]
Muhamad Al Ghazali, Dustur Al
Wahdah Al Tsaqafiyah Bayna Al Muslimin terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al
Wafa’ 1993), hlm. 69 pdf
[4] Sumber:
siapadankenapa.blogspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret,
pukul 12.00
[5]
Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret,
pukul 12. 45
[7]
M. Al Ghazali, Sunnah Nabawiyah
baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’
1993), hlm. 69 pdf
[8]Sumber: http://wahyunishifathurahmah.wordpress.com/2010/02/16/sikap-pemikir-kontemporer-tentang-hadits-dan-implementasinya-studi-komprehensif, diakses: 25-04-2015, pukul, 09.45
[9] Suryadi, Metode Pemahaman Hadits Nabi
”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”, (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 20
[11]
Muhamad Bin Isma’il Al Bukhari, Jami’
Ash Shahih, (Mesir: Dar Al Sa’b, 1987), hlm. 102
[12]
Muahamad Al Ghazali, Studi Kritis
Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj
Suryadi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 30
[13]
Abu Husain Muslim, Shahih Muslim,
(Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah), hlm. 59, Juz 2logspot.com/2009/11/muhamad-al-ghazali.html, diakses: 22 maret,
pukul 12.00
[5]
Sumber:http//hasanalbana.com/syaikh-muhamad-al-ghazali, diakses: 22 maret,
pukul 12. 45
[7]
M. Al Ghazali, Sunnah Nabawiyah
baina Ahli Fiqih wa Ahli Hadits terj. Muhamad Imarah, (Kairo: dar Al Wafa’
1993), hlm. 69 pdf
[8]Sumber: http://wahyunishifathurahmah.wordpress.com/2010/02/16/sikap-pemikir-kontemporer-tentang-hadits-dan-implementasinya-studi-komprehensif, diakses: 25-04-2015, pukul, 09.45
[9] Suryadi, Metode Pemahaman Hadits Nabi
”talaah atas pemikiran Al Ghazali dan Yusuf Qordawi”, (Bandung: Mizan,
1998), hlm. 20
[11]
Muhamad Bin Isma’il Al Bukhari, Jami’
Ash Shahih, (Mesir: Dar Al Sa’b, 1987), hlm. 102
[12]
Muahamad Al Ghazali, Studi Kritis
Atas Hadits Nabi SAW:Antara Pemahaman Tekstual dan Kontekstual terj
Suryadi, (Bandung: Mizan, 1998), hlm. 30
[13]
Abu Husain Muslim, Shahih Muslim,
(Beirut: Al Aufak jadidah, Maktabah Tsamilah), hlm. 59, Juz 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar