MAKALAH
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
“HADITS ORIENTALIS”
Dosen Pembimbing :
Dr. Abad Badruzaman, Lc, M.Ag
Disusun Oleh :
Baru Muhamad
Yusuf
NIM: 283112305
Fakultas : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan
: Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester
: VI (enam)
INSTITUT
AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN)
TULUNGAGUNG
MARET 2015
KATA PENGANTAR
Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat
Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya
sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para
pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya
sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong
orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil
qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu
yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang
tak terhingga kepada:
1. Bpk Abad Badruzaman. Sebagai dosen pembimbing yang telah
memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2. Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan
dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT
teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak
kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun
mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini
dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.
Penyusun
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Masalah
Dewasa ini
orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru,
yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap
suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para
kaum orientalis dan kaum missionaris, guna menjajah peradaban ketimuran, dengan
sekuat tenaga mereka mencoba mendalami tradisi-tradisi ketimuran, mempelajari
ajaran-ajaran Agama ketimuran sebagai salah satu usaha mereka demi terciptanya
atau demi tercapainya sebuah cita-cita yang intinya adalah menguasai atau
menjajag Negara timur. Dan sedikit-demi sedikit usaha mereka mencapai titik
terang, buktinya banyak pengapdosi ala kebarat-baratan dalam semua bidang. Lain
halnya itu, mulai banyak bermunculan faham yang menyatakan bahwa keotentikan
Agama Islam perlu dipertanyakan, karena wahyu yang di bawa Muhammad adalah
tipuan belaka, dan akal sulit untuk membenarkannya.
Sebagai
insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits
untuk berkecimpung dan mendalami ‘perang pemikiran’ dalam ranah hadits.
Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua
setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri.
Bahkan ia sudah menjadi objek kajian
para orientalis. Sebab, diakui atau tidak, kajian-kajian yang disuguhkan
orientalis cukup berpengaruh terhadap pemikiran keislaman dewasa ini, baik
pengaruh positif maupun negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak,
apabila kaum muslim pada umumnya, dan secara khusus penggiat kajian hadits
hanya berdiam diri (tidak peduli) atau menolak mentah-mentah tesis-tesis mereka
dengan tanpa memahami terlebih dahulu pemikiran mereka.
Salah satu oriental yang berkecimpung dalam hal ini adalah Joseph Schacth, Joseph Schacht
merupakan salah seorang sarjana barat yang mengkaji Islam dari sudut pandang
yang berbeda dengan pengkajian versi umat Islam yang menitik beratkan pada
persepsi muslim tradisional. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang
lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.
B.
Rumusan Masalah
Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi
meliputi:
1.
Bagaimana
biografi Joseph Schacht?
2.
Bagaimana
pandangan Joseph terhadap Hadits?
3.
Bagaimana
kritik Joseph Schacht terhadap Hadits?
C.Tujuan
Pembahasan
Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu
untuk mengetahui dan memahami:
1.
Untuk
menjelaskan bagaimana biografi Joseph Schacht.
2.
Untuk
menjelaskan bagaimana pandangan Joseph Schacht terhadap Hadits.
3.
Untuk
menjelaskan bagaimana kritik Joseph Schacht terhadap Hadis.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Joseph Schacht
Nama lengkap Amin J. Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di
Ratibor, Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia.
Schacht lahir dari keluarga yang agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht
adalah penganut katholik dan guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama
Maria Mohr. Pada tahun 1945, ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama
Louise Isabel Dorothy, anak perempuan Joseph Coleman. Karirnya sebagai orientalis
diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi dan bahasa-bahasa
Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar doctor
(D.Phil) dengan predikat summa Cum Laude dari Universitas Berslauw pada tahun
1923, ketika berumur 21 tahun.[1]
Pada
tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun
1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas
Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk
mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini
Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939
sebagai Guru Besar. Ketika perang
dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk
kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam
perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak
pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita
Inggris. Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggris.[2]
Meskipun
ia bekerja untuk kepentingan negara Inggris dan mengkhianati tanah airnya
sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya.
Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor- Doktor, di Inggris ia
justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia
meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam,
namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum,
ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip
Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Karya-karya beliau yang lain adalah Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi
Ilmu Sosial dan karya lain yang juga masyhur adalah Ushul Fiqih Islam.
Kajian tentang
ilmu Kalam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya,
seperti al-Khashaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu
Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath
Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan
melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence
yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law
yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil
penelitiannya tentang Hadits Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa
Hadits Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan
para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[3] Dalam karyanya
ini, Joseph berusaha mengembangkan teori kritik Hadits yang diproyeksikan untuk
meruntuhkan hukum Islam. Ia juga menyajikan hasil kajiannya dalam kajian hukum
Islam dengan mengkritik Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.[4]
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan
mengajar di Universitas Laiden Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959.
Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New
York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada
tahun 1969.[5]
B. Pandangan Joseph Schacht terhadap Hadits
Dalam khazanah keilmuan Hadits, menurut Joseph
Schacht, konsep awal Sunah adalah “tradisi yang hidup” dalam madzhab-madzhab
fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum ((العمل الأمر المجتمع عليه, konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabi. Dalam
kenyataannya bahwa istilah sunah yang berarti “kebiasaan masyarakat sebagai
prinsip pembimbing moralitas yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan, telah
digunakan pada masa Arab pra Islam. Salah satu buktinya adalah figur seorang
yang dijadikan “hakam” yaitu seorang juru tengah yang dipilih untuk menyelesaikan masalah atas dua
atau beberapa kelompok yang bertikai jika proses negoisasi mengalami kebuntuan.
Sedang Hadits merupakan hanyalah produk kreasi
kaum Muslimin belakangan, kerena pada kenyataannya kodifikasi Hadits terjadi
jauh setelah Rasulullah wafat. Dalam
bukunya Introduction to
Islamic Law yang terbit pada tahun 1960 Joseph berpendapat
bahwa:
Sunah dalam konteks Islam, pada awalnya lebih
memiliki konotasi politisi dari pada hokum. Sunah merujuk pada kebijakan dan administrasi
dari dua khalifah, yang pertama Abu Bakar dan yang kedua adalah Umar. Muncul
barangkali pada saat pengganti umar harus ditunjuk, dan ketidakpuasan terhadap
kepemimpinan khalifah ke tiga “Utsman” yang mengakibatkan pembunuhannya.
Menjadi tuduhan bahwa dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan
pendahulunya dan secara implicit dari Al Qur’an. Dalam kaitan ini tampak konsep
Sunah Nabi belum teridentifikasi dengan seperangkat alat atau aturan positif yang manapun melainkan memberikan
adanya kaitan doctrinal antara “sunah Abu Bakar, Umar dan Al Qur’an”.
Bukti paling awal, tentunya yang otentik untuk
penggunaan istilah “Sunah Nabi” adalah surat yang pernah dikirim oleh pemimpin
khawarij yakni Abdullah bin Ibad kepada Umayah Abdul Malik. Untuk membuktikan
anggapan tersebut, pada bagian lain ia beberapa alas an diantaranya:
pertama, jika Rasulullah mempunyai
kekuasaan seperti apa yang dilakukan oleh khulafaurrasyidin, sebagai pemimpin
polotik untuk umat Islam untuk mengambilnya sebagai sumber hokum yang
tertinggi, tetepi justru itu tidak terjadi, malahan mereka mengambil peraturan
mereka sendiri untuk dijadikan sumber hukum, karena mereka berpandangan bahwa
khalifah mempunyai kekuasaan hokum untuk umatnya. Kedua, bahwa Hadits nabi yang
berkaitan dengan fiqih khususnya, adalah buatan para ulama’ abad kedua dan
ketiga hijjriyah. Untuk membuktikan hal ini, ia mengatakan bahwa cara terbaik
untuk membuktikan bahwa hadits tidak ada dalam satu kurun tertentu adalah
dengan menunjukkan kenyataan bahwa hadits tidak pernah dijadikan dalil dalam
sebuah diskusi para fuqoha’, sebab andai hadits tersebut pernah ada, pasti hal
itu akan dijadikan rafrensi. Selain itu, untuk menggambarkan sejauh mana
pemalsuan Hadits, lebih lanjut menurut Joseph, sikap aliran fiqih klasik ini
semakin mendapatkan lejitimasi dengan adanya gerakan Ahl Al Hadits. Sekalipun
semangat awal yang dibangun adalah tidak ingin Hadits-hadits yang berasal dari
Nabi dikalahkan oleh aturan-aturan fiqih, namun untuk mencapai tujuan tersebut,
justru Ahl Hadits terjebak pada sikap justifikatif terhadap aturan-aturan yang
dibuat oleh aliran fiqih.[6]
Hal ini Joseph buktikan sebagai barikut:[7]
1.
Lahirnya
aliran-aliran fiqih klasik.
2.
Munculnya
pemikiran tentang ijma’ dalam aliran-aliran tersebut.
3.
Pendapat-pendapat
mereka dinisbahkan (dikaitkan) dengan tokoh-tokoh besar masa lampau, seperti
orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada Ibrahim al-Nakha’i.
4.
Adanya
perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada tokoh
yang lebih dulu, seperti Masruq.
5.
Adanya
perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada tokoh
yang klasik sekali, seperti Ibnu Mas’ud.
6.
Adanya
perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada Nabi
saw sebagai usaha terakhir dalam masalah ini.
7.
Munculnya
kelompok oposisi.
8.
Secara
terinci kelompok oposisi ini membuat Hadits palsu.
9.
Kelompok
oposisi memusushi aliran-aliran fiqih klasik.
C. Kritik Joseph Schacht Terhadap
Hadits
Menurut Joseph
Schacht ia mengatakan bahwa “we shall not meet any legal tradition from the
prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun
Hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai
Hadits Shahih).[8] Menurut hemat penulis, Joseph pada kesimpulan seperti ini pasti dilatar
belakangi dari beberapa hal yang menjadikan ia sampai kesimpulan seperti ini.
Diantaranya:
1.
Sisi Sanad
Salah satu serangan yang
sering dilontarkan oleh para orientalis seperti Joseph Schacht, yakni pandangan
mereka terhadap Hadits Nabi yang terkhusus pada sisi isnad, bahkan ia sampai
pada meragukan otentitas dari subuah Hadits. Karena ia menilai bahwa teori
isnad adalah bikinan para ulama’ Hadits dan tidak ada pada masa Nabi. Dengan
kata lain, sistem isnad menurutnya adalah ahistoris. Dalam mengkaji Hadits
Nabawi, Josepht Schahct lebih menyoroti
aspek sanad dari pada matan. Sedangkan kitab yang dijadikan ajang
penelitian adalah kitab Al Muwattho’ karya Muhammad Al Syaibani
serta kitab Al Umm dan Al
Risalah karya Al Syafi’i.
Joseph Schacht Schacht Menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis
pada masa al-Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah
al-Sya’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah
mengangkat para hakim. Jadi apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan
hukum Islam, maka hadis-hadis tersebut adalah buatan orang-orang yang hidup
sesudah al-Sya’bi. Joseph schacht berasumsi dari pendapat ibnu sirin
yang mengatakan bahwa usaha untuk menanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai
sejak terjadinya Fitnah (musibah perang saudara), dimana semua orang sudah
tidak dapat mempercayailagi, tanpa diteliti terlebih dahulu. Dan dapat
diketahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya Al Walid bin Yazid,
menjelang surutnya daulah Umayyah adalah tahun yang lazim bagi akhir zaman
keemasan lama yang selama itu sunah Nabi masih berlaku, seperti tahun yang
lazim bagi wafatnya Ibnu sirin. Joseph menyimpulkan bahwa penisbatan pernyataan
ini kepadanya adalah palsu. [9]
Untuk membenarkan tuduhan Joseph Schacht tersedut,
beliau menguatkan dengan beberapa argumen atau teori, diantaranya:
a. Teori Projecting Back (proyeksi
kebelakang)
Teori Joseph Schacht yang menyatakan
bahwa matan hadits pada awalnya berasal dari generasi tabiin yang diproyeksikan ke
belakang kepada generasi sahabat dan akhirnya kepada Nabi dengan cara menambah
dan memperbaiki isnad yang sudah ada.[10]Teori Projecting Back ini
adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan Schacht atas
premis-premis yang dia buat mengenai kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut
adalah, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). Premis ini
menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadits-hadits
yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits
tersebut adalah buatan orang-orang pasca al-Sya’bî. Dia berpendapat bahwa hukum
Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan Qâdhi (hakim agama).
Kira-kira pada akhir abad pertama
Hijriah (±715-720 M) pengangkatan Qâdhi ditujukan kepada orang-orang
“spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah mereka
semakin bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok ahli
fikih klasik. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada Qâdhi ini
memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi.
Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya
sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak
menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrâhîm al-Nakha’î (W.95 H).290
Perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para Qâdhi itu tidak hanya
dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang jaraknya masih dekat, melainkan
kepada tokoh yang lebih dahulu lagi, misalnya Masrûq. Langkah selanjutnya,
untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu
dinisbahkan kepada orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya
‘Abdullah bin Mas’ûd. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu
dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad
hadis dengan memproyeksikan pendapat-pendapat orang-orang belakangan (yang
kemudian dikenal dengan teori Projecting Back).[11]
b. Teori commont link
Teori Common
Link adalah dalam sebuah isnad hadits terdapat
seseorang yang diduga kuat menjadi pembuat hadis. Dalam menjelaskan teori ini,
Schacht mengajukan dua bentuk:
v Isnad Poros
Joseph Schacht dalam bukunya, The Origins, dalam membuktikan
kepalsuan hadits, ia memunculkan teori common link. Teori Joseph Schacht
yang dikembangkan oleh Juynboll, yang menyatakan bahwa semakin banyak jalur isnad
yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju padanya atau yang
meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya
memiliki klaim kesejarahan.
Joseph Schacht mengemukakan contoh yang menunjukkan gejala common
link atau dengan istilah lain common transmitter. Dalam karya
asy-Syafi’I, Kitab Ikhtilaf al-hadits,
terdapat sebuah hadits yang memiliki isnad sebagai berikut:
Ø Nabi kepada Jabir kepada Abduulah bin Mu’adz kepada umaroh bin Aziz kepada Abdul Al Aziz
bin Muhammad kepada asy-Syafii.[12]
Ø Nabi kepada Jabir kepda Muthalib kepada Amr
bin Abi Amr (budak yang dimerdekakan Muthalib) kepada Ibrahim bin
Muhammad kepada asy-Syafii.
Ø Nabi kepada Jabir kepada
Muthalib kepada Sulaimah bin Hilal kepada Orang tak
dikenal kepada asy-Syafii.
أَخْبَرَنَا
الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ
عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، أَنَّ
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ قَالَ : قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ
اللَّهِ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ زَمَانَ غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَرَسُولُ
اللَّهِ يَسِيرُ بَعْدَ أَنْ أَضْحَى ، إِذَا هُوَ بِجَمَاعَةٍ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ
فَقَالَ : مَنْ هَذِهِ الْجَمَاعَةُ ؟ قَالُوا : رَجُلٌ صَائِمٌ أَجْهَدَهُ
الصَّوْمُ ، أَوْ كَلِمَةً نَحْوَ هَذِهِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : لَيْسَ مِنَ
الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَر
Dalam rangkaian sanad I di atas, kata menurut Joseph Schacht,
Amr bin Abi Amr merupakan common narator dari seluruh jalur isnad hadits yang
diriwayatkan oleh Imam Syafi’i. Amr lah yang membuat hadis tersebut bersambung
dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah isnad tersebut adalah bagian
otentik, sementara bagian bawah merupakan bagian Amr semata. Dalam upaya
memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni
jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dengan demikian, hadis ini
sebenarnya bersumber dari Amr bin Amr karena dialah yang pertama yang
menyebabkan hadits kepada beberapa periwayat hadits
berikutnya dan bukan dari dari Mutalib, Jabir atau bahkan dari Nabi.[13]
v E silentio
Teori yang dikemukakan oleh Joseph Schacht, yang menyatakan bahwa
cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadits
tidak ada pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadits
tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang
mengharuskan merujuk kepadanya jika hadis itu memang ada. Sebuah hadis tidak
dinyatakan ada jika tidak ada pada saat terentu jika ia tidak dipakai sebagai
argumen hukum dalam kitab-kitab Fiqh awal yang ditulis Imam Malik, asy Syafii,
dan Abu Yusuf , yang mengahruskan merujuk padanya.[14]
2. Sisi Matan
Joseph Schacht melancarkan kritik matan
terhadap sebagian hadits yang terdapat dalam kitab al-Maghazi,
karya Musa bin ‘Uqbah. Schacht berkata, “Musa bin ‘Uqbah (penulis kitab al-Maghazi) mengatakan bahwa dia mengambil sumber-sumber hadits
dari al- Zuhri. Ibn Ma’in juga menganggap bahwa kitab Musa yang bersumber dari
al-Zuhri adalah kitab yang paling otentik di antara kitab-kitab hadits
yang menceritakan tentang peperangan Nabi saw. Oleh karena itu, tidak mungkin
dalam kitab al-Maghazi dalam bentuknya yang asli itu terdapat hadits-hadits
yang diterima dari jalur selain al-Zuhri. Akan tetapi, karena di dalam kitab
itu terdapat hadis-hadis dari jalur selain al-Zuhri, yaitu hadits
nomor 6, 8, 9, dan 10, maka bisa dipastikan bahwa hadits-hadits
itu adalah “tambahan sejak aslinya”.”[15]
Salah satu contoh matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghazi yang dikritik oleh Schacht adalah hadits no. 9, yaitu hadits yang
diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Umar yang berbunyi, “Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah saw. tidak mengecualikan Fatimah ra. (dalam masalah
hukum pidana).” Hadits
ini dinilai Schacht sebagai hadits yang
mengingkari akan keistimewaan keluarga Nabi saw. dalam hukum pidana. Oleh
karena itu hadits ini dinilai sebagai hadits anti keluarga
‘Ali (Alawiyyin), sebab tidak mengakui adanya keistimewaan keluarga ‘Alawiyyin
dalam masalah pidana.[16]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Nama lengkap Amin J. Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di
Ratibor, Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia. Schacht lahir dari keluarga yang
agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut katholik dan
guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945,
ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak
perempuan Joseph Coleman.
Bagi Joseph Schacht Sunnah adalah kebiasaan masyarakat
sebagai pronsip pembimbing moralitas dan kebiasaan. Ini terjadi jauh sebelum
Arab menjadi Agama Islam. Selanjutnya ia berpandangan bahwa secara keseluruhan
sistem isnad yang ada dalam Hadits-hadits baru terbentuk pada dekade-dekade
pertama abad kedua hijriyah. Kemudian untuk menopang pendapat itu agar kuat, ia
memberikan teori projecing back, dan commond link.
B.
Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan
semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi
tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak
hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan
dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar
bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pandangan
orientalis kususnya Joseph Schacht terhadap hadits.
DAFTAR PUSTAKA
As Syafi’i, Muhamad Bin Idris, 1995, Ikhtilaful
Hadits, Beirut: Mausu’ah Kitab Al Tsaqofiah
Azami, 2009
cet.4Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta:
Pustaka Firdaus
Badawi,
Abdurrahman, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta: LKIS
Masrur , Ali,
2007, Teori Common Link G. H. A Juynball, Yogyakarta: Lkis
Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html
Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html
[3]Abdurrahman
Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis terj. Amroeni Drajat, (Yogyakarta:
LKIS, 2003), hlm. 270-279.
[6] Ibid.
[7] Azami, Hadis
Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya’qub, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 2009 cet.4), hlm. 595-596.
[12] Muhamad Bin Idris As Syafi’i, Ikhtilaful Hadits, (Beirut: Mausu’ah
Kitab Al Tsaqofiah, 1995), hlm. 492
Tidak ada komentar:
Posting Komentar