Selasa, 05 Mei 2015

JOSEP SCAHT

MAKALAH
PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah
HADITS ORIENTALIS

Dosen Pembimbing :
Dr. Abad Badruzaman, Lc, M.Ag
 







    
Disusun Oleh :


Baru Muhamad Yusuf
NIM: 283112305


Fakultas               : Ushuludin Adab dan Dakwah
Jurusan                : Ilmu Al Qur’an dan Tafsir
Semester               : VI (enam)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
(IAIN) TULUNGAGUNG
MARET  2015


KATA PENGANTAR

Puji syukur alhamdullilah penyusun ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat, taufiq serta hidayahnya sehingga penyusun dapat menyelesaikan makalah ini.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, Keluarga beserta sahabat-sahabatnya dan para pengikut beliau yang telah ikhlas memeluk agama Allah SWT dan mempertahankannya sampai akhir hayat dan kita berharap semoga diakui umatnya dan tergolong orang-orang yang mendapat syafa’at beliau min yaumina hadza ila yaumil qiyamah amin.
Alhamdulillah makalah yang berjudul ”PEMIKIRAN JOSEPH SCHACHT” dapat saya selesaikan sesuai dengan waktu yang telah di tentukan .Oleh karena itu, penyusun mengucapkan terima kasih yang tak terhingga kepada:
1.      Bpk  Abad Badruzaman. Sebagai dosen pembimbing yang telah memberikan materi serta pengarahan sehingga makalah ini bisa terselesaikan.
2.      Seluruh pihak yang terkait dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga segala bimbingan dan bantuan yang telah di berikan dapat menjadi amal hasanah, maslahah dan mendapatkan ridho dari allah SWT teriring do’a:
Jazakumulloh khoirol jaza’ jazakumulloh ahsanal jaza’.
Sebagai penutup penyusun menyadari bahwa masih banyak kekhilafan dan kekurangan dalam makalah ini,oleh sebab itu penyusun mengharapkan kritik serta saran yang bersifat membangun. Semoga makalah ini dapat berguna, bermanfa’at, barokah di dunia dan di akhirat amin.




Penyusun




BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang Masalah
Dewasa ini orang dibingungkan oleh beraneka ragam pemikiran baru, yang mana dampak dari semua itu adalah semakin kaburnya keimanan kita terhadap suatu keyakinan yang kita yakini selama ini. Misalkan dengan munculnya para kaum orientalis dan kaum missionaris, guna menjajah peradaban ketimuran, dengan sekuat tenaga mereka mencoba mendalami tradisi-tradisi ketimuran, mempelajari ajaran-ajaran Agama ketimuran sebagai salah satu usaha mereka demi terciptanya atau demi tercapainya sebuah cita-cita yang intinya adalah menguasai atau menjajag Negara timur. Dan sedikit-demi sedikit usaha mereka mencapai titik terang, buktinya banyak pengapdosi ala kebarat-baratan dalam semua bidang. Lain halnya itu, mulai banyak bermunculan faham yang menyatakan bahwa keotentikan Agama Islam perlu dipertanyakan, karena wahyu yang di bawa Muhammad adalah tipuan belaka, dan akal sulit untuk membenarkannya.
Sebagai insan terdidik dan terpelajar, sudah seyogyanya bagi para peminat kajian hadits untuk berkecimpung dan mendalami ‘perang pemikiran’ dalam ranah hadits. Karena, hadits yang telah disepakati oleh para ulama sebagai sumber hukum kedua setelah al-Qur’an, tidak hanya diminati dan dinikmati oleh kalangan santri. Bahkan ia sudah menjadi objek kajian para orientalis. Sebab, diakui atau tidak, kajian-kajian yang disuguhkan orientalis cukup berpengaruh terhadap pemikiran keislaman dewasa ini, baik pengaruh positif maupun negatif. Oleh karena itu bukanlah tindakan yang bijak, apabila kaum muslim pada umumnya, dan secara khusus penggiat kajian hadits hanya berdiam diri (tidak peduli) atau menolak mentah-mentah tesis-tesis mereka dengan tanpa memahami terlebih dahulu pemikiran mereka.
Salah satu oriental yang berkecimpung dalam hal ini adalah Joseph Schacth, Joseph Schacht merupakan salah seorang sarjana barat yang mengkaji Islam dari sudut pandang yang berbeda dengan pengkajian versi umat Islam yang menitik beratkan pada persepsi muslim tradisional. Untuk lebih jelasnya, marilah kita lanjutkan pembahasan yang lebih mendalam pada makalah yang sangat ringkas dibawah ini.

B. Rumusan Masalah

Didalam makalah ini, pembahasan kami batasi meliputi:
1.      Bagaimana biografi Joseph Schacht?
2.      Bagaimana pandangan Joseph terhadap Hadits?
3.      Bagaimana kritik Joseph Schacht terhadap Hadits?

C.Tujuan Pembahasan

Adapun tujuan dari pembahasan makalah ini yaitu untuk mengetahui dan memahami:
1.      Untuk menjelaskan bagaimana biografi Joseph Schacht.
2.      Untuk menjelaskan bagaimana pandangan Joseph Schacht terhadap Hadits.
3.      Untuk menjelaskan bagaimana kritik Joseph Schacht terhadap Hadis.

















BAB II
PEMBAHASAN
A.   Biografi Joseph Schacht
Nama lengkap Amin J. Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di Ratibor, Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia. Schacht lahir dari keluarga yang agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut katholik dan guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945, ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak perempuan Joseph Coleman. Karirnya sebagai orientalis diawali dengan belajar filologi klasik, semitik, teologi dan bahasa-bahasa Timur di Universitas Berslauw dan Universitas Leipzig. Ia meraih gelar doctor (D.Phil) dengan predikat summa Cum Laude dari Universitas Berslauw pada tahun 1923, ketika berumur 21 tahun.[1]
Pada tahun 1925 ia diangkat menjadi dosen di Universitas Fribourg, dan pada tahun 1929 ia dikukuhkan sebagai Guru Besar. Pada tahun 1932 ia pindah ke Universitas Kingsbourg, dan dua tahun kemudian ia meninggalkan negerinya Jerman untuk mengajar tata bahasa Arab dan bahasa Suryani di Universitas Fuad Awal (kini Universitas Cairo) di Cairo Mesir. Ia tinggal di Cairo sampai tahun 1939 sebagai Guru Besar. Ketika perang dunia II meletus, Schacht meninggalkan Cairo dan pindah ke Inggris untuk kemudian bekerja di Rasio BBC London. Meskipun ia seorang Jerman, namun dalam perang dunia II ia berada di pihak Inggris. Dan ketika perang selesai, ia tidak pulang ke Jerman, melainkan tetap tinggal di Inggris, dan menikah dengan wanita Inggris. Bahkan pada tahun 1947 ia menjadi warga negara Inggris.[2]
Meskipun ia bekerja untuk kepentingan negara Inggris dan mengkhianati tanah airnya sendiri, namun pemerintah Inggris tidak memberikan imbalan apa-apa kepadanya. Sebagai seorang ilmuan yang menyandang gelar Profesor- Doktor, di Inggris ia justeru belajar lagi di tingkat Pasca Sarjana Universitas Oxford, sampai ia meraih gelar Magister (1948) dan Doktor (1952) dari universitas tersebut.
 Meskipun ia seorang pakar Sarjana Hukum Islam, namun karya-karya tulisnya tidak terbatas pada bidang tersebut. Secara umum, ada beberapa disiplin ilmu yang ia tulis. Antara lain, kajian tentang Manuskrip Arab, Edit-Kritikal atas Manuskrip-manuskrip Fiqh Islam. Karya-karya beliau yang lain adalah Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Ilmu Sosial dan karya lain yang juga masyhur adalah Ushul Fiqih Islam. Kajian tentang ilmu Kalam, kajian tentang Sejarah Sains dan Filsafat, dan lain-lainnya, seperti  al-Khashaf aL Kitab al Hiyal wa al-Makharij (1932), Abu Hatim al Qazwini: Kitab al Khiyal fi al Fiqih (1924), Ath Thabari: Ikhtilaf al Fuqaha (1933) dan lain-lain.
Karya tulisnya yang paling monumental dan melambungkan namanya adalah bukunya The Origins of Muhammadan Jurisprudence yang terbit pada tahun 1950, kemudian bukunya An Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960. Dalam dua karyanya inilah ia menyajikan hasil penelitiannya tentang Hadits  Nabawi, di mana ia berkesimpulan bahwa Hadits  Nabawi, terutama yang berkaitan dengan Hukum Islam, adalah buatan para ulama abad kedua dan ketiga hijrah.[3] Dalam karyanya ini, Joseph berusaha mengembangkan teori kritik Hadits yang diproyeksikan untuk meruntuhkan hukum Islam. Ia juga menyajikan hasil kajiannya dalam kajian hukum Islam dengan mengkritik Hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum.[4]
Pada tahun 1954 ia meninggalkan Inggris dan mengajar di Universitas Laiden Belanda sebagai Guru Besar sampai tahun 1959. Kemudian pada musim panas tahun 1959 ia pindah ke Universitas Colombia New York, dan mengajar di sana sebagai Guru Besar, sampai ia meninggal dunia pada tahun 1969.[5]
B.  Pandangan Joseph Schacht terhadap Hadits
Dalam khazanah keilmuan Hadits, menurut Joseph Schacht, konsep awal Sunah adalah “tradisi yang hidup” dalam madzhab-madzhab fiqih klasik, yang berarti kebiasaan atau praktek yang disepakati secara umum ((العمل الأمر المجتمع عليه, konsep ini tidak ada hubungannya dengan Nabi. Dalam kenyataannya bahwa istilah sunah yang berarti “kebiasaan masyarakat sebagai prinsip pembimbing moralitas yang diriwayatkan oleh periwayatan lisan, telah digunakan pada masa Arab pra Islam. Salah satu buktinya adalah figur seorang yang dijadikan “hakam” yaitu seorang juru tengah yang  dipilih untuk menyelesaikan masalah atas dua atau beberapa kelompok yang bertikai jika proses negoisasi mengalami kebuntuan.
Sedang Hadits merupakan hanyalah produk kreasi kaum Muslimin belakangan, kerena pada kenyataannya kodifikasi Hadits terjadi jauh setelah Rasulullah wafat. Dalam bukunya  Introduction to Islamic Law yang terbit pada tahun 1960 Joseph berpendapat bahwa:
Sunah dalam konteks Islam, pada awalnya lebih memiliki konotasi politisi dari pada hokum. Sunah merujuk pada kebijakan dan administrasi dari dua khalifah, yang pertama Abu Bakar dan yang kedua adalah Umar. Muncul barangkali pada saat pengganti umar harus ditunjuk, dan ketidakpuasan terhadap kepemimpinan khalifah ke tiga “Utsman” yang mengakibatkan pembunuhannya. Menjadi tuduhan bahwa dia pada gilirannya menyimpang dari kebijakan pendahulunya dan secara implicit dari Al Qur’an. Dalam kaitan ini tampak konsep Sunah Nabi belum teridentifikasi dengan seperangkat alat atau aturan  positif yang manapun melainkan memberikan adanya kaitan doctrinal antara “sunah Abu Bakar, Umar dan Al Qur’an”.
Bukti paling awal, tentunya yang otentik untuk penggunaan istilah “Sunah Nabi” adalah surat yang pernah dikirim oleh pemimpin khawarij yakni Abdullah bin Ibad kepada Umayah Abdul Malik. Untuk membuktikan anggapan tersebut, pada bagian lain ia beberapa alas an diantaranya: pertama,  jika Rasulullah mempunyai kekuasaan seperti apa yang dilakukan oleh khulafaurrasyidin, sebagai pemimpin polotik untuk umat Islam untuk mengambilnya sebagai sumber hokum yang tertinggi, tetepi justru itu tidak terjadi, malahan mereka mengambil peraturan mereka sendiri untuk dijadikan sumber hukum, karena mereka berpandangan bahwa khalifah mempunyai kekuasaan hokum untuk umatnya. Kedua, bahwa Hadits nabi yang berkaitan dengan fiqih khususnya, adalah buatan para ulama’ abad kedua dan ketiga hijjriyah. Untuk membuktikan hal ini, ia mengatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa hadits tidak ada dalam satu kurun tertentu adalah dengan menunjukkan kenyataan bahwa hadits tidak pernah dijadikan dalil dalam sebuah diskusi para fuqoha’, sebab andai hadits tersebut pernah ada, pasti hal itu akan dijadikan rafrensi. Selain itu, untuk menggambarkan sejauh mana pemalsuan Hadits, lebih lanjut menurut Joseph, sikap aliran fiqih klasik ini semakin mendapatkan lejitimasi dengan adanya gerakan Ahl Al Hadits. Sekalipun semangat awal yang dibangun adalah tidak ingin Hadits-hadits yang berasal dari Nabi dikalahkan oleh aturan-aturan fiqih, namun untuk mencapai tujuan tersebut, justru Ahl Hadits terjebak pada sikap justifikatif terhadap aturan-aturan yang dibuat oleh aliran fiqih.[6]
Hal ini Joseph buktikan sebagai barikut:[7]
1.   Lahirnya aliran-aliran fiqih klasik.
2.   Munculnya pemikiran tentang ijma’ dalam aliran-aliran tersebut.
3.   Pendapat-pendapat mereka dinisbahkan (dikaitkan) dengan tokoh-tokoh besar masa lampau, seperti orang-orang Iraq menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada Ibrahim al-Nakha’i.
4.   Adanya perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada tokoh yang lebih dulu, seperti Masruq.
5.   Adanya perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada tokoh yang klasik sekali, seperti Ibnu Mas’ud.
6.   Adanya perkembangan lain di mana mereka menisbahkan pendapat-pendapatnya kepada Nabi saw sebagai usaha terakhir dalam masalah ini.
7.   Munculnya kelompok oposisi.
8.   Secara terinci kelompok oposisi ini membuat Hadits palsu.
9.   Kelompok oposisi memusushi aliran-aliran fiqih klasik.

C.  Kritik Joseph Schacht Terhadap Hadits
Menurut Joseph Schacht ia mengatakan bahwa “we shall not meet any legal tradition from the prophet which can be considered authentic. (kita tidak akan dapat menemukan satu pun Hadits Nabi yang berkaitan dengan hukum, yang dapat dipertimbangkan sebagai Hadits Shahih).[8] Menurut hemat penulis, Joseph pada kesimpulan seperti ini pasti dilatar belakangi dari beberapa hal yang menjadikan ia sampai kesimpulan seperti ini. Diantaranya:
1.   Sisi Sanad
Salah satu serangan yang sering dilontarkan oleh para orientalis seperti Joseph Schacht, yakni pandangan mereka terhadap Hadits Nabi yang terkhusus pada sisi isnad, bahkan ia sampai pada meragukan otentitas dari subuah Hadits. Karena ia menilai bahwa teori isnad adalah bikinan para ulama’ Hadits dan tidak ada pada masa Nabi. Dengan kata lain, sistem isnad menurutnya adalah ahistoris. Dalam mengkaji Hadits Nabawi, Josepht Schahct lebih menyoroti  aspek sanad dari pada matan. Sedangkan kitab yang dijadikan ajang penelitian adalah kitab Al Muwattho’ karya Muhammad Al Syaibani serta kitab Al Umm dan Al Risalah karya Al Syafi’i.
Joseph Schacht Schacht Menegaskan bahwa hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (110 H). Oleh karena itu jika ada hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka itu adalah bikinan orang-orang sesudah al-Sya’bi. Hukum Islam baru eksis ketika ada kebijakan khalifah Ummayah mengangkat para hakim. Jadi apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadis-hadis tersebut adalah buatan orang-orang yang hidup sesudah al-Sya’bi. Joseph schacht berasumsi dari pendapat ibnu sirin yang mengatakan bahwa usaha untuk menanyakan dan meneliti sanad sudah dimulai sejak terjadinya Fitnah (musibah perang saudara), dimana semua orang sudah tidak dapat mempercayailagi, tanpa diteliti terlebih dahulu. Dan dapat diketahui bahwa fitnah yang bermula dari terbunuhnya Al Walid bin Yazid, menjelang surutnya daulah Umayyah adalah tahun yang lazim bagi akhir zaman keemasan lama yang selama itu sunah Nabi masih berlaku, seperti tahun yang lazim bagi wafatnya Ibnu sirin. Joseph menyimpulkan bahwa penisbatan pernyataan ini kepadanya adalah palsu. [9]
Untuk membenarkan tuduhan Joseph Schacht tersedut, beliau menguatkan dengan beberapa argumen atau teori, diantaranya:
a.   Teori Projecting Back (proyeksi kebelakang)
Teori Joseph Schacht yang menyatakan bahwa matan hadits pada awalnya berasal dari generasi tabiin yang diproyeksikan ke belakang kepada generasi sahabat dan akhirnya kepada Nabi dengan cara menambah dan memperbaiki isnad yang sudah ada.[10]Teori Projecting Back ini adalah himpunan kesimpulan-kesimpulan yang didapatkan Schacht atas premis-premis yang dia buat mengenai kebermulaan hukum Islam. Premis tersebut adalah, hukum Islam belum eksis pada masa al-Sya’bi (w.110 H). Premis ini menggiring kepada sebuah kesimpulan bahwa apabila ditemukan hadits-hadits yang berkaitan dengan hukum Islam, maka hadits tersebut adalah buatan orang-orang pasca al-Sya’bî. Dia berpendapat bahwa hukum Islam baru dikenal semenjak masa pengangkatan Qâdhi (hakim agama).
Kira-kira pada akhir abad pertama Hijriah (±715-720 M) pengangkatan Qâdhi ditujukan kepada orang-orang “spesialis” yang berasal dari kalangan taat beragama. Karena jumlah mereka semakin bertambah banyak, maka akhirnya mereka berkembang menjadi kelompok ahli fikih klasik. Keputusan-keputusan hukum yang diberikan pada Qâdhi ini memerlukan legitimasi dari orang-orang yang memiliki otoritas lebih tinggi. Karenanya, mereka tidak menisbahkan keputusan-keputusan itu kepada dirinya sendiri, melainkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya. Misalnya, orang-orang Irak menisbahkan pendapat-pendapat mereka kepada Ibrâhîm al-Nakha’î (W.95 H).290 Perkembangan selanjutnya, pendapat-pendapat para Qâdhi itu tidak hanya dinisbahkan kepada tokoh-tokoh sebelumnya yang jaraknya masih dekat, melainkan kepada tokoh yang lebih dahulu lagi, misalnya Masrûq. Langkah selanjutnya, untuk memperoleh legitimasi yang lebih kuat, maka pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada orang yang memiliki otoritas lebih tinggi, misalnya ‘Abdullah bin Mas’ûd. Dan pada tahap terakhir, pendapat-pendapat itu dinisbahkan kepada Nabi Muhammad saw. Inilah rekonstruksi terbentuknya sanad hadis dengan memproyeksikan pendapat-pendapat orang-orang belakangan (yang kemudian dikenal dengan teori Projecting Back).[11]
b.   Teori commont link
Teori Common Link adalah dalam sebuah isnad hadits terdapat seseorang yang diduga kuat menjadi pembuat hadis. Dalam menjelaskan teori ini, Schacht mengajukan dua bentuk:
v Isnad Poros
Joseph Schacht dalam bukunya, The Origins, dalam membuktikan kepalsuan hadits, ia memunculkan teori common link. Teori Joseph Schacht yang dikembangkan oleh Juynboll, yang menyatakan bahwa semakin banyak jalur isnad yang bertemu pada seorang periwayat, baik yang menuju padanya atau yang meninggalkannya, semakin besar seorang periwayat dan jalur periwayatannya memiliki klaim kesejarahan.
Joseph Schacht mengemukakan contoh yang menunjukkan gejala common link atau dengan istilah lain common transmitter. Dalam karya asy-Syafi’I, Kitab Ikhtilaf al-hadits, terdapat sebuah hadits yang memiliki isnad sebagai berikut:
Ø  Nabi kepada Jabir kepada Abduulah bin Mu’adz kepada umaroh bin Aziz kepada Abdul Al Aziz bin Muhammad kepada asy-Syafii.[12]
Ø  Nabi kepada  Jabir kepda Muthalib kepada Amr bin Abi Amr (budak yang dimerdekakan Muthalib) kepada  Ibrahim bin Muhammad kepada asy-Syafii.
Ø  Nabi kepada Jabir kepada Muthalib kepada Sulaimah bin  Hilal kepada Orang tak dikenal kepada asy-Syafii.
أَخْبَرَنَا الْشَّافِعِيُّ ، قَالَ : أَخْبَرَنَا عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ مُحَمَّدٍ ، عَنْ عُمَارَةَ بْنِ غَزِيَّةَ ، عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ ، أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ سَعْدِ بْنِ مُعَاذٍ قَالَ : قَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ : كُنَّا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ زَمَانَ غَزْوَةِ تَبُوكَ ، وَرَسُولُ اللَّهِ يَسِيرُ بَعْدَ أَنْ أَضْحَى ، إِذَا هُوَ بِجَمَاعَةٍ فِي ظِلِّ شَجَرَةٍ فَقَالَ : مَنْ هَذِهِ الْجَمَاعَةُ ؟ قَالُوا : رَجُلٌ صَائِمٌ أَجْهَدَهُ الصَّوْمُ ، أَوْ كَلِمَةً نَحْوَ هَذِهِ ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ : لَيْسَ مِنَ الْبِرِّ أَنْ تَصُومُوا فِي السَّفَر
Dalam rangkaian sanad I di atas, kata menurut Joseph Schacht, Amr bin Abi Amr merupakan common narator dari seluruh jalur isnad  hadits yang diriwayatkan oleh Imam Syafi’i. Amr lah yang membuat hadis tersebut bersambung dengan Jabir dan dengan Nabi. Bagian bawah isnad tersebut adalah bagian otentik, sementara bagian bawah merupakan bagian Amr semata. Dalam upaya memperbaiki isnad, Amr juga mengemukakan jalur-jalur tambahan, yakni jalur dari seorang laki-laki dari Bani Salamah. Dengan demikian, hadis ini sebenarnya bersumber dari Amr bin Amr karena dialah yang pertama yang menyebabkan hadits kepada beberapa periwayat hadits berikutnya dan bukan dari dari Mutalib, Jabir atau bahkan dari Nabi.[13]
v E silentio
Teori yang dikemukakan oleh Joseph Schacht, yang menyatakan bahwa cara terbaik untuk membuktikan bahwa sebuah hadits tidak ada pada masa tertentu adalah dengan menunjukkan bahwa hadits tersebut tidak dipergunakan sebagai argumen hukum dalam diskusi yang mengharuskan merujuk kepadanya jika hadis itu memang ada. Sebuah hadis tidak dinyatakan ada jika tidak ada pada saat terentu jika ia tidak dipakai sebagai argumen hukum dalam kitab-kitab Fiqh awal yang ditulis Imam Malik, asy Syafii, dan Abu Yusuf , yang mengahruskan merujuk padanya.[14]

2.   Sisi Matan
Joseph Schacht melancarkan kritik matan terhadap sebagian hadits yang terdapat dalam kitab al-Maghazi, karya Musa bin ‘Uqbah. Schacht berkata, “Musa bin ‘Uqbah (penulis kitab al-Maghazi) mengatakan bahwa dia mengambil sumber-sumber hadits dari al- Zuhri. Ibn Ma’in juga menganggap bahwa kitab Musa yang bersumber dari al-Zuhri adalah kitab yang paling otentik di antara kitab-kitab hadits yang menceritakan tentang peperangan Nabi saw. Oleh karena itu, tidak mungkin dalam kitab al-Maghazi  dalam bentuknya yang asli itu terdapat hadits-hadits yang diterima dari jalur selain al-Zuhri. Akan tetapi, karena di dalam kitab itu terdapat hadis-hadis dari jalur selain al-Zuhri, yaitu hadits nomor 6, 8, 9, dan 10, maka bisa dipastikan bahwa hadits-hadits itu adalah “tambahan sejak aslinya”.”[15]
Salah satu contoh matan hadis yang terdapat dalam kitab al-Maghazi yang dikritik oleh Schacht adalah hadits no. 9, yaitu hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdullah bin Umar yang berbunyi, “Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah saw. tidak mengecualikan Fatimah ra. (dalam masalah hukum pidana).” Hadits ini dinilai Schacht sebagai hadits yang mengingkari akan keistimewaan keluarga Nabi saw. dalam hukum pidana. Oleh karena itu hadits ini dinilai sebagai hadits anti keluarga ‘Ali (Alawiyyin), sebab tidak mengakui adanya keistimewaan keluarga ‘Alawiyyin dalam masalah pidana.[16]






BAB III
PENUTUP
A.  Kesimpulan
Nama lengkap Amin J. Schacht lahir pada tanggal 15 Maret 1902, di Ratibor, Silesia yang dulu berada di wilayah Jerman dan sekarang masuk Polandia. Schacht lahir dari keluarga yang agamis dan terdidik. Ayahnya Eduard Schacht adalah penganut katholik dan guru-guru anak-anak bisu dan tuli, ibunya bernama Maria Mohr. Pada tahun 1945, ia menikah dengan wanita Inggris yang bernama Louise Isabel Dorothy, anak perempuan Joseph Coleman.
Bagi Joseph Schacht Sunnah adalah kebiasaan masyarakat sebagai pronsip pembimbing moralitas dan kebiasaan. Ini terjadi jauh sebelum Arab menjadi Agama Islam. Selanjutnya ia berpandangan bahwa secara keseluruhan sistem isnad yang ada dalam Hadits-hadits baru terbentuk pada dekade-dekade pertama abad kedua hijriyah. Kemudian untuk menopang pendapat itu agar kuat, ia memberikan teori projecing back, dan commond link.

B.   Saran
Dalam pembuatan makalah ini penulis sudah berusaha dengan semaksimal mungkin, namun dengan segala keterbatasan penulis baik dari segi tenaga, pikiran sumber dan waktu, tentunya dalam makalah ini masih banyak hal-hal yang kurang sempurna, akan tetapi penulis berharap makalah ini akan dapat memberikan manfaat dan menambah pengetahuan bagi pembaca. Harapan besar bagi penulis untuk lebih mengembangkan kajian-kajian tentang pandangan orientalis kususnya Joseph Schacht terhadap hadits.







DAFTAR PUSTAKA
As Syafi’i, Muhamad Bin Idris, 1995, Ikhtilaful Hadits, Beirut: Mausu’ah Kitab Al Tsaqofiah

Azami, 2009 cet.4Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya’qub, Jakarta: Pustaka Firdaus

Badawi, Abdurrahman, 2003, Ensiklopedi Tokoh Orientalis terj. Amroeni Drajat, Yogyakarta: LKIS

Masrur , Ali, 2007, Teori Common Link G. H. A Juynball, Yogyakarta: Lkis

 Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html


Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html







[1]Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html/ 22.00/10-03-2015
[2]Ibid.
[3]Abdurrahman Badawi, Ensiklopedi Tokoh Orientalis terj. Amroeni Drajat, (Yogyakarta: LKIS, 2003), hlm. 270-279.
[5]Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html/ 22.00/10-04-2015
[6] Ibid.
[7] Azami, Hadis Nabawi dan Sejarah Kodifikasinya, Terj. Ali Mustafa Ya’qub, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2009 cet.4), hlm. 595-596.
[9]Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html/ 22.00/10-04-2015
[10]Ali Masrur, Teori Common Link G. H. A Juynball, (Yogyakarta: Lkis, 2007), hlm. 59
[11]Ahmadmu84.blogspot.com/2009/11/pandangan-joseph-schacht-tentang.html/ 22.00/10-04-2015
[12] Muhamad Bin Idris As Syafi’i, Ikhtilaful Hadits, (Beirut: Mausu’ah Kitab Al Tsaqofiah, 1995), hlm. 492
[13] Ali Masrur, Teori Common Link …,  hlm. 59-60.
[14]Ibid.  hlm. 98
[15]Azami, Hadits Nabawi..., hlm. 524.
[16]Ibid.  hlm. 616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar